blank
PAPARAN: Dokter Mada Gautama S MKes, saat melakukan paparan di Nanyang Polytechnic, Singapura, beberapa waktu lalu. Foto: dok/ist

Oleh: dr Mada Gautama S MKes (Epidemiologi)

SEBELUMNYA kita harus memahami dulu apa itu kekebalan/imunitas aktif. Ada dua
kekebalan/imunitas aktif, yaitu imunitas aktif alami terjadi jika seseorang setelah terpapar penyakit, maka sistem imunitas memproduksi antibodi dan limfosit khusus. Imunitas ini dapat bersifat seumur hidup, seperti pada orang yang terpapar virus cacar, virus campak, dll. Berbeda dengan imunitas aktif alami, imunitas aktif buatan timbul karena adanya rangsangan dari virus yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui pemberian vaksin, yang kemudian mengaktifkan sistem imun di dalam tubuh.

Vaksin adalah suatu substansi (virus/bakteri yang dilemahkan), yang diberikan saat pelaksanaan program imunisasi, merupakan jenis intervensi medis untuk memunculkan kekebalan terhadap bakteri atau virus penyebab penyakit tertentu. Upaya imunisasi telah terbukti secara medis efektif dalam mencegah infeksi dan kematian, akibat penyakit menular. Program imunisasi juga merupakan hal penting dalam upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit sehingga penularan penyakit menjadi lebih jarang, atau bahkan diberantas dari lingkungan masyarakat.

Meskipun demikian, masih ada sedikit peluang munculnya suatu kondisi atau reaksi tubuh setelah imunisasi, yang banyak dikhawatirkan orang. Hal tersebut dikenal dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). KIPI adalah serangkaian reaksi, biasanya berupa peradangan dalam tubuh setelah imunisasi. Untungnya, reaksi KIPI cenderung ringan dan dapat membaik dengan sendirinya.

Penulis berpendapat, bahwa kejadian mewabahnya Covid-19 adalah proses pemberian vaksin oleh alam kepada manusia dengan segala reaksi tubuh yang ditimbulkannya, dari gejala klinis ringan sampai dengan gejala klinis berat. Dapat dianalogikan bahwa, reaksi tubuh yang ditimbulkan akibat “vaksin” alami Covid-19 sebagai “KIPI”.

Apa itu Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)?
KIPI adalah salah satu reaksi tubuh pasien yang tidak diinginkan yang muncul setelah pemberian vaksin. KIPI dapat terjadi dengan tanda atau kondisi yang berbeda-beda. Mulai dari gejala efek samping ringan hingga reaksi tubuh yang serius, seperti anafilaktik (alergi parah) terhadap kandungan vaksin. Perlu diingat, KIPI tidak selalu terjadi pada setiap orang yang di vaksin. Munculnya gejala klinis ringan cenderung lebih sering terjadi dibandingkan reaksi radang atau alergi serius terhadap vaksin.

Gejala KIPI Berdasarkan Penyebabnya:
Gejala KIPI yang ringan dapat bersifat lokal atau sistemik. KIPI ringan bersifat lokal dapat berupa rasa nyeri, kemerahan dan pembengkakan di area tubuh yang mengalami infeksi, setelah diberikan imunisasi. Sedangkan respon sistemik dapat berupa munculnya demam, sakit kepala, lemas, atau rasa tidak enak badan. KIPI ringan biasanya terjadi sesaat setelah diberikan vaksin dan dapat membaik sangat cepat dengan pengobatan, untuk mengurangi gejala ataupun tidak.

Sedangkan gejala KIPI berat cenderung langka terjadi, tapi bisa menimbulkan dampak yang serius. KIPI berat pada umumnya disebabkan oleh respon sistem imun terhadap vaksin, dan menyebabkan reaksi alergi berat terhadap bahan vaksin, menurunkan trombosit, menyebabkan kejang, dan hipotonia. Semua gejala KIPI berat dapat diatasi dan sembuh secara total tanpa adanya dampak jangka panjang. Walaupun dapat terjadi dalam waktu yang sangat berdekatan setelah imunisasi, pemberian substansi vaksin bukanlah satu-satunya faktor yang memunculkan KIPI.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), beberapa sumber reaksi yang juga
berkontribusi dalam munculnya KIPI adalah:

KIPI Akibat Reaksi Produk
Merupakan jenis reaksi imun terhadap salah satu atau beberapa bahan vaksin. Misalnya pembengkakan otot setelah pemberian vaksin DPT.

KIPI Akibat Kecacatan Produk
Munculnya KIPI yang berkaitan dengan kualitas produk yang tidak sesuai dengan standar pembuatan vaksin oleh perusahaan yang membuatnya. Misalnya, suatu vaksin dengan kandungan virus yang masih aktif, sehingga vaksin tidak memiliki kuman yang dilemahkan secara sempurna.

KIPI Akibat Kesalahan Proses Imunisasi
Gejala KIPI yang disebabkan kesalahan dalam proses penanganan, penyimpanan dan
penggunaan vaksin. Misalnya infeksi yang disebabkan adanya kuman lain yang ikut tercampur, dan ditularkan saat pemberian vaksin.

KIPI Akibat Respon Kecemasan
Terjadi saat seseorang yang akan diimunisasi terlalu cemas. Pada orang dewasa, kecemasan hanya memberikan efek yang sangat ringan. Namun, ketakutan terhadap
imunisasi menjadi lebih serius pada anak-anak. Kecemasan saat diimunisasi dapat menyebabkan anak merasa pusing, hiperventilasi, nyeri, merasakan sensasi pada mulut dan tangan mereka, hingga pingsan secara mendadak. KIPI jenis ini akan membaik dengan sendirinya ketika kecemasan sudah terkendali.

blankBanyak penelitian yang menyebutkan, bahwa faktor mental/psikologis bisa
menjadi sebab timbulnya penyakit. Satu contoh kecil, stres adalah salah satu
unsur psikologis yang bisa menimbulkan secara nyata penyakit fisik dan mental.

Saat kita merasa stres akibat beban masalah yang berat, atau masalah kecil
yang dianggap besar, maka sistem dalam tubuh akan meresponnya secara berbeda-
beda. Bahkan stres kronis dapat berdampak pada kesehatan secara keseluruhan.
Sistem saraf pusat adalah yang paling bertanggungjawab dalam merespon stres.
Mulai pertama kali stres sampai menghilang.

Sistem saraf pusat menghasilkan respon ‘fight-or-flight‘ saat tubuh mengalami stres. Beberapa wilayah penyakit yang akan menyerang karena stres, di antaranya pada sistem pernafasan, sistem kardiovaskular, sistem pencernaan, sistem otot rangka, sistem reproduksi, bahkan sistem imun tubuh secara keseluruhan.

Oleh karena itu, salah satu cara agar tidak mudah terpapar Covid-19 adalah menghindari kecemasan, stres, depresi. Dalam mengelola suatu kebijakan pemerintah perlu memperhatikan dampak psikologis masyarakat, jangan sampai masyarakat depresi ataupun stres, di mana hal ini justru menyebabkan daya tahan tubuh atau imunitas seseorang menjadi lemah, yang akan berakibat virus Covid-19 (atau apa pun virusnya), mudah masuk ke dalam tubuh manusia.

KIPI Akibat Kejadian Koinsidental
Merupakan kejadian yang diduga sebagai KIPI, tapi tidak berkaitan dengan vaksin ataupun proses pemberian imunisasi. Gejala tersebut kemungkinan sudah ada sebelum seseorang menerima imunisasi tapi baru menimbulkan gejala pada saat atau waktu yang berdekatan dengan pemberian vaksin.

Terlepas dari berbagai risiko yang dapat ditimbulkan, proses imunisasi merupakan prosedur yang aman. KIPI adalah suatu kasus yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh seseorang serta proses imunisasi itu sendiri. Gejala/reaksi KIPI yang benar-benar disebabkan substansi vaksin cenderung ringan dan dapat hilang dalam waktu yang singkat.

Hal yang Sebaiknya Dilakukan Setelah Mendapatkan Vaksinasi/Imunisasi
Setelah diimunisasi, sebaiknya perhatikan dan pantau beberapa kondisi tubuh yang menimbulkan rasa tidak nyaman atau keabnormalan pada bagian tubuh tertentu, baik itu tanda kemerahan atau rasa nyeri. Semua gejala KIPI dapat muncul dalam hitungan menit hingga jam pasca imunisasi.

Munculnya radang dan rasa nyeri setelah imunisasi bisa bertahan hingga hitungan hari. Jika tidak bertambah parah, maka gejala KIPI ringan tidak membutuhkan penanganan lanjut yang lebih serius. Namun, demam pada anak-anak perlu penanganan segera dengan cara mencukupi kebutuhan cairan, dan minum obat penurun panas seperti paracetamol.

Jika seseorang mengalami KIPI yang serius, maka penanganan KIPI kemungkinan memerlukan pengawasan medis dari tenaga kesehatan. Segera laporkan dan segera obati gejala KIPI dengan intensitas berat pada fasilitas kesehatan, di mana Anda memperoleh layanan imunisasi atau pelayanan kesehatan terdekat.

Bagaimanakah Reaksi “KIPI” Akibat Pemberian “Vaksin” Alami Covid-19?
Tentunya reaksi tubuh terhadap “KIPI” yang muncul sangatlah hebat. Karena dengan pemberian virus yang dilemahkan saja dapat menimbulkan reaksi KIPI yang tidak diinginkan, walaupun hal itu jarang terjadi dan tidak membahayakan.

Reaksi “KIPI” seseorang yang terpapar “vaksin” alami Covid-19 berbeda-beda, dari yang ringan sampai berat yaitu kematian, tergantung daya tahan tubuhnya. Reaksi “KIPI” ringan akibat pemberian “vaksin” alami Covid-19 adalah timbulnya demam, lesu, batuk kering, radang tenggorokan, berkurangnya fungsi penciuman hidung, dan fungsi ujung lidah sebagai perasa akan berkurang.

Dari beberapa riset terhadap Covid-19 oleh para ahli, diketahui bahwa gejala awal Covid-19 hampir sama dengan gejala influenza. Hal ini bisa diatasi dengan pemberian antibiotik dan obat penunjang lainnya, ditambah vitamin C dengan dosis sebesar 500-1.000 mg atau sesuai petunjuk dokter.

Menurut kepala laboratorium di Australia, Prof Kedzierska, dalam jurnal Nature (Senin, 16/3/2020), meskipun Covid-19 disebabkan oleh virus baru, namun sel-sel pemulihan dalam tubuh orang sehat merespons dengan cara yang mirip pada kasus influenza. ”Sekarang kita sudah tahu apa yang mendorong adanya pemulihan pada pasien Covid-19,” ujarnya.

Bila Covid-19 mirip dengan virus influenza, maka sangat mungkin terjadi penularan virus Covid-19 akan bersifat musiman di tahun-tahun mendatang, dan hal ini perlu diantisipasi dan dilakukan penelitian lebih mendalam. Prof Kedzierska mengatakan, kemiripan ini bisa digunakan untuk memahami respons kekebalan dalam kohort Covid-19 yang lebih besar, serta memahami beberapa hal yang masih kurang dilakukan pada pasien yang meninggal.

Reaksi “KIPI” hebat karena terpapar “vaksin” alami Covid-19 adalah makin memperberat penyakit-penyakit koomorbid/penyerta yang sudah diidap sebelumnya, seperti penyakit organ paru-paru (pneumonia), penyakit organ jantung dan penyakit organ ginjal.

Dalam Worldometers, tingkat kematian pasien Covid-19 berbeda-beda. Pasien yang
sebelumnya memiliki riwayat penyakit jantung sebesar 10,5 %, diabetes 7,3%, paru-paru 6,3%, hipertensi 6,0%, kanker 5,6%. Tingkat kematian pasien yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit tersebut di atas lebih tinggi daripada yang sebelumnya sehat, hanya 0,9%. Sementara itu, dari faktor usia, tingkat kematian orang berumur lebih dari 80 tahun sebesar 14,8%, sedangkan umur 10-39 tahun 0,2%. Artinya dari 1.000 orang, maka 998 orang bertahan hidup.

Strategi Pengendalian Covid-19
Sejak Presiden RI Joko Widodo mengumumkan dua WNI terjangkit Virus Corona baru
(Covid-19), sebelumnya umat manusia menghadapi virus serupa yaitu SARS-Coronavirus pada 2003, dan MERS-Coronavirus pada 2012, sebagian besar masyarakat langsung mengalami kepanikan.

Bahkan berbagai kalangan sangatlah cemas bila di dalam tubuh seseorang berdasarkan uji swab/rapid test, menunjukkan hasil positif. Sebenarnya bukan hal yang terlalu mencemaskan, tentunya kewaspadaan tetap diperlukan. Mengapa? Menurut pakar Dr Thevarajan, perkiraan saat ini menunjukkan 80 persen kasus Covid-19 bersifat ringan hingga sedang.

Hasil laboratorium positif akibat pemberian “vaksin” alami Covid-19, apabila bersifat “KIPI” ringan tidaklah berakibat fatal. Sebagaimana halnya saat seseorang dimasukkan virus/bakteri dilemahkan melalui program imunisasi. Tentu di dalam tubuhnya mengandung virus dan akan memberikan hasil positif apabila dilakukan uji laboratorium.

Jadi strategi utama menghadapi pandemi Covid-19 ini adalah disesuaikan dengan sifat penyembuhan seseorang dari serangan virus itu sendiri, yaitu Self Limitting Disease, bisa sembuh dengan sendirinya, asalkan daya tahan tubuh kuat. Jadi upaya penguatan daya tahan tubuh harus menjadi yang utama, tanpa mengabaikan Protokol Kesehatan yang berlaku (pemakaian masker, physical Distancing), sambil menunggu sistem kekebalan aktif alami terbentuk di dalam tubuh seseorang yang terpapar Covid-19.

Setiap manusia yang sehat memiliki daya tahan tubuh/imunitas untuk melawan berbagai mikroba: bakteri, virus, dan jamur. Setiap hari tubuh manusia menghirup jutaan mikroba, tetapi tidak langsung sakit. Dalam tubuh manusia ada namanya neutrophil yang melawan bakteri dan limfosit yang melawan virus. Semua bekerja sama melawan musuh yang masuk dalam tubuh.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil suatu kebijakan berkaitan dengan upaya peningkatan daya tahan tubuh. Salah satunya yaitu mengampanyekan minum vitamin C dosis minimal 500 mg/hari atau sesuai petunjuk dokter, dan memobilisasi industri/pabrik farmasi untuk memproduksi vitamin C sebanyak-banyaknya, untuk dibagikan kepada seluruh masyarakat secara gratis

Yang perlu diperhatikan di sini adalah, kelompok rentan (usia lanjut, orang berpenyakit degeneratif, anak-anak), sehingga daya tahan tubuh cukup kuat saat menerima “vaksin” alami Covid-19.

Pasien berusia lanjut dan sakit, maka daya tahan tubuhnya jauh lebih rendah dibandingkan pasien muda dengan kondisi yang sama. Jadi, baik tua maupun muda bila berpenyakit degeneratif lalu terpapar virus ini, maka sakitnya akan menjadi lebih parah dan sulit diobati. Ke depannya para ahli medis lebih berkonsentrasi mengatasi gejala premorbid dan komorbid pada pasien yang masuk dalam kategori rentan.

Ahli epidemologi dari Gillings School of Global Public Health, University of North Carolina, AS, Timothy Sheahan mengatakan, struktur virus Corona mirip dengan SARS, yakni dua virus berbagi sekitar 80 persen genom.

Profesor John Oxford, seorang ahli virologi dari Queen Mary University of London, seperti dilansir dari Telegraph menyatakan, apabila melihat keluarga virus Corona lainnya, kemungkinan Covid-19 juga merupakan virus musiman. Jika benar virus musiman, maka kemungkinan virus akan mereda pada musim semi dan kembali lagi saat musim dingin. ”Harapan saya, musim semi dan musim panas dapat membantu kita untuk melawan virus, dan memberikan dampak yang signifikan,” ujar Oxford.

Bila Covid-19 mirip dengan virus influenza dan diprediksi merupakan virus musiman, maka sangat mungkin terjadi penularan virus Covid-19 pada tahun-tahun mendatang. Dan sebagian besar penduduk di jagad ini akan terpapar Covid-19. Oleh karena itu perlu diantisipasi strategi pencegahannya, serta dilakukan penelitian lebih mendalam.

Akankah setiap tahun energi dan pikiran kita hanya untuk mencemaskan Covid-19? Tentu saja tidak. Kita tidak boleh terlalu mencemaskan hal ini. Sikap terbaik adalah, sebagaimana halnya anak-anak kita terpapar virus campak, virus cacar, dan virus lainnya (melalui program imunisasi), saat terpapar Covid-19 kondisi tubuh diusahakan tetap sehat, sambil menunggu terbentuknya sistem kekebalan aktif hasil pemberian “vaksin” alami Covid-19 dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sebaiknya, upaya pencegahan wabah Covid-19 tidak hanya dilihat dari sudut pandang medis saja, tetapi sebaiknya juga disandarkan pada nilai-nilai ke-Tuhan-an yang kuat, bahwa segala sesuatu yang terjadi tentunya atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah menurunkan wabah Covid-19 di bumi ini.

Dengan demikian, kita telah meletakkan kembali kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan Sang Maha Pencipta, tidak ada daya dan upaya kecuali atas kehendak-Nya.

Apabila hal ini sudah menjadi dasar saat melakukan upaya dan ikhtiar, maka tentunya semakin meyakinkan diri kita, bahwa kesehatan tidak dapat dipisahkan dari nilai ke-Tuhan-an yang ada.

Bagaimana mungkin, Amerika Serikat sebagai salah satu negara adidaya dengan sistem kesehatan terbaik di dunia, kehilangan 61.618 orang akibat Covid-19 (sumber Worldometers, 30/4), hanya dalam tempo 3-4 bulan saja, dengan total penderita 1.063.351. Sebuah jumlah yang sungguh fantastis.

Bagaimana mungkin Italia, sebagai salah satu negara dengan usia harapan hidup yang tinggi, telah kehilangan 27.682 warganya, dengan total penderita 203.591 orang.

Bagaimana mungkin Spanyol, Inggris, Prancis dengan sistem kesehatan yang jauh lebih baik dibandingkan Indonesia, telah kehilangan 77.000 warganya akibat virus ini.

Menurut para ahli, virus Covid-19 tidak tahan panas, tetapi nyatanya Iran dengan suhu padang pasirnya telah kehilangan 5.957 warganya, dengan total penderita 93.657 orang.

Lalu banyak teori dan pendapat, agar terhindar Covid-19 harus selalu menjaga kebersihan secara maksimal dan pola hidup teratur. Bagaimanakah nasib pengamen jalanan, kuli/buruh bangunan, pemulung, petani, pedagang tradisional/PKL, apakah mereka semua akan mengalami kesakitan/kematian? Kita melihat banyak kasus justru menimpa kalangan menengah ke atas.

Seperti diketahui, petugas medis pun sudah memakai Alat Pelindung Diri lengkap yang memenuhi standar internasional, juga mengalami kesakitan bahkan kematian.

Lalu mengapa hal ini bisa terjadi?? Jawabannya mudah saja, karena Allah Yang Maha Kuasa sudah berkehendak. Jadi hidup tidak harus sesuai dengan teori, logika dan akal manusia. Secanggih apa pun teknologi dan sehebat apa pun sistem kesehatan, tak akan sanggup melawan kehendak-Nya.

Dalam menghadapi suatu penyakit harus secara menyeluruh, tidak bisa didekati secara parsial. Tidak cukup hanya menggunakan pendekatan medis semata. Sebaliknya, tidak pula hanya dengan pendekatan psikologis mental saja. Dua sudut pandang tersebut harus ditempatkan secara tepat, sehingga bisa didapatkan hasil maksimal untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-19 di Indonesia.

Di balik pandemi Covid-19 yang berdampak negatif di pandang dari sisi kesehatan manusia, ternyata memberikan dampak positif terhadap berbagai permasalahan yang selama ini tidak bisa dipecahkan oleh akal manusia.

Sudah ratusan bahkan ribuan teori dan seminar dilakukan, untuk merumuskan agar lubang ozon bisa menutup atau bagaimana caranya agar lubang ozon tidak semakin membesar. Berbagai upaya dilakukan untuk menghemat bahan bakar fosil, berbagai kesepakatan/perjanjian antar-negara dilaksanakan umtuk mengurangi efek rumah kaca akibat penumpukan gas Nitrogen dioksida dan Carbon dioksida, berbagai program kesehatan dilaksanakan untuk mengurangi penularan infeksi baru akibat hubungan seksual, dsb.

Ternyata saat ini Tuhan sudah memberikan solusi terbaik melalui makhluk-Nya yang berukuran nano-mikrometer yaitu Covid-19. Barangkali itulah cara Tuhan Yang Maha Esa untuk memperbaiki kerusakan benda-benda ciptaan-Nya akibat ulah manusia. Hanya Tuhan lah Yang Maha Tahu. *

Dokter Mada Gautama S MKes (Epidemiologi), Praktisi Kesehatan, Saat Ini Sedang
Mengambil Program Doktoral Ilmu Hukum Kesehatan di Universitas 17 Agustus,
Semarang