blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC TukimanTarunasayoga

PASTI ada yang bertanya tentang penulisan apitambuh ini: Seharusnya ditulis terpisah api tambuh atau tergabung apitambuh? Jawaban saya berdasarkan pada Bausastra (kamus), di sana dituliskan apitambuh, tepat di bawah tembung api; api-api (hal:18).

Di halaman lain ada juga tembung nambuh, dan di halaman lain lagi ada tambuh. Kata nambuh atau tambuh berarti ora gape (bacalah seperti Anda mengucapkan sate), yaitu tidak peduli. Sementara itu apitambuh memilik makna khas, yaitu ethok-ethok ora ngerti/weruh.

Baca Juga:Sarik Dalan

Banyakkah orang bersikap ethok-ethok, yakni berpura-pura? Wouw…bejibun, bukan hanya banyak sekali, tetapi buanyak….banget!

Ethok-ethok mlarat biar mendapatkan BLT atau bantuan lain, ethok-ethok lara, biar dibezoek tetangga dan saudara serta merta dapat angpao; berpura-pura ramah suka menolong, padahal punya maksud jahat dan lain sebagainya perangai berpura-pura.

Sekarang ini jauh lebih gampang mendeteksi  orang jujur daripada orang ethok-ethok jujur; lebih gampang menemukan orang yang benar-benar kecil-lemah-miskin-tersingkir dan difabel (KLMTD) daripada orang yang berpura-pura KLMTD.

Berperilaku ethok-ethok dewasa ini tidak harus bermain sandiwara, cukup cuek bebek saja. Kalau melihat ada orang lain menderita (jatuh misalnya), cukup palingkan kepala ke arah sebaliknya; jika kejadian orang jatuh itu di sebelah kanan, cukup palingkan pandangan Anda ke kiri. Beres, ora weruh.

Kalau pun ada orang berteriak panggil-panggil, mungkin terdengar, tetapi karena tidak melihat, pasti bisalah berpura-pura tidak dengar. Rumahnya bertetangga, haruskah saling menyapa atau kenal, dewasa ini?

Pura-pura saja tidak melihat orang itu dengan cara seolah-olah sedang asyik membersihkan motor misalnya. Kalau ditegur pak RT mengapa tidak pernah membayar iuran kampung/RT, bilang saja tidak pernah ada waktu atau kesempatan karena amat sibuk; boleh juga menjawab: “Tidak tahu, Pak kalau harus bayar iuran.”

Tanda-tanda Apitambuh

Sudah sangat parahkah gaya hidup apitambuh dalam kehidupan sehari-hari kita dewasa ini? Saya berani menjawab “Ya, parah” dalam arti jalan ke arah sana sengaja dibuat semakin lebar dan mulus entah oleh siapa. Dan lebih terasa parah lagi karena ‘ada kesengajaandalam bersikap ethok-ethok itu.

Lihat saja: Sengaja tidak mau mengerti, sengaja tidak mau melihat, sengaja tidak mau mendengar, sengaja tidak mau peduli, dsb. Sangatlah menggejala dan kelihatan sekali justru di saat-saat sedang terjadi pandemi Corona ini.

Artinya, saat ini kita tersadarkan betul, – maaf – , berapa pihak atau siapa saja yang benar-benar peduli terhadap bahaya dan penanggulangan covid-19, dan sebaliknya berapa pihak dan siapasaja yang benar-benar ethok-ethok ora ngerti.

Tanda-tanda lain apitambuh ditunjukkan lewat sengaja melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukan; sebutlah tidak boleh kumpul-kumpul atau berkerumun, tetapi justru sengaja melakukannya; belum boleh beribadah secara bersama-sama di tempat ibadah, dilawannya dengan dalih “tidak takut kepada corona.” Bersikap “melawan” dijadikan gerakan andalan oleh orang-orang tertentu hanya demi kepentingannya secara terbatas

Tanda lain apitambuh ialah bersikap bodhoni (bukan masa bodoh), atau di beberapa tempat sering disebut gomblohi; yakni sengaja tidak mau tahu dan tidak mau urusan asal kepentingan diriku terpenuhi/tercapai.

Ada Corona luweh, ada pandemi luweh kono; mau diatur ada PSBB atau PKM atau apalah ora urusan; yang penting aku ingin begini ya harus terjadi begini; aku mau begitu ya jangan ada seorang pun menghalangi aku berbuat begitu.

Berhadapan dengan orang (kelompok?) gomblohi semacam ini sangatlah menjengkelkan. Ini apitambuh bergradasi paling top, karena bukan lagi menjengkelkan seperti disebutkan di atas, melainkan juga berbahaya karena kesengajaannya bersikap seperti itu sudah dikemas sebagai strategi untuk memperjuangkan sesuatu dan harus tercapai.

Ajakan dan ajaran moral apitambuh antara lain, alangkah mulianya hidup ini apabila dapat menjadi berkat bagi orang lain sekecil apa pun berkat itu. Agar berkat itu semakin berkembang dan berbiak, sedapat mungkin hindarilah bersikap apitambuh.

Kualitas hidup bersama dewasa ini justru semakin berkembang manakala ada kepedulian sekecil apa pun kepada kepentingan dan kebutuhan orang lain.

Ada contoh kecil menyebutkan; kalau Anda, pada detik pertama ketemu orang, dan detik itu juga Anda dalam hati mendoakan orang itu, dalam satu hari saja, Anda sudah berbagi berkat kepada sekian orang. Mari, hindarkan diri dari apitambuh.

 (JC TukimanTarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)