blank

Oleh: Hadi Priyanto

JEPARA(SUARABARU.ID) – Sejak seseorang mulai belajar menulis berita hingga wartawan gaek, rumus penulisannya sama, 5 W + 1 H.  Rumus ini terdiri atas What (apa), Who (siapa), Why (mengapa), When (kapan),  Where (di mana) dan how (bagaimana). Rumus penulisan itu pula yang digunakan untuk menulis berita tentang  Covid-19 oleh wartawan di Jepara.

Seorang wartawan ketika akan menulis berita  pasti akan berangkat dari pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi, siapa saja yang terlibat  dan bertanggung jawab dalam kejadian tersebut, mengapa semua itu bisa terjadi, bilamana peristiwa itu terjadi, dimana kejadiannya dan pasti berakhir pada pertanyaan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi.

blank
Pemasangan masker di wajah patung RA Kartini sebaghi sumber inspirasi melawan virus Corona

Karena harus menjawab tuntas pertanyaan-pertanyaan itu maka  wartawan memiliki dan menguasai informasi lebih banyak dibandingkan dengan orang lain. Sebab ia memiliki sumber informasi yang tidak pernah dipikirkan orang lain. Juga penguasaannya atas data dan fakta yang terjadi baik yang ada di lapangan maupun yang ada di tataran pimpinan pengambil kebijakan di semua level.

Karena harus menjawab pertanyaan mendasar dalam semua penulisan berita tentang covid-19 di daerah, maka wartawan di Jepara yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengetahui ”lebih banyak” soal angka covid–19 di Jepara sekarang bisa naik tajam jika dibandingkan dengan angka pada akhir Mei 2020 yang baru 7 orang pasien. Sebab sampai Jumat malam ini angka warga Jepara yang telah dinyatakan terkonfirmasi ciovid-19 adalah 296 orang.

Untuk dapat menjawab pertanyaan klasik  5 W 1 H dalam penulisan berita seorang wartawan juga sering kali melakukan investigasi dan kemudian mengolahnya menjadi data. Bukan hanya menuliskan perstiwa.

Karena itu, wartawan juga memahami mengapa dan bagaimana dapat terjadi puluhan tenaga medis harus terpapar covid-19 dan bahkan telah ada yang menjadi korban.

Wartawan juga ”mendengar” mengapa kerja keras barisan garda depan hanya fokus pada pelacakan kontak erat dengan  pasien covid-19, sementara sumber apinya dikeluhkan oleh tenaga kesehatan tidak pernah dipadamkan melalui tindakan dan sikap tegas.

Ada banyak yang wartawan ”mengerti” mengapa angka covid-19 seakan-akan tak terbendung di Jepara, sementara daerah lain justru telah semakin landai.

Karena mengerti bahwa ada banyak ancaman akibat pandemi ini, maka wartawan yang tergabung dalam PWI Jepara menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menyampaikan aksi keprihatinan bertepatan dengan aksi memakai pita hitam di lengan kanan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan atas meninggalnya seorang tenaga kesehatan.

Pilihan Media

Aksi keprihatinan dilakukan pada hari Kamis 25 Juni 2020 di ujung jalan Kartini, di seputaran patung RA Kartini, salah satu icon Kota Jepara. Tujuannya agar pesan yang ingin disampaikan dapat diketahui, diperhatikan dan bahkan dilaksanakan dengan penuh kesadaran oleh masyarakat  untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19 secara bersama-sama

Sebab ada sikap abai, pada sebagian masyarakat terhadap tatanan baru yang mengharuskan kita untuk memakai masker, cuci tangan, dan menghindari kerumunan. Media komunikasi yang digunakan adalah memasang masker pada wajah patung RA Kartini dan anak perempuan.

Harapannya pesan yang disampaikan tentang tatanan baru itu dapat sampai dan dimengerti, bukan saja oleh warga masyarakat tetapi juga  oleh para pemangku kepentingan.

Mengapa patung RA Kartini yang dipilih? Jika beliau masih hidup pada situasi pandemi ini, pasti RA Kartini  akan berada di garda  depan melawan covid-19.

Beliau akan berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu kampung ke kampung yang lain untuk menyadarkan warga masyarakat agar bersama-sama memerangi covid-19. Hal yang sama pernah beliau lakukan ketika wabah penyakit pes muncul di Jepara dan bahkan saat telah berada di  Rembang.

Bahkan Kartini Foundation yang kemudian dibentuk untuk menghormati jasa beliau yang salah satu pelopornya adalah  dr Cipto Mangunkusumo,  terlibat aktif dalam penanggulangan wabah pes di Kota Malang tahun 1911 akibat tikus yang berasal dari pelabuhan Surabaya.

Bahkan pada tahun 1912, penyakit sampar ini telah menyebar keseluruh desa di Malang. Untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, seluruh warga yang terjangkit pes di Malang di tempatkan di  Desa Turen. Sedangkan penduduk yang belum terjangkit di evakuasi keluar Turen.

Inspirasi atau pesan itu sebenarnya yang dikemas dalam bentuk sarkasme atau sindiran ala wartawan Jepara yang cemas melihat angka covid-19 yang terus membubung tinggi. Karena itu wartawan juga mengerti mengapa kemudian aksi itu menjadi viral di media sosial dan sebagian orang justru mengabaikan pesan yang hendak disampaikan melalui pemasangan masker di wajah patung RA Kartini.

(Hadi Priyanto, Wartawan SUARABARU.ID, tinggal di Jepara)