blank
Salah satu petani di Kabupaten Blora, menunjukkan tanaman cabainya mengering dan membusuk di batang pohon, karena harga jual yang jatuh. Foto : SB/Ist

BLORA (SUARABARU.ID) – Dampak covid-19 juga merambah petani cabai di Blora. Banyak petani merugi, mengeluh dan  membiarkan hasil penenan membusuk di lahan tanamannya, lantaran harga jeblok serta tidak laku dijual.

Menyikapi nasib para petani cabai (lombok) rawit dan merah keriting itu, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Blora, langsung menyarankan kepada para petani untuk mengeringkan hasil panen atau mengolahnya menjadi abon cabai.

“Iya memang ada petani yang enggan memanen cabai, karena harga dengan biaya tidak imbang,” jelas Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan setempat, Reni Miharti, Selasa (2/6/2020).

Menurut Reni, dengan harga cabai jeblok dan tidak laku dijual, sebagian petani mengeringkan (menjemur) hasil panen. Setelah cabai kering, disimpan sementara di rumah masing-masing, dan jdijual nanti saat harga mulai membaik.

Selain dengan cara dikeringkan model konvensional panas matahari, ada juga beberapa kelompok tani (Poktan) sekala kecil di Kecamatan Todanan, Blora, mengolah hasil panen menjadi abon cabe.

blank
Tidak hanya musim panen 2020 ini. Dua tahun lalu hasil penen cabai petani juga jeblok, lantas muncul program pegawai negeri sipil (PNS/ASN) menolong petani dengan memborong cabai. Foto : SB/Dok/Wahono

Kerja Sama

Bahkan Poktan  di Desa Dringo, Kecamatan Todanan, kelompok tani binaan Bank Indonesia (BI), saat ini sudah berhasil menggalang satu kerjasama dengan  perusahaan di Malang, Jawa Timur,  yang siap menampung serbuk cabe.

“Ke depan Pemkab akan menjajagi lebih lanjut kerjasama tersebut untuk perluasan,” kata Reni.

Sedangkan data sampai akhnir April 2020, luas panen cabai habis sudah 427 hektar, luas panen belum habis 1.010 hektar, dengan produksi cabai komulatif se-Kabupaten Blora saat ini sekitar 957,4 ton.

Dari 16 kecamatan di Blora, panen terluas ada di Kecamatan Jiken (221 hektar), Jepon (57 hektar) dan Banjarejo (39 hektar), dengan harga di tingkat petani Rp 4.000-5.000 di pasar 6.000-8.000 per kilogramnya.

Diakui Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan di kabupaten paling timur di Provinsi Jawa Tengah itu, pandemi virus corona berimbas langsung pada petani cabai, karena saat penen mereka tidak bisa menjual keluar daerah.

“Semoga kondisi segera membaik dan normal kembali, sehingga harga cabe juga bisa normal agar petani cabe bisa segera tertolong,” harap Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Blora.

Terpisah, Ratri (55), salah satu petani di Desa Sumurboto, Kecamatan Jepon, mengakui harga cabai jatuh hingga harga terendah sekitar Rp 3.000 hinggga Rp 4.000 perkilogram. Harga yang tidak imbang dengna biaya produksi.

“Tiga bulan lalu, harga cabai masih Rp 25.000 sampai Rp 30.000  perkilogram, saat ini jeblok tidak sampai Rp 5.000 perilogram,” beber Ratri.

Samiran (53) dan beberapa petani lainnya, merasa rugi dengan panenan cabai kali ini, harga sangat tidak masuk akal, tidak seperti biasanya banyak pembeli dari luar daerah masuk Blora, membuat banyak petani membiarkan cabai membusuk di batangnya.

Wahono-trs