blank

Oleh: Ahmad Fajar Inhadl, Lc. ME

Salah satu jargon yang didengungkan oleh sebagian orang selama pandemi global ini adalah, “Jangan takut Corona, karena hidup mati adalah urusan Allah”. Namun ungkapan yang seolah benar ini sejatinya sangat menyesatkan dan bertentangan dengan ajaran Islam jika dilihat dari konteks ikhtiar kita dalam menyikapi pandemi.

Ironisnya jargon ini banyak didukung dan bahkan diyakini kebenarannya oleh sebagian muslim.

Agar kita terhindar dari pemahaman agama yang menyimpang, hal penting yang harus dilakukan adalah membaca argumentasi yang bersumber dari dalil-dalil agama secara komperhensif, bukan asal comot.

Dalil agama yang dimaksud adalah Al-Qur’an, hadis Nabi dan rumusan para ulama Islam yang kompeten dan memenuhi kualifikasi. Tiga  komponen ini tidak boleh dipisahkan, kecuali jika yang diinginkan adalah pemahaman yang “asal” hingga   berpotensi menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat yang sudah mulai kelelahan menyikapi pandemi.

Harus diakui bahwa agama adalah keyakinan (baca: keimanan). Namun bukan berarti keyakinan dalam beragama membuang jauh-jauh akal dan logika sehat. Dalam Alquran banyak sekali ditemukan perintah untuk menggunakan akal. Bahkan Allah mencela mereka yang enggan menggunakan akalnya untuk memahami ajaran Islam.

Rasulullah Muhammad SAW juga mendorong kita selaku umatnya untuk merawat akal sehat. Di antara anjuran beliau yang sangat populer di tengah masyarakat kita adalah kewajiban mencari ilmu bagi setiap muslim.

Menyikapi pandemi penyakit Covid-19 seorang muslim harus menghindarkan diri dari kebinasaan yang disebabkan Covid-19. Secara tegas Allah SWT menyampaikan larangan untuk binasa melalui firman-Nya, “Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri” (TQS. Al-Baqarah: 195).

Senada dengan firman Allah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri, dan tidak boleh juga membahayakan orang lain”.

Dalam konteks Maqashid Syariah (prinsip-prinsip pensyariatan) disebutkan bahwa tujuan ketetapan hukum Islam, sebagaimana yang disampaikan Imam Ghazali RA dalam Al-Mustashfa, adalah untuk memberikan kemaslahatan sebesar-besarnya bagi umat manusia.

Karenanya ada 5 hal yang perlu dijaga: hifz al-din (menjaga agama), hifz an-nafs (menjaga jiwa), hifz al-‘aql (menjaga akal), hifz al-nasl (menjaga keturunan) dan hifz al-mal (menjaga harta).

Ketakwaan Semu

Pada prinsipnya, jika dalam ranah praktis ada yang bertentangan dengan kelima prinsip ini, maka bisa dipastikan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan Islam dan tertolak. Dalam kasus Covid-19 keselamatan nyawa diutamakan daripada melaksanakan hukum agama. Karena apa artinya beragama jika diri terancam atau bahkan tidak terselamatkan.

Inilah poin yang menunjukkan bahwa cara kerja agama sejalan dan juga menghargai akal sehat. Sebagai agama yang menjunjung ilmu pengetahuan, sudah barang tentu Islam bersahabat karib dengan nalar ilmiah.

Tidak berlebihan kiranya jika Imam Syafii RA menyatakan,  mengkaji ilmu lebih baik dari menyibukkan diri melakukan salat sunah. Bukan berarti salat sunah tidak penting, tetapi secara aspek kemanfaatan, salat sunah hanya bermanfaat bagi individu pelaku. Tetapi kegiatan belajar mengajar memiliki dampak yang luas, tidak hanya bagi penuntut ilmu tetapi juga bagi umat manusia.

Perkataan Imam Syafi’i ini menjadi bukti nyata bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama. Karenanya, jika dalam konteks menghadapi Covid-19 ini ada yang anti terhadap pendapat dan anjuran para ilmuwan dan merasa  paling dekat dengan Allah melalui jargon simplistis “Jangan takut sama Corona, takutlah kepada Allah”,  maka cara beragama yang demikian kiranya perlu ditinjau ulang.

Karena disadari atau tidak sejatinya model beragama yang demikian adalah bentuk pseudo takwa atau ketakwaan fatamorgana dan semu. (*) 

Ustad Ahmad Fajar Inhadl, Lc. ME, adalah Ketua Komite Syariah,Etik dan Hukum RSI Sultan Hadlirin Jepara serta  Pembina di MajelisTa’lim wal Irsyad As- Shofa’.