blank
Ilustrasi : investasi perhotelan di Kota Yogyakarta. Antara

JAKARTA (SUARABARU.ID)- Perhotelan dan jasa akomodasi di tempat wisata merupakan jenis properti yang paling parah terdampak oleh pandemi COVID-19 yang telah mengglobal, termasuk di Indonesia, sehingga pemerintah perlu betul-betul mendapat perhatian dari pemerintah.

“(Sektor properti) paling terkena (dampak Corona) memang hotel. Kalau kita lihat secara global memang seperti itu,” kata Senior Associate Director Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, dalam paparan properti virtual di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, hotel ditempatkan di posisi paling atas dari jenis properti yang terkena risiko, setelah itu baru properti ritel atau pusat perbelanjaan.

Namun, lanjutnya, sektor ritel masih memiliki kesempatan karena para peritel sekarang ini sudah akrab berdagang secara online (daring).

Ia mengungkapkan bila kondisi pandemi terus berlanjut, maka beberapa hotel yang rencananya akan buka pada tahun 2020, maka ada kemungkinan rencana pembukaan itu akan ditunda.

“Kira-kira berapa lama (penundaannya), tergantung dari setiap developer karena ada developer yang pemulihannya bisa lebih cepat, tapi ada juga yang pemulihannya lebih lama,” katanya.

Ferry memaparkan beberapa hotel yang saat ini menutup operasional itu, sebenarnya juga merupakan langkah strategis dalam rangka menekan biaya operasional.

Hal tersebut, lanjutnya, karena bila hotel tetap beroperasi tetapi tidak bisa tertutup oleh penghasilan dari tamu hotel, maka kinerja keuangan hotel itu bisa merugi.

Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menerima laporan sebanyak 1.266 hotel telah tutup karena terdampak COVID-19.

“Laporan terakhir yang dinyatakan tutup 1.266 hotel per kemarin (Senin, 6/4) sore. Kalau yang real pasti lebih banyak karena kita berdasarkan laporan. Kalau tidak lapor kita tidak tahu,” katanya di Jakarta, Selasa (7/4).

Dari jumlah tersebut, Hariyadi memperkirakan ada lebih dari 150 ribu orang karyawan yang terdampak. Meski diakuinya angka tersebut belum pasti karena pihaknya belum mendapatkan data yang lebih akurat.

Ada pun untuk usaha restoran, menurut Hariyadi, sudah cukup banyak yang menutup usahanya karena sejumlah mal juga ditutup.

Namun, ia mengaku data mengenai restoran memang cukup sulit didapat karena bisnis tersebut dinilai paling tak disiplin ketika dimintai data.

Sementara untuk restoran yang melayani layanan pengantaran dan bawa pulang (take away), menurut Hariyadi, jumlah sangatlah terbatas.

Lebih lanjut, Hariyadi mengungkapkan selama ini terus berkoordinasi dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

“Tapi balik lagi, kalau masalahnya adalah ekonominya berhenti kan tidak bisa diapa-apain. Otomatis semua tidak sanggup karena tidak ada cash flow,” ujarnya.

Ant/Muha