blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

 BEGITU judul ini terlihat, saya berani bertaruh, nyaris seratus persen pembaca akan mengatakan: Ah, ini pasti berkaitan dengan jual beli suara terutama di saat-saat pemilihan umum.

Inilah yang disebut salah kaprah, yaitu sejatinya keliru dalam arti tidak tepat,  tetapi secara umum (kaprah) sudah diakui sebagai benar/tepat.

Contoh lain: pada umumnya, pembonceng sepeda motor itu satu orang saja, namun jika ada dua orang membonceng, sertamerta khalayak akan mengatakan:  “Jangan cenglu (bonceng telu), kecuali berbahaya, juga melanggar aturan dan dapat kena sanksi.” Faktanya pembonceng hanya dua orang, tetapi kaprahnya mengapa disebut cenglu?

Adol swara memang terjemahan lurusnya dalam bahasa Indonesia ialah menjual suara; dan fakta kehidupan sehari-hari ternyata memang ada orang-orang yang memperoleh talenta luar biasa sebagai penyanyi, dalang, pengkhotbah.

Apa modal utama orang-orang bertalenta semacam itu? Tentu saja suara. Sepinter dan seterampil apa pun seseorang memainkan wayang, tetapi kalau suaranya tidak bagus, ia tidak akan menjadi apalagi disebut dalang kondhang.

Hal yang sama ialah penyanyi, suara harus bagus agar “berjualannya” laris.   Apa yang “dijual” oleh pengkhotbah: Suara atau pengetahuan agamanya? Nah ……salah kaprahnya, – lagi-lagi – , profesi bagus seperti disebutkan di atas sering disebut-sebut dengan gaweane adol swara.

Bukan itu

Adol swara dalam khazanah bahasa Jawa ternyata tidak bermakna mengembangkan talenta pandai bernyanyi, mendalang, atau pun profesi lain yang berkaitan dengan suaranya yang bagus seperti contoh di atas; juga bukan berkaitan dengan pemilihan bupati/wakil bupati, lalu  banyak orang menjatuhkan pilihan kepada paslon tertentu karena suaranya sudah dijual kepada yang membeli. Bukan itu!

Makna adol swara sesuai khazanah Jawa ialah apus-apus, ngapusi, yaitu menipu, mengelabuhi orang.  Memang sangat sering terjadi, dengan cara omongan yang menarik, janji-janji indah (padahal gombal), atau menggunakan trik-trik pendekatan tertentu dan sebagainya; namun kalau ujung-ujungnya ngapusi, orang itu disebut adol swara.

Sementara penyanyi dengan suara merdunya, atau pun ki dalang dengan alunan suluknya yang mendayu-dayu, mereka itu dalam menjalankan profesinya jangan disebut dengan adol swara karena tidak ada unsur penipuan apa pun.

Pinter Omong

Tegasnya, suara bagus/merdu/enak didengar adalah modal utama pemiliknya, dan sangat mulia karunia serta talenta itu dikembangkan untuk kesejahteraan bersama. Dan, mereka itu bukan adol swara.

Sementara itu, juga bermodal suara pula, seseorang yang pinter omong namun omongannya itu ternyata penuh tipu daya, itulah yang senyatanya disebut adol swara. Pertanyaanya, siapakah mereka itu? Atau dapat lebih luas lagi pertanyaannya: Omongan seperti apa saja termasuk kategori adol swara itu?

Mengupas hal ini tidak mudah, bahkan juga dapat menjadi sangat sensitif karena skala nilai yang berbeda satu kelompok dengan kelompok lain, bahkan antar pribadi pun berbeda.

Untuk mengatasi kesulitan itu, mari kita sederhanakan saja cara berpikir kita demikian: tindakan, apalagi omongan siapa pun, pasti berawal dari pikiran orang yang bersangkutan. Artinya, apa yang (sedang) dipikirkan seseorang,  itu pulalah yang memengaruhi tindakan atau omongannya.

Kalau pikirannya jernih, ada jaminan tindakan dan omongan orang juga jernih; sebaliknya, kalau memang pikirannya buthek, kalau pun omongannya kelihatan jernih, orang itu dapat dipastikan mung adol swara.

Tipu-tipu

Jelaslah, kriteria adol swara atau bukan, sangat bergantung dari nawaitu, yakni niat dan apa yang dipikirkannya. Itulah mengapa, apa yang diomongkan seseorang terdengar sangat bagus, tetapi kalau yang ada dalam pikirannya sebetulnya bukan apa yang diomongkan itu, itulah adol swara karena sejatinya hanya tipu-tipu belaka.

Para cewek banyak yang tertipu luar dalam karena ia (mereka) hanya tertarik pada omongan, namun tidak membaca pikiran orang yang omong menarik itu. Tidak kurang juga orang-orang yang omong bagus tentang bela Negara, padahal apa yang dipikirkan ternyata berbeda dari omongan bagus. Itulah adol swara. Hati-hatilah!

Ajakan dan ajaran moral tentang  adol swara ini ialah, bacalah pikirannya bukan sekedar mendengarkan apa yang diomongkannya. Bagaimana cara “membaca pikiran” orang?

Salah satu kiatnya ialah melihat ujung akhir dari yang diomongkan itu, kalau ternyata hanya apus-apus, contohnya cowok yang selalu omong sudah memiki pekerjaan dan penghasilan mapan, tetapi tidak pernah mau nraktir barang semangkok bakso pun dengan alasan bagus pun; para cewek hendaklah segera “membaca pikiran” cowok itu. Intinya, pasti apa saja yang diomongkan anane mung ngapusi.

Mau contoh lain bagaimana membaca pikiran orang sekaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini? Ambil contoh sendiri sajalah, tetapi intinya, cermatilah:  kalau ujungnya mung adol swara, mana mungkin orang itu tebal semangat berbangsa dan bernegaranya. Bayar iuran RT pun mungkin ngemplang.

(JC Tukiman Tarunasayoga, pengajar pascasarjana, matakuliah Pengembangan Masyarakat)