blank
Th. Dewi Setyorini

Oleh : Th. Dewi Setyorini (Psikolog)

COVID-19 belum sepenuhnya hilang dari muka bumi meski new normal sudah diterapkan. Sebelum  vaksin dan obat manjurnya belum ditemukan, maka selama itu pula kita akan hidup dengan ancaman virus di setiap harinya.

Kehidupan sudah kembali seperti semula meski ada beberapa perubahan kebiasaan yang perlu dijalani demi prenventif kita terhadap serangan virus ini. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dalam keseharian kita dengan membiasakan perilaku yang lebih bersih dan menjaga kesehatan dibanding sebelumnya.

Selama ancaman virus ini masih mengintai, maka kebiasaan yang  selama ini dilakukan mau tidak mau harus anak-anak kita jalani di rumah. Salah satunya adalah belajar di rumah. Dengan berbagai keterbatasannya maka belajar di rumah dipandang sebagai satu solusi yang paling aman demi menjaga penyebaran virus ini secara masif.

Model pembelajaran di rumah ini menggunakan platform pembelajaran dengan sistem daring yang tentu saja mensyaratkan penggunaan device guna mendukung pembelajarannya. Tak jarang keluarga terpaksa harus mengubah aturan main terkait penggunaan gadget untuk anak-anaknya dengan memberikan kelonggaran pemanfaatannya demi menunjang sekolah dari rumah.

Di sisi lain, sekolah dari rumah juga membuat waktu luang anak menjadi lebih banyak dan dalam kondisi mereka tidak dapat bermain di luar, maka gadget menjadi pilihan utama bahkan mungkin satu-satunya untuk menghabiskan waktu.

Akibatnya sebagaimana yang dilihat, banyak orang tua mengeluh karena anaknya menjadi kecanduan gadget akibat penggunaan yang berlebihan.

Kondisi ini akan makin diperparah dengan kenyataan bahwa  saat orang tua sudah kembali bekerja, dan anak masih akan belajar di rumah, mereka tak lagi memiliki waktu dan kesempatan untuk terus mengawasi anaknya sepanjang hari dengan berbagai aktivitasnya. Dapat dibayangkan bagaimana dilema ini akan menjadi persoalan serius bagi orang tua.

Menenangkan Anak

Beberapa dari kita sebagai orang tua, melupakan atau mungkin memandang ringan memberikan dasar penggunaan gadget bagi anak-anak. Bahkan yang lebih merisaukan adalah, beberapa di antara kita menggunakan gadget sebagai alat untuk menenangkan anak, biar anak tidak bermain di luar rumah, biar mereka betah di rumah.

Orang tua lebih merasa tenang jika anak asyik dengan gadgetnya dan tidak menganggu aktivitas orang tua.  Namun saat anak tenggelam dalam dunianya dan tidak mampu melepaskan diri dari pesona gadget, maka sadarlah orang tua bahwa anaknya sudah sulit untuk ditarik kembali ke realitasnya.

Tak semua anak mampu memanfaatkan gadget sesuai dengan fungsinya. Tak semua anak mampu mengeksplorasi gadget dan mengambil berbagai informasi dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Kebanyakan anak mungkin hanya memanfaatkan gadget sebatas sebagai media untuk mendapatkan hiburan dengan bermain. Dalam hal ini anak tak dapat disalahkan, kitalah sebagai orang tua yang patut bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi dengan mereka.

Lantas, apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi persoalan tersebut?

Hal pertama adalah menyadari bahwa kita bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada anak. Menyalahkan anak dengan apa yang dilakukan hanya akan membuatnya makin jauh dari kita.

Memberikan pengertian kepada anak, meski mungkin ini tak mudah karena mereka sudah merasakan keasyikannya dengan gadgetnya. Memberikan pengertian ini tak berarti kita melarang ataupun memarahinya.

Dengan mengajaknya berbicara, mendiskusikan, menguji pemahaman anak, memberi kesempatan untuk memberikan argumentasi dan mengundang perdebatan dalam suasana yang bersahabat dan nyaman.

Terkadang cara kita memberikan pengertian juga tak sepenuhnya benar. Tanpa kita sadari sering kita memaksakan pendapat kita sendiri dan mengabaikan pendapat mereka. Dalam hal ini kita perlu belajar melatih diri untuk belajar mendengarkan apa yang dikehendaki anak.

Memberikan alternatif pengalihan dengan mengajaknya memberikan jeda terhadap keasyikannya bermain gadget. Setiap dua jam ajaklah anak untuk melakukan aktivitas lain seperti  bermain sepeda, menggambar, mewarnai buku, menyusun puzzle, membaca cerita, mengaduk adonan kue, membuat agar-agar atau pudding, membuat makanan kecil kesukaan mereka,  menendang bola, naik turun tangga, atau hanya sekedar menonton film kartun di TV.

Semua ini menjadi metode pengalihan agar ia tidak tenggelam dalam gadgetnya. Selain itu juga mengajarkan anak untuk melakukan kontrol terhadap keasyikannya bermain gadget.

Bukan Hal Mudah

Pada awalnya tentu bukan hal yang mudah mengingat mereka akan ditarik dari keasyikannya bermain gadget. Kesulitan ini tentunya tidak akan membuat kita menjadi enggan atau bahkan malas untuk melakukannya karena merasa akan sulit mengajak anak keluar dari kesukaannya. Kesabaran kita dibutuhkan demi anak-anak kita.

Bagi orang tua yang keduanya bekerja di luar rumah, maka membuat reminder pada setiap gadget anak akan memberikan jeda sesaat dalam keasyikan mereka. Hal ini sedikit banyak akan memecah konsentrasi anak dan akan memberikan kesempatan anak untuk “sedikit bernafas.’’

Sederhana namun memberikan manfaat besar. Saat orang tua di luar rumah, pastikan bahwa komunikasi tetap terjalin dengan menelepon, menanyakan aktivitas, melakukan monitoring terhadap aktivitas mereka menjadi sebuah kebiasaan yang perlu dilakukan dan tetap dipertahankan.

Jika di rumah terdapat asisten rumah tangga atau anggota keluarga lain, ajaklah untuk bekerja sama dengan memberikan skedul kegiatan yang  dapat dimonitor dan dimungkinkan untuk dilakukan anak.

Namun jika persoalannya sudah sangat serius, tak ada salahnya meminta saran ahli dalam hal ini adalah psikolog untuk memberikan saran dan intervensi. Pendekatan ini juga dapat dikombinasikan dengan pendekatan lain seperti teknik hipnoterapi dan relaksasi.

Tak ada metode instant yang dapat langsung menyembuhkan karena proses ketergantungan pada gadget juga terkait dengan waktu, maka penyembuhannya akan membutuhkan waktu pula. Semuanya perlu kesabaran, konsistensi, dan ketekunan. Dan tentunya niatan teguh.

(Th. Dewi Setyorini, Psikolog Founder of Rumah Pemberdayaan, House of Healing)