blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC TukimanTarunasayoga

 ADA empat tanggapan/pertanyaan langsung atas ulasan Malik Tingal-ku 6 Juli lalu, – saya tidak tahu berapa orang yang juga bertanya-tanya-. Seorang tokoh agama di Sulawesi Selatan mempertanyakan apakah orang yang tiba-tiba malik tingal itu tulus?

Beliau menjawab sendiri, di sebuah pulau di wilayah Sulsel, penduduk setempat punya kearifan lokal yang secara turun-temurun mengajarkan tentang bumi ini memiliki roh-nya sendiri, dan bilaa da orang tidak tulus bersikap, berpikir, atau pun berbuat; dengan caranya sendiri bumi ini akan “melahap” orang tidak tulus itu. Ihhh…..bikin merinding!

Sedangkan tiga penanggap/penanya lainnya berintikan pada, apakah malik tingal semata-mata bernuansa positif belaka, tidak ada yang patut dikhawatirkan dari sikap itu? Jangan-jangan sikap yang serba “mendadak” seperti itu, sekedar polesan saja?

Tampaknya Belaka

Malik tingal memang harus terukur, dan salah satu indicator pengukurnya ialah wani angas. Seperti halnya malik tingal itu berkaitan dengan sikap diri, demikian juga wani angas ini sangat-sangat menunjukkan secara kasat mata sikap diri bahkan kepribadian seseorang.

Seseorang disebut dengan ungkapan wani angas kalau ia katone wani lan kendel, nanging sejatine jirih lan wedi. Maknanya, cermati dan hati-hatilah, karena di mana pun kita berada, kita akan menjumpai orang yang tampaknya berani, hebat, berkoar-koar kenceng, padahal sejatinya dia itu menyembunyikan rasa takutnya.

Itulah wani angas, sebuah kontradiksi diri karena ia hanya mementingkan dan berlindung di balik tampilan lahiriah semata-mata (lengkap asesoris jabatan, misalnya), padahal senyatanya batiniahnya kosong, takut, minder, dan sebagainya.

Baca Juga: Malik Tingal

Tempat berlindung orang wani angas bukan saja tampilan lahiriahnya, tetapi pasti kelompoknya, karena di dalam kelompok itu pastilah ia merasa ditopang keberanainnya.

Pertanyaannya, apakah kelompok itu sebenanrya hanya kumpulan orang-orang wani angas? Ini sangat sulit menjawabnya, mengingat sebuah kelompok itu pasti ada pimpinan dan perangkat organisatorisnya, seperti pembagian tugas dan peran di dalamnya. .

Wani angas dapat menjadi salah satu tolok ukur malik tingal sejauh ada tanda-tanda berikut: Pertama, orang (atau kelompok) ini memang sudah dikenal khalayak sering bersikap begitu, yakni bersikap atau bersuara keras, garang, penuh wibawa untuk maksud memperoleh sesuatu. Jadi, ada rumus dalam benaknya, untuk memperoleh sesuatu harus dicapai dengan/lewat tampilan diri.

Kedua, orang (atau kelompok) ini dalam kehidupan kesehariannya secara kasat mata  tidak jelas  status pekerjaannya. Dalam rangka meningkatkan statusnya, – sebutlah di zaman now akreditasinya – , ia memilih bersikap wani angas, apalagi kalau lalu punya gang atau kelompok.

Ketiga, sangat fatal kalau wani angas dianggap sebagai satu-satunya cara/jalan berhubung cara/jalan lain terasa terlalu panjang, berliku, bahkan tidak mungkin.

Kewaspadaan Tertentu

Sikap diri itu murni atau polesan? Maksudnya, adanya sikap-sikap seperti malik tingal atau wani angas, atau sikap lainnya itu benar-benar memang aslinyas eperti itu, ataukah lagi-lagi sekedar taktik-tiktok?

Saya mencoba menjawab pertanyaan ini secara menebak-tebak saja, yaitu harus dilihat siapa orangnya (atau kelompoknya), apa tujuannya, dan bagaimana reputasi atau sebutlah profil orang itu.

Sekali pun dia (mereka) itu hanya bermodalkan wani angas saja, tetapi kalau dalam kurun waktu tertentu orang ,orang itu lagi, orang itu lagi yang tampil, – ungkapan kerennya loe lagi loe lagi – , rasanya dapat dipastikan betapa taktik-tiktok lah yang sedang dimainkan untuk mencapai suatu tujuan. Perlu semua pihak waspada terhadap taktik-tiktok seperti ini.

Sekedar ilustrasi, baru-baru ini, di  jembatan Suromadu JawaTimur, ada dua atau tiga orang cewek selama beberapa detik ber-tiktok ria sekedar ingin trending atau menjadi viral. Setelah itu entahlah, mungkin mereka akan ber-tiktok dengan cara lainnya atau kapok karena ada teguran. Kejadian seperti itu rasanya tidak perlu diwaspadai, dibandingkan dengan yang loe lagi loe lagi di atas.

Kewaspadaan diperlukan juga ketika secara kasat mata, orang atau mereka yang tampaknya wani angas, tetapi kok secara terus menerus bersikap malik tingal. Ada apa ini, begitulah sekurang-kurangnya setiap orang harus bertanya-tanya penuh waspada. Di jalan-jalan tertentu, di saat-saat sepi, konon ada adu balap motor.

Ketika polisi berjaga-jaga, mereka yang mau adu balap tidak nampak, tetapi ketika polisi tidak berjaga, tiba-tiba mereka muncul dan segera beraksi. Melihat hal seperti ini aparat keamanan bukan saja harus bersiap terus, tetapi juga mencari tahu siapa di balik aksi kucing-kucingan seperti itu.

Wani angas tidak mustahil menempuh strategi main kucing-kucingan; dan sekali lagi, aparat keamanan hendaknya menemukan juga pengatur utama di balik permainan kucing-kucingan orang-orang yang sebetulnya takut tetapi mengapa bergaya berani itu.

Analisis yang harus dilakukan oleh aparat keamanan ialah: Wong wedi kok dadi kendel, bagaimana mungkin terjadinya?

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)