blank
KEJARI BLORA : Terdakwa kasus markup tanah Pengadaan Agama (PA) Ida Nursanti (baju putih), saat di Kejaksaan Negeri (Kejari) Blora. Foto : Wahono

SEMARANG – Sidang kasus markup tanah kantor PA masuk penuntutan. JPU Kejari Blora menjatuhkan tuntutan pidana berbeda dalam perkara dugaan korupsi pengadaan tanah PA Blora 2008.

Terdakwa Mukhidin (Panmud Hukum Pengadilan Tinggi Agama Semarang non aktif), dituntut pidana 2 tahun 6 bulan penjara, dan denda Rp 50 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Sedangkan Ida Nursanti (pengacara) di Blora, dituntut lebih tinggi dengan 7 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 200 juta subsidair 3 bulan kurungan.

“Serta mengembalikan Uang Pengganti (UP) kerugian negara Rp 1.030.924.200 subsidair 3 tahun penjara,” beber jaksa Rendy Indro N di hadapan majelis hakim pada sidang terpisah di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (20/8).

Sesuai fakta sidang, terdakwa Mukhidin dinilai bersalah korupsi sesuai dakwaan subsidair melanggar pasal 3 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20/ 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Mukhidin dinilai menyalahgunakan kewenangan dan menguntungkan terdakwa Ida Nursanti.

Sementara Ida Nursanti dinilai bersalah secara melawan hukum menguntungkan diri sendiri.

“Bersalah sesuai dakwaan primair, melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU yang sama pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, ” kata Nur Farida Anggraeni dan Davit Supriyanto, jaksa lain dalam amar tuntutannya.

Korupsi Bersama

Tuntutan dipertimbangkan hal memberatkan, perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi pemerintah, dan merugikan keuangan negara.

Hal meringankan, terdakwa memiliki tanggungan keluarga, kata jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Blora.

Atas tuntutan itu, terdakwa didampingi pengacaranya, akan mengajukan pembelaannya pada sidang pekan depan.

Sesuai dakwaan penuntut umum, Mukhidin selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Ida Nursanti selaku penjual tanah dinilai korupsi bersama Sumadi, Pejabat Pembuat Komitmen (telah dipidana).

Kasus bermula pada 2007, saat Ahsin Abdul Hamid selaku Ketua (PA) Blora memerintahkan M. Hafidl dan Sumadi, SH mencari lahan untuk kantor PA.

Dari Hasil survei diperoleh tiga lokasi, yakni Joko Suharjo seluas 7.465 m2, Supardji dan Siti seluas 7.110 m2 dan  Hartomi Wibowo seluas 4.270 m2.

Mengacu Harga Pasaran Umum, tanah milik Djoko Suhardjo diusulkan dengan Rp 2,239 miliar atau 7.465 m2 x Rp 300 ribu, bebernya.

Dari DIPA PA Blora diterima Rp 3 miliar dengan rincian pengadaan tanah Rp 2,239 miliar, honor panitia Rp 2,750 juta, pengurusan sertifikat Rp 111,9 juta, biaya pengurukan Rp 636,7 juta dan perjalanan dinas Rp 9 juta.

Mukhidin yang saat itu menjabat Panitera Sekretaris dan menjadi KPA menunjuk Sumadi, sebagai PPKom atau penanggung jawab kegiatan.

Selain itu, dibentuk pula kepanitian dengan susunan Riyanto sebagai ketua, Rofi’atun, Sekretaris, Djamhuri, Moch. Munawir, Nur Hamid sebagai anggota.

“Panitia membuat pengumunan tentang rencana pengadaan tanah, namun hanya ditempel di kantor dan tidak dimuat di media cetak,” jelas jaksa dalam dakwaannya.

Atas pengumuman itu, Ida Nursanti mengajukan penawaran. Tanah Ida Nursanti dan Dwi Entari Handayani seluas tanah 5.002 m2 seharga Rp 500 ribu atau Rp 2,501 miliar.

“Namun, dokumen penawaran atas nama Ida Nursanti disiapkan Mukhidin,” kata jaksa.

Selain menyiapkan dokumen Ida Nursanti, Mukhidin juga menyiapkan semua dokumen penawaran untuk dua orang pemilik tanah lain.

Pemilik itu, atas nama  Joko Suhardjo seluas 7.465 m2 seharga Rp 300 ribu atau Rp 2,239 miliar. Supardji seluas 7.110 m2 Rp 2,133 miliar.

Dalam dokumennya, Ida Nursanti menawarkan harga Rp 500 ribu per m2 dengan melampirkan Surat Keterangan Harga Pasaran Umum (HPU) tanah.

Namun harga itu tidak sesuai sebenarnya. HPU dibuat fiktif oleh Ngatmin, Kades Seso, Kecamatan Jepon dan Sunarto Sekretaris Camat Jepon. HPU senyatanya hanya Rp 150 ribu sampai Rp 250 ribu.

“Hasil dari kajian Ketua PA Blora diperoleh rangking tanah Djoko Suhardjo rangking I, Supardji rangking II dan Ida Nursanti serta Dwi Entari Handayani rangking III,” katanya di hadapan majelis hakim terdiri Sulistiyono ketua, Antonius Widijantono dan Robert Pasaribu hakim anggota.

Usai tim pengadaan tanah Mahkamah Agung, Sekretaris MA memilih dan menetapkan tanah Ida dan Dwi di Jalan Raya Blora-Cepu, Desa Seso, Jepon.

Setelah ditetapkan, PA Blora menawar dari permeter Rp 500 ribu menjadi Rp 470 ribu meski HPU hanya Rp 150 sampai Rp 250 ribu.

Karena DIPA awal hanya Rp 2,239 miliar, pengadilan akhirnya mengusulkan penambahan dan disetujui.

Pada 30 Mei 2008 dilakukan pelepasan hak dari pemilik tanah kepada PA Blora dengan pembayaran Rp 2,326 miliar.

Rincianya, Dwi Entari Rp 729,2 juta, Ida Rp 753,7 juta dan Rp 877,9 juta. Atau sesuai akad Rp 2,242 miliar ke Ida dan Rp 692,7 juta ke Dwi. (suarabaru.id/Rdi/Hn)