blank
Didi Kempot itu bukan hanya penyanyi, dia penyair bahkan budayawan Jawa. Foto: istimewa

Oleh Widiyartono R

blankSUDAH sejak lama saya kepingin menulis tentang Didi Kempot yang nama saat lahirnya Dionisius Prasetyo itu, semenjak dia mendapat gelar Lord Didi dan dikenal sebagai The Godfather of Brokenheart. Bukan karena tentang sosoknya secara pribadi, tetapi pada karya-karyanya. Juga bukan karya yang spesifik mengenai musik dan musikalitasnya, karena saya tidak paham musik. Tetapi tentang lirik-lirik lagunya, yang punya kekhasan luar biasa. Indah, terjaga, ritmis, rema, irama, persajakannya begitu terjaga. Belum lagi diksi-diksi yang dipilihnya. Ambyaaaaaaaaarrrrrr!

Mendengarkan lagu-lagu Didi Kempot, menonton tayangannya di youtube atau televisi, itu yang biasa saya lakukan. Karena saya memang tidak suka nonton pentas langsung, apalagi di lapangan yang jejel riyel. Ketemu Didi Kempot pun baru dua kali, dan itu sangat tidak intens. Pertama tahun 2000-an awal atau akhir 90-an, kalau tidak salah, saat PWI Jateng merayakan Hari Pers Nasional di Hotel Graha Santika Semarang.

Waktu itu Didi Kempot belum seterkenal sekarang, tetapi awal kariernya, setelah lagu-agunya direkam. Grapyak-nya saya rasakan, dia tersenyum lalu menyapa saya. Tetapi tak ada obrolan lebih lanjut, karena dia harus test mike. Kemudian sekitar lima tahunan lalu, saat namanya sudah berkibar, tetapi belum ada gelar Lord Didi atau sebutan The Godfather of Broken Heart,di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.

Saat itu Mas Didi sedang berjalan di koridor bandara menuju tempat transit. Sebagai seorang “penggemar”, saya menyapa duluan. “Mas Didi, tindak pundi? (Mas Didi mau ke mana?),” sapa saya.

Kemudian dia berhenti sejenak, dan menjawab, “He Mas…. badhe wangsul Solo, saking Sarolangun Jambi (Hai Mas, mau pulang ke Solo ini dari Sarolangun Jambi),” jawabnya.

Juga tak ada obrolan, karena saya pun harus transit untuk meneruskan perjalanan, begitu pula dia, dan maskapainya berbeda. Jadi ya sekadar pertemuan dengan sapa singkat. Tetapi dari pertemuan-pertemuan singkat itu, saya bisa merasakan, betapa dia sangat grapyak, semanak, sederhana, humble.

Penggurit Luar Biasa

Didi Kempot memang dikenal sebagai penyanyi atau seniman musik. Sampai-sampai dia nekat menjual sepedanya yang biasa digunakan untuk ke sekolah, untuk membeli gitar. Menurut Didi Kempot, sekurangnya ada 700 lagu yang sudah diciptakannya. Dan, lagu-lagunya yang berupa campur sari “gaya baru” memang enak didengar (easy listening). Saya menyebut gaya baru, karena memang beda dengan campursari zamannya Waljinah dulu. Musik diatonik yang digabungkan dengan pentatonik (alat musik barat digabungkan dengan gamelan), kemudian dilanjutkan oleh Manthous dengan gaya yang lebih baru, dengan langgam Jawa yang masih terasa.

Sedangkan musik Didi Kempot kendangnya memang sangat terasa, condong ke dangdut. Ini tampaknya yang kemudian memikat banyak orang, terlebih dengan lirik-liriknya yang dikenal dengan lirik patah hati. Meskipun banyak juga karyanya yang tidak bersifat mellow, bahkan ada karya lagu religiusnya.

Saya menyebutnya sebagai penggurit atau penyair bahasa Jawa, karena puisi-puisi ciptaannya yang kemudian menjadi lagu memang benar-benar puisi, benar-benar geguritan. Syarat-syarat sebagai puisi benar-benar terpenuhi dalam karya-karya Didi Kempot itu.

Seperti dalam teori dalam puisi di dalamnya ada kata, larik, bait, bunyi, dan makna. Semua ini sangat terpenuhi dalam karya-karya puisi Didi Kempot yang kemudian dijadikan lagu. Kata yang merupakan hal terpenting di dalam puisi, sangat luar biasa. Didi Kempot mampu memilih diksi yang tidak biasa, sehingga menjadi suatu “frase baru”.

Seperti halnya saat Ebiet G. Ade menulis Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Frasa “rumput yang bergoyang” itu tidak ada yang punya selain Ebiet, dan menjadi unik. Maka ketika orang ditanya dan tidak bisa menjawab atas pertanyaan itu, kemudian menjawab, “Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang”.

Mengapa Mesti Banyu Langit?

Begitu pula dengan Didi Kempot. Frasa banyu langit saya kira sebelumnya tidak pernah dikenal. Tetapi ketika Lord Didi punya ide membuat lagu yang terinspirasi suasana Gunung Merapi Purba di Gunungkidul, DIY, dia memilih diksi banyu langit.

Banyu langit sing ana ndhuwur kayangan
Watu gedhe kalingan mendhunge udan
Telesana atine wong sing kasmaran
Setya janji seprene tansah kelingan

Frasa banyu langit dipilih oleh Didi Kempot. Air langit, air yang turun dari langit itu namanya hujan atau udan dalam bahasa Jawa. Tetapi Dia memilih banyu langit, bukan udan. Kata udan itu sudah biasa, meskipun juga tetap terasa romantis, misalnya banyu udan sing saka dhuwur kayangan. Dipilihnya kata banyu langit itu, saya meyakini bukan hanya ungkapan lahir Didi Kempot. Seorang penyair itu sering memunculkan kata atau kalimat yang seakan-akan muncul begitu saja. Bukan tangan yang menulisnya, tetapi dari bawah sadarnya.

Maka, bisa saja penyair kemudian kaget sendiri ketika dia tiba-tiba bisa memunculkan kata atau kalimat tertentu. Selain banyu langit, ada lagi kalimat dalam lirik lagu itu yang menurut saya juga hanya Didi Kempot yang punya.

Udan gerimis, telesana klambi iki
Jroning dhadha ben ra garing ngekep janji

“Gila!” batin saya. Betapa puitisnya lirik itu, betapa nelangsanya hati. Meminta kepada “hujan gerimis” untuk membahasi bajunya, agar (hati) yang ada di dalam dada tidak kering mendekap janji. Ini lirik uedaaaan. Ambyaaaaaaaarrrrrrr! Pilihan katanya luar biasa, larik-lariknya tertata, rima-iramanya jellas harmonis karena memang disiapkan untuk menjadi lagu.

Bait-baitnya juga tertata, bunyi yang menjadi unsur penting puisi bisi dilihat dari persajakannya an- an-an-an kemudian a-a-a-a juga e-e-e-e lalu i-i.

Bicara soal maknanya, nyata sekali. Bagaimana seseorang yang ditinggal kekasih, dia menanti begitu lama, sampai-sampai minta tolong pada hujan gerimis untuk mengikat hatinya agar jangan ingkar janji. Coba tengok juga lirik lagu Tangising Ati ini.

Udan deres, wayahe wis wengi
Njur kelingan lungamu dhek wingi
Apa wis dadi garising pesthi
Kowe bakal  cidra janji

Senajan uripku rekasa
Kabeh mau bakale tak tampa
Nuruti gegayuhaning rasa
Bebrayan urip klawan ndika

Lagi-lagi bagi saya yag menarik dari lirik-lirik Didi Kempot adalah konsisten dalam persajakan. Kemudian ungkapannya memang jawa banget. Kata pesthi dalam bahasa Jawa itu bisalah diterjemahkan sebagai “takdir”. Bisa saja frasa garising pesthiitu diganti dengan “garising urip” atau “garising takdir”. Masih bisa terasa puitis, tetapi persajakan tidak pas, meski dalam puisi modern persajakan bukan hal yang wajib. Kata pesthi itu selain lebih njawa juga menunjukkan betapa Tuhan itu sangat berkuasa. Dia bertanya apakah itu sudah menjadi garis hidupnya, ketentuan Tuhan bahwa kekasihnya bakal ingkar janji.

Bait berikutnya ada larik nuruti gegayuhaning rasa (mengikuti keinginan menggapai rasa). Gegayuhaning dari kata gayuh yang artinya capai, gegayuhan ‘pencapaian’. Penyair yang tidak paham Jawa, mungkin tidak akan mengambil kata gayuhini. Mungkin yang dipilih nuruti pepinginaning rasa(menurut keinginan batin). Sama-sama puitis, tetapi sekali lagi, Didi Kempot itu juga budayawan, orang yang paham budaya Jawa, termasuk bahasa.

Bila Anda mencari di internet, lirik lagu ini tertulis nuruti gedhang yuhaning rasa. Ya, karena yang menulis di internet itu tidak paham bahasa Jawa. Frasa nuruti gedhang yuhaning rasa itu kan tidak ada maknanya.

Begitu juga kata ndika dalam bebrayan urip lawan dika (hidup bersama denganmu).Kata dika ini cukup arkais atau kuna. Hanya kita dengar bila kita menonton ketoprak atau wayang. Dika adalah orang kedua “engkau” atau “dikau”.

Karena masih banyak yang bisa digali dari lirik-lirik lagu didi Kempot, maka tulsian ini akan disambung dalam unggahan berikutnya. Tunggu saja, pasti makin ambyaaaaarrrrrr.

Tulisan ini bersambung ke tulisan kedua

‘Pitik Lanang’ Didi Kempot di Lagu ‘Sungkem’ dan ‘Kreteg Bacem’ (2)

Widiyartono R, pandhemen budaya Jawa, wartawan SUARABARU.ID.