blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

 SELAMA Covid 19 ini, terjadi secara terpaksa perubahan cara berelasi sosial (CBS) sangat drastis, bayangkan saja: Dulunya dapat akrab berjabat tangan bahkan cipika-cipiki bersentuhan, sekarang harus tidak dilakukan, bahkan termasuk kepada orang terdekat sekali pun.

Senyum, sapa, salam kemarin-kemarin terekspresikan dengan sangat jelas lewat mulut yang tersenyum, tangan yang terjulur, kini tidak seorang pun tahu apakah orang di hadapan saya tersenyum atau tidak berhubung tertutup masker; demikian juga tangan yang terulur menjabat hangat akrab, kini mungkin anggukan kepala saja, atau bisa jadi telapak tangan diangkat seraya digoyang-goyangkan.

Pertanyaan yang muncul penuh khawatir ialah:  Apakah terjadinya perubahan CBS itu nantinya akan bersifat permanen sehingga mengubah pola relasi sosial (PRS) masyarakat kita? Dengan kata lain, apakah perubahan cara akan membawa serta terjadinya perubahan pola?

Mari kita ambil contoh sederhana namun konkret dalam skala rumah tangga kita. Selama covid-19 ini, pasti ada (banyak?) perubahan sekitar curah waktu untuk bangun pagi, sarapan, makan siang, tidur/istirahat siang, ngobrol keluarga, doa, dan sebagainya.

Sebelum ada covid-19, kebiasaan bangun pagi telah terpola dalam jam tubuh kita masing-masing, berikutnya kemudian mandi pagi, sarapan, siap berangkat bekerja, dan seterusnya. Namun selama terjadi covid-19 ini, sangat boleh jadi ada perubahan drastis, seperti bangun pagi tidak teratur lagi, belum tentu segera mandi setelah bangun, dan sebagainya pasti mengalami perubahan.

Memprihatinkan

Fakta ini harus dilihat sebagai perubahan cara namun memrihatinkan, dan tidak gampang kelak “dikembalikan/dipulihkan” seperti sedia kala.

CBS dapat memengaruhi (secara negatif) kepada PRS, dan itu tentu akan berdampak sangat besar/banyak, dan pasti akan  membawa kerugian-kerugian sosial seperti kepekaan sosial  semakin terancam karena masing-masing individu telah berubah semakin individualistis.

Contohnya, sementara saya menulis naskah ini, ada berita sangat menyedihkan dari wilayah Kota Semarang tentang ditemukannya empat mayat telantar dalam kurun waktu hanya hitungan hari. Menurut polisi, dua mayat kemungkinan karena kecelakaan lalu lintas, dua lainnya sedang dicari penyebabnya.

Intinya, dari kasus ini terbukti bahwa tidak seorang pun peka, apalagi peduli terhadap orang lain, lebih-lebih orang lain yang sedang mengalami penderitaan. Kebiasaan bezoek orang sakit, atau melayat, atau jagong manten, mendatangi pesta, dsb.  Selama covid-19 ini menjadi semakin jarang, dan jangan-jangan PRS semacam ini kelak hilang. Sangat menyedihkan.

Diserahkan Orang Tertentu

Dalam hal kepemimpinan masyarakat, PRS kita  selama puluhan bahkan mungkin sudah ratusan tahun berlangsung,  adalah kepemimpinan egaliter; tetapi selama covid-19 ini kepemimpinan egaliter itu berubah menjadi tertumpu atau bahkan ditumpukan hanya kepada seseorang saja.

Motto dalam kepemimpinan masyarakat egaliter adalah “Ana masalah, dirembug bareng,” artinya   segala permasalahan kehidupan bersama harus kita selesaikan dengan musyawarah. Namun, selama covid-19 ini dirembug bareng berubah ke diserahkan saja kepada seseorang atau orang-orang tertentu. Permasalahan apa pun, penyelesainnya ditumpukan kepada seseorang atau orang-orang tertentu.

Penyelesaian masalah tertumpu kepada seseorang dan/atau orang tertentu membawa kecenderungan terjadinya “gelombang pasang” untuk menumpukan kesalahan atau protes juga hanya kepada seseorang atau orang tertentu.

Misalnya, ada masalah kurang adilnya pembagian BLT  atau mungkin paket bantuan, sebagian masyarakat kita lalu menumpukan kesalahan kepada Kemensos dengan segala macam tuduhan kurang becus, tidak mau koordinasi dengan daerah, dsb.

Dalam contoh empat orang meninggal telantar tadi, sangat boleh jadi lalu  ada orang yang kemudian menumpukan kesalahan itu kepada wali kota: “Pak wali kota kerjanya apa sih, sampai ada empat mayat telantar dalam kurun hanya hitungan hari saja?”

Kecenderungan menumpukan pekerjaan/tanggung jawab kepada seseorang dan/atau orang tertentu seperti ini berbahaya, apalagi juga kalau kemudian menumpukan kesalahannya hanya kepada seseorang dan/atau orang tertentu.

Oleh karena itu, meskipun masih dalam kondisi darurat covid-19, semua pihak harus berani menghentikan CBS yang individualistis; dan tetap mengusahakan PRS egaliter. Harus kita hentikan “gelombang pasang” seperti itu, dan karena itu sikap terbaik kita ialah: “Covid-19 jangan dijadikan alat pembenar terhadap CBS yang salah dan merusak; dan walaupun ada covid-19 nilai-nilai baik PRS harus tetap kita implementasikan.”

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)