blank
Bamandi taguh atau mandi kebal di daerah Banjar, Kalimantan Selatan. Foto: Ist

blank

DI daerah Hulu Sungai Kandangan, Kalimantan, ada Pendekar yang memiliki keilmuan unik yang disebut dengan istilah “Bamandi Taguh” atau “mandi kebal” berajah “Bauntal” yang disertai mengamalkan wirid-wirid tertentu untuk tujuan keselamatan lahir batin.

Salah satu dari sekian amalan yang bisa dibilang paling mujarab, karena sudah terbukti adalah “Dua Kalimah Barantai”. Amalan ini diwariskan secara turun temurun. Walau  bacaan amalannya itu secara umum sudah banyak dibaca khalayak, namun yang  menjadikan “ajaib” adalah konsep laku atau amalan rohaninya yang memiliki aturan-aturan tertentu.

Di antara aturan itu, pelaku ilmu ini ketika memakai baju, saat memasukkan kepala ke leher baju, sambil membaca doa atau amalannya. Begitu juga ketika memasukkan tangan ke lengan baju -dimulai dari yang kanan, kemudian yang kiri- keduanya sambil membaca amalan singkat.

Khusus untuk  baju yang ada kancingnya, ketika mulai mengancingkan baju dari bawah ke atas, setiap memasukkan kancing ke lubang kancing disertai dengan bacaan tertentu, termasuk saat memakai celana, saat memasukkan kaki kanan dan kiri disertai bacaan yang berdeda.

Ini juga berlaku saat memakai celana pendek, sandal, sepatu, bahkan saat melangkahkan kaki keluar atau turun dari rumah, juga disertai dengan bacaan singkat.

Kesannya laku ini sederhana. Namun demikian, tidak semua orang mampu menjaga kerutinannya. Dan bagi yang mampu menjaga kerutinannya, energi metafisis yang dihasilkan pun istimewa. Salah satu dari sosok Pendekar muda yang istikamah dengan laku ini menuturkan memiliki pengalaman yang luar biasa.

Misalnya, dia pernah akan dikeroyok tujuh pemuda. Dari arah belakang terdengar suara berbisik: “kamu duluan, kamu saja yang duluan…”

Mereka saling dorong untuk memulai menyerang, namun tidak ada yang berani memulai. Dan ketika Pendekar itu berbalik hadap dan bertanya: “Ada apa?” Mereka pun diam lalu pergi sebelum membuat keributan.

Kisah lain, ada orang yang sering sesumbar akan membacoknya. Namun saat orang itu berada di dekatnya, malah senyum-senyum. Dan itu terjadi bukan hanya berlaku terhadap kalangan orang-orang jalanan. Dari kalangan yang lain, termasuk pejabat pun menjadi ramah dan segan terhadapnya.

Pendekar muda yang memiliki siswa dari berbagai negara itu mengaku, amalan yang paling berpengaruh dalam kehidupannya adalah amalan yang disebut  “Dua Kalimat Berantai”  yang diwariskan para leluhurnya.

Tentang Istikamah

Konsep ilmu metafisika adalah menjaga kerutinan (istikamah) dari sebuah laku batin. Dan itu yang menentukan tingkat kematangan energi dari suatu ilmu. Dan itu berlaku pada keilmuan apa saja.

Zaman muda dulu ketika masih senang berguru atau lebih tepat disebut  “mengoleksi” berbagai ilmu, salah satu dari guru saya memberi masukan yang kemudian mampu mengubah pola belajar saya di bidang ilmu metafisika.

Beliau justru menyarankan saya memilih satu, dua atau tiga dari sekian konsep yang pernah saya pelajari dari jenis amalan wirid atau doa yang cekak aos. Dan dari sekian amalan itu cukup dua yang direkomendasikan untuk saya rutinkan sebagai amalan harian, yaitu istighfar dan salawat yang paling pendek bacaannya: “Astaghfirullah” dan “Shallallahu ‘ala Muhammad”.

Kenapa pilih yang pendek? Beliau memberi argumentasi, keberkahan suatu amalan itu bukan dari panjang bacaannya, karena yang harus diburu itu istikamah atau menjaga kerutinannya.

“Orang zaman sekarang ini banyak kesibukan, jika amalannya  panjang nanti mengganggu aktivitas dan biasanya, amalan yang panjang itu cepat bosan, obong-obong blarak… (menyala hanya sesaat)… istikamahnya tidak terjaga,” tutur beliau.

Beliau menuturkan, menempuh laku itu harus menyesuaikan dengan profesi. “Orang zaman sekarang itu kegiatannya padat, jika berpegang pada amalan yang panjang, menjadi kurang efektif.

Jika Anda membaca salawat Jibril “Shallallahu ‘ala Muhammad” dalam satu menit dapat 10 ulangan, jika membaca salawat Nariyah atau Munjiyat, satu menit mendapat empat kali ulangan.

Padahal, kata beliau,  janji Allah, membaca salawat sekali dibalas Allah 40 kali. Artinya, jika yang pendek dan yang panjang sama-sama dijawab 40 kali, dalam “kalkulasi spiritual” pilih salawat yang pendek saja.”

“Sebab, jika Anda pilih salawat yang panjang, pekerjaanmu (menulis) nanti tak jadi-jadi. Biarlah yang panjang itu diamalkan mereka yang pas mengamalkannya. Untuk kalangan awam atau mereka yang termasuk orang sibuk, pilih amalan yang “cekak aos” saja.

Kebanyakan dari para Guru yang saya temui, saat saya minta amalan dari beliau, yang direkomendasikan itu tidak jauh dari sawat dan istighfar. Pertimbangan beliau, sebagaimana tersebut diatas, salawat sekali dibalas 10 kali, sedangkan istighfar jelas-jelas tertulis dalam firman-Nya.

“Allah SWT berfirman: Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS.Nuh:10-12).

Menurut sabda Nabi SAW bagi yang senantiasa membaca istighfar, “Barang siapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap kesempitannya dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).

Konsep mengamalkan “Dua – tiga” ilmu demi menjaga istikamah ini bukan bertentangan dengan kaidah “Belajar sejak turun dari buaian, berakhir hingga liang lahat,” atau “Belajarlah walau sampai negeri Cina”

Ilmu ibarat baju. Kita boleh banyak koleksi, namun dari sekian baju itu tak mungkin dipakai sekaligus. Yang dipakai yang sesuai dengan kondisi. Saat pesta,  berenang, olahraga, bajunya berbeda-beda. Sisanya biar di almari, siapa tahu suatu saat ada yang perlu, bisa dijual atau dihadiahkan.

Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati