blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

PADA tanggal 17 Juni (dua hari lalu) di Kelurahan Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, seorang pemuda RH (25 tahun), tiba-tiba saja  menyerang dengan pisau  MJ, ketua RT-nya. Meninggallah MJ, dan menurut Kapolsek Kompol S, pengakuan sementara RH mengapa tiba-tiba saja menyerang ialah,  “mukanya ngeselin.” Ambyar tenan!

Kasus ini menarik dan mendorong munculnya sejumlah pertanyaan, seperti: Kriteria atau tanda-tanda muka ngeselin itu bagaimana/seperti apa? Apakah muka ngeselin itu bersifat permanen, atau hanya ad hoc saja? Mengapa muka ngeselin memicu agresivitas? Dan bias juga dipertanyakan: Emangnya muka gue tidak ngeselin?

Kesel hati ternyata berbeda dari sakit hati. Kalau sakit hati dapat mendorong terbentuknya “barisan,” dan itu nuansanya kolektif; sedangkan kesel hati terbukti bias mendorong tumbuhnya agresivitas (tiba-tiba?) namun secara personal.

Sakit hati muncul karena merasa tersinggung, tidak suka karena terhinakan, dan cenderung terpendam dalam arti terbawa-bawa dalam kurun waktu lama; sementara kesel hati yang artinya sebal, kecewa bercampur jengkel, dan tidak suka lagi (bosan), lebih dipicu oleh suatu kondisi/keadaan saat itu.

Contoh RH yang tiba-tiba kesel hati pada saat MJ ketua RT sedang melakukan pendataan, dan ada contoh lain,  seorang anggota DPRD menyuruh sopirnya menganiaya pegawai hotel gara-gara pegawai hotel itu mengingatkan agar “Bapak harusnya pakai masker.”

Di Bogor juga pernah terjadi seorang suami marah-marah (kesal hati) karena ditegur petugas berkaitan dengan istrinya duduk bersebelahan di dalam mobil, padahal aturan tidak memperbolehkan.

Memicu Agresivitas?

Benarkah kesel hati memicu agresivitas? Leonard Berkowitz (1995) dalam bukunya Agresi 1: Sebab dan Akibatnya, menjelaskan antara lain demikian: “Agresi bias dilakukan dengan dingin dan penuh perhitungan, suatu tindakan instrumental yang dilakukan dengan sengaja dan dengan tujuan bukan untuk menyakiti korban.

Tetapi bisa juga agresi merupakan reaksi emosional yang pada dasarnya didorong oleh keinginan untuk melukai seseorang. Dalam kedua bentuk agresi itu.

Penyerang mungkin benar-benar memikirkan bagaimana cara mencapai tujuan agresi; tetapi mereka sering kali bereaksi secara impulsive dan tanpa banyak pertimbangan.

Serangan mereka lebih didorong oleh agitasi emosional dari dalam, dan ditambah, sampai tingkat tertentu dan secara cukup otomatis, oleh sifat sasaran yang ada” (halaman 33).

Kalimat terakhir kiranya paling tepat untuk merumuskan apa yang dilakukan oleh RH, terutama “sifat sasaran yang ada” yaitu “mukanya ngeselin” menjadi pemicu impulsivitasnya.

Mengapa bisa begitu? Kelak ketika kasus RH masuk dalam ranah peradilan, barangkali pertanyaan itu akan terjawab. Namun sekarang ini, untuk kepentingan diri kita masing-masing, dari berbagai kasus agresi emosional kita dapat belajar beberapa hal; pertama, hati-hati terhadap suasana hati orang lain.

Hati-hati Bermuka

Dampak pandemi covid-19 sangat mungkin membawa pengaruh atas perubahan stabilitas suasana hati, misalnya dulu tidak begitu mudah tersinggung, sekarang menjadi sensitive mudah tersinggung.

Kedua, alangkah indahnya ada upaya terus secara pribadi untuk menjadikan hati dan pikir sinergis mengingat pikir itu pelita hati. Kalau pikiran jernih, lurus, jujur, semoga hati kita juga seperti itu.

Demikian sebaliknya, kalau pikiran sedang keruh, bengkok-bengkok, mungkinkah hati ini jernih. Sulitlah. Kita sadari bersama, pikiran baik, hati baiklah; hati baik, pikiran juga baik; pikiran kudus, hati menjadi kudus, dan hati yang kudus, membawa serta pikiran kudus pula.

Ketiga, ternyata bagian-bagian dari tubuh kita ini, mata melotot misalnya, atau muka jutek, sangar, dapat memicu agresivitas orang lain. Hati-hati bermata, hati-hati bermuka.

(JC Tukiman Tarunasayoga Pengamat Kemasyarakatan)