blank
xavi hernandes. Foto: ist

blank

Oleh Amir Machmud NS

PADA noktah manakah keindahan tiki-taka Barcelona berawal? Dan, pada titik “akupunktur” mana kesaktian gaya sepak bola itu bersumber?

Lewat keanggunan cara bertahan ala “matador” Carles Puyol-lah? Pada ketangguhan holding midfielder Sergei Busquets? Kepiawaian mencari celah “El Iluinista” Andre Iniesta? Atau pada kedahsyatan kemampuan “alien” Lionel Messi?

Sesungguhnyalah, ruh permainan posesif nan rancak itu ada dalam otak sosok “penguasa ruang” yang mengalirkan bola, mengendalikan ritme. Dia, Xavi Hernandez.

Bukan hanya ketika mengonduktori orkestrasi Barcelona, di tim nasional Spanyol dia juga menjadi “nyawa”. Xavi memainkan peran yang sama, baik di bawah visi arsitek Luis Aragones maupun Vicente del Bosque, yang kedua-duanya notabene tidak bersinggungan dengan jejak taktik kepelatihan di Barca.

Ketika tim teknis UEFA memilih Xavi sebagai Pemain Terbaik Euro 2008, kita paham gelandang bertubuh mungil untuk ukuran Eropa itu memang menyimpan potensi besar. Dia menjadi pengendali permainan yang visioner. Kapan memimpin rekan-rekannya untuk bertransisi defensif, kapan memulai bergerak ofensif. Karena kemampuan itu, Xavi dijuluki The Puppet Master, tokoh yang mampu menggerakkan boneka-boneka. Dialah “ki dalang” tiki-taka.

Sebagai playmaker, filosofi bermain dengan mengelola ruang dan waktu merupakan kelebihan Xavi yang tidak dimiliki gelandang lain pada umumnya. Dia tidak berlama-lama membawa bola, tetapi mengelolanya secara efektif dari sisi waktu, dan mengalirkannya secara tepat dari sisi ruang.

Dalam referensi sejarah sepak bola, sedikit di antara dinamo permainan yang paling menonjol adalah Wielfred van Moer (Belgia), Wolfgang Overath (Jerman Barat), Rivelino, Roberto Falcao (Brazil), Osvaldo Ardilles (Argentina), Wiem van Hanegem (Belanda), Enzo Scifo (Belgia), Juan Ramon Riquelme (Argentina), Mesut Oziel (Jerman), dan Kevin de Bruyne (Belgia). Namun Xavi menonjol karena dibekali radar kepemimpinan yang betul-betul mampu mengatur ritme.

Bersama sosok eksepsional berkemampuan mengendalikan ruang inilah Barcelona meraih 25 gelar di panggung domestik, Liga Champons, dan antarklub dunia. La Furia Roja yang banyak menyerap filosofi bermain Barcelona — dengan coach Aragones yang berwatak “sepak bola jalanan” Atlecito Madrid dan Vicente del Bosque “genius organisasi” Real Madrid — memercayakan sumbu permainan pada Xavi. Trofi Euro 2008 dan 2012, serta juara dunia 2010 dipersembahkan.

Belakangan, salah satu klub elite Liga Qatar, Al Sadd juga merasakan sentuhan visioner Xavi sebagai “manager coach”. Sang pria Catalan membantu klub yang didirikan pada 1969 itu meraih dua trofi, Piala Super Qatar 2019 dan Piala Qatar 2020.

Gaya Al Sadd merupakan potret karakter bermain Xavi. Para pemain tidak berlama-lama menggiring bola, segera mengalirkannya ke ruang-ruang yang sudah terisi dengan rekan yang bergerak menerima umpan. Kecepatan aliran bola memaksimalkan ruang dan waktu merupakan taktik untuk sepersekian detik menekan lawan.

*   *   *

KEPERGIAN Xavi Hernandez ke Liga Qatar, dan bukan ke MLS di Amerika, Liga China, atau Jepang, diam-diam menjadi semacam “magang kepelatihan”. Semula banyak yang menduga Xavi ingin “berekreasi” dengan memilih liga yang lebih rileks dengan gaji besar, akan tetapi ternyata kita menemukan missi lain.

Sejarah kebersamaan dan kelekatan filosofis dengan Barcelona memosisikan Xavi sebagai sosok paling pas untuk melanjutkan kepemimpinan di Nou Camp setelah sukses besar Pep Guardiola. Kecuali Luiz Enrique, sederet nama Tito Villanova (alm), Gerardo Martino, Ernesto Valverde, dan kini Quique Setien dipandang belum benar-benar menghadirkan racikan tim yang mendekati kualitas tim Guardiola.

Rupanya, hanya pelatih yang betul-betul memahami jiwa tiki-taka yang bakal mampu memberi sentuhan senada. Satu hal lagi, menurut Andres Iniesta, generasi emas pada saat dia bermain bersama Xavi dan Messi merupakan “berkah” yang tidak begitu saja lahir.

Lalu bagaimana dengan prospek Xavi?

Pengakuan terhadap kehebatannya, antara lain tergambar dari prestasi posisi ketiga Ballon d’Or 2010 dan 2011 di bawah Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Boleh dibilang, Xavi hadir pada periode yang “keliru”. Andai beredar dalam orbit di luar Messi dan Ronaldo, hampir bisa dipastikan dialah yang akan meraih penghargaan tersebut.

Karena realitas peran itulah, sejak pensiun dari La Liga, Blaugrana dan timnas Spanyol merindukan kehadirannya. Namun belum satu pun nama yang dikandidatkan sebagai pengganti memenuhi ekspektasi. Barca pernah punya Thiago Alantara yang diberi predikat “New Xavi”. Alcantara gagal menyuksesi seniornya itu, bahkan untuk mendapatkan jaminan menit bermain akhirnya memilih pindah ke Bayern Muenchen ketika Pep Guardiola mengarsiteki The Hollywood.

Pemain muda berikutnya, Arthur Melo, belum mendapat banyak kesempatan sebagai starter. Kini juga disebut-sebut “Xavi Masa Depan” paling potensial, Riqui Puig Marti yang mulai dipromosikan Setien ke tim utama.

Apabila Barcelona tidak menjaga dan memberi cukup jam terbang, bukan tidak mungkin Puig akan memilih berlabuh ke klub lain. Akademia yang disebut-sebut memiliki talenta gabungan Xavi dan Busquets itu mulai banyak diminati klub lain.

Xavi memproyeksikan Puig sebagai pemain incarannya andai dia dipercaya menangani Azulgrana. Nama lain yang juga disebut adalah Neymar Junior, Jadon Sancho, dan Serge Gnabry.

Opini gencar mengembalikan Xavi ke Camp Nou rasanya bukan sekadar wacana. Dengan realitas kerekatan pemahaman sejarah dan kedalaman filosofi, serta “masa pemagangan” di Qatar, reuni “nyawa tiki-taka” itu hanya tinggal menunggu waktu.

Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng