blank
SEMARANG– Kalangan akademisi mendukung ide untuk menjadikan Kongres Ke-24 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), September mendatang sebagai momentum kembali ke khitah wartawan berwawasan kebangsaan.
Pakar komunikasi Universitas Diponegoro Turnomo Rahardjo berpendapat, wartawan adalah pekerjaan suara hati, sehingga harus berpedoman pada nurani untuk berpihak kepada the greatest good for society.
blank
DR. Turnomo Rahardjo, Msi,Dosen Fisip Undip
Akan selalu muncul dikotomi baik – buruk, benar – salah, bertanggung jawab – tidak bertanggung jawab. Maka wartawan, menurut dosen Jurusan Komunikasi FISIP Undip ini, jangan terjebak sikap partisan dengan mendukung atau sebaliknya dalam kontestasi kekuasaan.
Moch Yulianto, pakar komunikasi politik Undip menambahkan, tema kongres kembali ke khitah wawasan kebangsaan itu sangat tepat, di tengah kegalauan publik tentang realitas media  yang partisan lantaran pragmatisme kepentingan kekuasaan pengelolanya.
blank
M. Yulianto, Dosen Fisip Undip
“Tema itu mengembalikan marwah wartawan dan media sebagai penjaga kemajemukan,” ungkap Yulianto.
Sementara itu, Jawade Hafidz, doktor hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang mendorong PWI memperkokoh ideologi Pancasila yang berkoridor kebhinekaan.
“Alangkah indah apabila dalam kongres nanti PWI bisa menghasilkan program kerja yang membumi, berupa pemikiran-pemikiran yang diwujudkan sebagai praktik jurnalistik dan media untuk kebenaran, kemanusiaan, keadilan, dan kemaslahatan,” ungkap Jawade.
blank
DR. Jawade Hafidz, SH.MH
Dosen FH.Unissula
Salah satu penggagas sekolah jurnalistik di Fakultas Hukum Unissula kerja sama dengan PWI Jateng ini menambahkan, praktik berjurnalistik dan bermedia semacam itu, pastilah dilingkupi semangat kehidupan yang beragam, sehingga sangat tepat apabila PWI mendorong penguatan sumberdaya wartawan untuk tradisi pemberitaan yang berwawasan kemajemukan.
“Sikap itulah yang merupakan bentuk tanggung jawab sosial dan kebangsaan wartawan,” katanya. (suarabaru.id)