blank
Ilustrasi

Oleh Widiyartono R

blankSORE hari beberapa saat setelah pergi bersama istri untuk mencari keperluan, begitu kami masuk rumah, pintu diketuk. Seorang tetangga datang dan dengan muka agak kecewa menanyakan, pergi ke mana kok tidak pulang-pulang. Istri pun bertanya, ada apa gerangan.

Ini lho, sayur lodeh tujuh rupa sudah jadi dari tadi. Tinggal njenengan saja yang belum tak kirimi,” kata tetangga.

Oh, rupanya kemarin istriku memberikan buah kluwih kepada tetangga itu. Aku tak berpikir apa pun ketika istri memberikan kluwih itu. Sebab, dalam kehidupan bertetangga di kampung, kompleks Perumnas di Semarang, kami sangat rukun. Saat pulang dari menengok keluarga di desa, kami sering pulang membawa gori (nangka muda), rebung petung (bambu muda untuk sayur), kadang kacang panjang, singkong, labu siyam (jipang), kelapa, atau apa pun yang ada di desa.

Bawaan dari desa itu kemudian kami bagi-bagikan ke tetangga. Ternyata, menjelang siang ada tetangga yang selalu datang setelah “pembagian” oleh-oleh dari desa itu. “Bu jangan gorine wis mateng (Bu, sayur nangka mudanya sudah matang),” kata tetangga sambil menyerahkan sayur itu pada sebuah mangkuk. Atau juga lodeh rebung yang diberikan, dan yang lain, sesuai oleh-oleh yang diterima.

Orang Jawa bilang bali gondhok, memberi kok akhirnya dikembalikan lagi, walau sudah beda bentuk. Tetapi itulah begitu baiknya tetangga-tetangga kami, yang tahu persis kami cuma berdua dan jarang memasak, karena anak-anak sudah tinggal di tempat yang cukup jauh.

Kembali ke sayur lodeh tujuh rupa tadi. Kisahnya berbeda dengan pemberian yang biasanya. Bahan sayuran itu bukan oleh-oleh dari desa. Tetapi tetangga ini tampaknya memang punya niat membauat sayur lodeh tujuh rupa, untuk “tolak bala”. Maklum saja, beredar dengan kencang melalui grup-grup whatsapp tentang video bergambar Sri Sultan Hamengku Buwono X, dengan audio yang suaranya sangat mirip Sri Sultan, intinya berisi pesan agar warga membuat sayur lodeh tujuh rupa, untuk mengusir pageblug yang terjadi sekarang ini. Dan, kita tahu pageblug atau wabah menakutkan saat ini adalah virus corona yang mengakibatkan penyakit covid-19.

Ya, tempat tinggal saya memang di kota, walaupun di kompleks Perumnas. Hanya perlu waktu urang dari 10 menit untuk mencapai Pasar Johar atau Kota Lama Semarang, atau sekitar 15 menit sampai Simpanglima. Tetapi, tetangga kami masih percaya bahwa lodeh tujuh rupa itu bisa mengusir virus corona, bisa membebaskan kami dari pandemi covid-19. Orang kota masih percaya mitos?

Mitos Lama

Wikipedia menyebut mitos adalah bagian dari suatu folklor yang berupa kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta (seperti penciptaan dunia dan keberadaan makhluk di dalamnya), serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita.

Dan, dalam pikiran kita pada umumnya, mitos dimaknakan sebagai sesuai yang biasa dipercayai pada masyarakat tetapi belum tentu kebenarannya secara ilmiah. Misalnya bila istri sedang hamil, suaminya jangan mengail ikan, sebab bila anaknya lahir bibirnya bisa sumbing. Analoginya, mulut ikan kena pancing bisa menjadikan anaknya kena “tulah”.

Hal seperti ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, walaupun dalam kehidupan bisa saja terjadi. Seperti cerita seorang saudara saya yang tinggal di Mandiraja, Banjarnegara. Anaknya lahir dengan bibir sumbing, karena waktu istrinya hamil dia sering mancing di Sungai Serayu. Lalu dia memercayai, bahwa saat istri hamil jangan mancing. Maka kemudian ada kuis mitos atau fakta. Jadi, mitos itu sesuatu yang tidak bisa dibuktikan dengan nyata/ilmiah, dan faktual.

Lalu mengapa orang Jawa masih memercayai mitos semacam ini? Orang Jawa itu hidup penuh dengan simbol, orang Jawa (secara umum) tidak suka berterus terang. Maka ada yang menganggap orang Jawa itu munafik, menyembunyikan sesuatu, dan sejenisnya.

Suatu kali, nenek saya yang memang petani dalam artian sebenarnya (tani utun) sedang memetik cabai (lombok) dengan pembantunya. Tiba-tiba nenek saya berujar pada perempuan muda pembantunya itu, “Nek amek lombok aja karo ndhodhok, mengko mundhak kembange dha gogrok (Kalau memetik lombok jangan sambil jongkok, karena akan menjadikan bunga-bunganya rontok)”.

Apa hubungannya bunga cabai rontok karena pemetiknya memetik sambil berjongkok. Sama sekali tidak ada kaitannya, nggak nyambung babar blas. Ya, itu bagi orang yang tidak paham Jawa, tidak paham sanepa atau pesan tersirat.

Kenapa nenek saya harus berucap seperti itu? Ya, karena nenek melihat ada sesuatu yang tidak patut di sana. Si perempuan muda itu berjongkok, mengenakan kain pendek, sehingga (maaf) saat kelaminya kelihatan. Nenek saya yang orang Jawa lama, dan kala itu masih tergolong (mohon maaf lagi) priyayi, tidak akan berterus terang mengingatkan pembantunya, bahwa “itu”-nya kelihatan. Ya, karena pada masa itu, perempuan (apalagi did esa) jarang mengenakan celana dalam. Nenek menggunakan sanepa atau pesan tersirat, karena tidak ingin membuat malu pembantunya, maka bunga cabailah yang dirontokkan, bukan harga diri si pembantu yang dijatuhkan.

Simbol dan Doa

Suatu ketika, saat Kongres Kebudayaan Jawa di Solo, ada seorang ibu yang bertanya kepada pembicara, orang mantu dengan perlengkapan tuwuhan seperti sepasang pohon pisang raja dengan buahnya, kelapa muda, daun kluwih, dan sebagainya itu secara agama haram, syirik, atau tidak?

Kebetulan penanya berikutnya saya, maka saya pun menyampaikan, “Ini masalah kebudayaan, jangan dicampur-campurkan dengan agama. Agama itu cuma bagian dari kebudayaan.” Ya, bukankah Kuntjaraningrat menyebut ada tujuh unsur kebudayaan, di antaranya sistem religi atau kepercayaan. Jadi agama itu subsistem kebudayaan.

Apakah tuwuhan itu bertentangan dengan agama? Mohon maaf kalau saya menyatakan, justru itu sangat agamis, sangat religius bagi orang Jawa. Karena tuwuhan itu merupakan wujud doa orang Jawa yang disampaikan secara simbolik.

Orang Jawa mengucapkan doa tanpa harus berteriak-teriak, tetapi dengan simbol. Ketika mau mantu, diawali dengan orang tua (pihak perempuan) memasang bleketepe, anyaman daun muda kelapa (janur), yang maknanya menyucikan/membersihkan lokasi hajatan dari gangguan apa pun. Bleketepe dari kata bale katapi, yang secara hurufiyah artinya tempat dibersihkan.

Ini wujud permohonan kepada Tuhan Pemilik Semesta Alam, agar tempat yang akan digunakan untuk hajatan itu dibersihkan dari segala gangguan. Kemudian pring wulung atau bambu berwarna wulung (biru tua cenderung ungu kehitaman). Bentuknya lurus, warnanya tegas, pangkalnya kuat untuk menyangga tarub (bangunan untuk hajatan). Ini simbol permohonan kepada Tuhan, semoga pengantin itu kelak dalam mengarungi bahtera kehidupan punya dasar yang kuat, baik secara spiritual maupun fisikal.

Dua pohon pisang raja lengkap dengan tandan buahnya yang sudah masak, simbol permohonan agar calon pengantin mampu berpikir secara matang, dewasa. Lalu mengapa harus pisang raja? Harapannya, pasangan ini kelak punya kedudukan terhormat dalam masyarakkat laiknya  raja yang dihormati rakyatnya.

Ada lagi tebu wulung. Tebu dikeratabasa antebing kalbu, kemantapan hati pengantin Harapannya, pengantin sudah mantap di daam pilihan. Mengapa pula tebu wulung? Warnanya memang wulung. Dalam masyarakat Jawa warna wulung ini ini biru, kehitaman, keunguan. Ungu itu ada kecenderungan merah, dan tebu wulung memang lebih dominan pada warna merah cenderung tua. Tebu rasanya manis, dan wulung bermakna denotatif tua/sepuh. Harapannya, si pengantin kelak hidup sebagai orang dewasa (temuwa), bijaksana dalam bersikap, dan hidup dalam kemanisan.

Kemudian tak ketinggalan, janur yang dimaknakan sebagai sejaning nur (cahaya sejati yang berasal Tuhan). Secara simbolik, ini permohonan kepada Tuhan agar pengantin berdua selalu mendapatkan cahaya dari Tuhan, taat beribadah, dan tidak pernah meninggalkan Tuhan dalam kehidupannya.

Tentu kita lihat juga cengkir gadhing (kelapa muda berwarna kuning). Cengkir dimaknakan kencenging pikir (ketetapan pikiran). Sebuah permohonan agar pengantin punya kemantapan pikir atas pasangannya. Cengkir gadhing juga dianalogikan sebagai rahim atau tempat jabang bayi. Harapannya supaya kedua mempelai segera mendapat keturunan yang baik.

Daun kluwih. Dari kata kluwih tersirat harapan agar si pengantin kelak dalam menjalani kehidupan mendapatkan rezeki yang luwih (lebih) atau kalau mungkin berlebih. Rezeki dalam bentuk kesehatan, ketenteraman, kedamaian, dan tentu saja harapan atas kekayaan. Tetapi meski kaya diingatkan untuk tetap bederma, membantu yang membutuhkan.

Daun andong, dulu biasa digunakan untuk pembungkus tempe, sekarang banyak dijadikan tanaman hias di rumah-rumah. Bentuk daunnya lurus. Maka harapannya, kedua mempelai selalu berada di jalan yang lurus, bertindak baik, dan bermanfaat bagi orang lain.

Ada lagi daun girang yang berwarna cerah, bersih dan tidak berbulu. Kiranya si pengantin selalu hidup dalam kecerahan, penuh kegembiraan, tidak pernah menyakiti orang lain.

Daun alang-alang tak ketinggalan, sejenis rumput berdaun tajam, bisa hidup di mana pun, tak lekang oleh panas dan hujan. Selain permohonan agar dalam pelaksanaan hajatan tidak ada “alangan” (halangan), juga kedua pengantin bisa tahan atas segala guncangan hidup, punya semangat tinggi tak lekang oleh panas dan hujan seperti rumput alang-alang.

blank
Tuwuhan dalam upacara pernikahan itu, bagi orang Jawa merupakan ungkapan doa secara simbolik. Foto: Ist

Godhong apa-apa, sejenis rumputan semak, yang secara lugas bisa disebut adanya harapan agar dalam hajatan dan kehidupan pengantin selanjutnya ora ana apa-apa tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Kemudian kita bisa lihat juga adanya daun beringin, simbol permohonan kepada Tuhan, agar pengantin menjadi sosok yang kuat dan kokoh, serta bisa menjadi pengayom bagi siapa pun seperti halnya pohon beringing yang kokoh dan rindang.

Padi, tentu tak ketinggalan, karena padi yang diolah menjadi beras kemudian ditanak menjadi nasi adalah kebutuhan hidup sehari-hari. Harapan yang dipanjatkan, semoga pasangan pengantin ini kelak kecukupan dan makmur hidupnya, tetapi tetap bersikap rendah hati seperti bulir-bulir padi yang semakin berisi kian menunduk.

Boleh saja ini disebut mitos, tetapi  bahwa saya meyakini, inilah cara orang Jawa dengan ciri agrarisnya memohon penyertaan Tuhan dalam kehidupannya melalui doa yang tak terucap lewat mulut, tetapi melalui simbol-simbol atau tanda.

Lodeh Tujuh Rupa Itu…

Lalu bagaimana tentang lodeh tujuh rupa itu? Ya, itu bisa juga disebut mitos, yang kemudian dipercayai sebagian orang Jawa, dan kemudian tetap dilakukan pada saat muncul bencana, wabah atau pageblug. Orang-orang di sekitar Yogyakarta juga memasak lodeh ini ketika terjadi gempa bumi tahun 2006. Kemudian pada masa terjadi pandemi covid-19 ini, muncul imbauan untuk membuat sayur lodeh itu. Dan, banyak orang melakukannya.

Saya tidak membahas apakah yang mengimbau itu Sultan HB X atau bukan. Kalaupun memang Sultan HB mengimbau, sebagai sultan, sebagai raja, sebagai pemangku kebudayaan itu sah-sah saja. Tetapi kalau sebagai Gubernur DIY memang jadi lucu. Dan kemudian ada klarifikasi dari Pemprov DIY bahwa Sri Sultan tidak menyampaikan imbauan seperti yang tersebar di whatssap itu.

blank
Gambar dan video yang viral di media sosial, berisi imbauan Sultan HB X untuk memasak sayur lodeh tujuh rupa. Dan, itu dibantah Pemprov DIY. Foto: Ist

Tetapi ketika imbauan, entah siapa yang membuat dan kemudian mengedarkan, saya sebagai orang Jawa (meskipun wis ra pati njawa atau bahkan wis ora jawa), tersadarkan. Inilah local wisdom orang Jawa. Mereka tidak melawan corona dengan berteriak-teriak karena kesulitan mencari cairan pembersih tangan (hand sanitizer), tidak menyalahkan  pemerintah yang dinilai terlambat bertindah atau dengan gegap gempita menyemprotkan disinfektan di berbagai tempat, bahkan orang pun disemprot. Padahal, kata para ahli yang paham, disinfektan itu berbahaya bagi manusia.

Orang Jawa (yang tampaknya masih jawa) muncul dengan local wisdom-nya, memberikan pralambang, sanepa atau tanda/simbol melalui doa yang tersirat lewat jangan lodheh pitung rupa itu.

Sayur lodeh yang disarankan itu dengan bahan pertama kluwih, sebuah wujud permohonan kepada Tuhan, agar kulawarga kaluwihanan anggone nggulawenthah lan nggatekake brayate (keluarga agar punya waktu lebih untuk membimbing dan memperhatikan anggota keluarganya). Imbauan untuk bekerja di/dari rumah kiranya makin mendekatkan antaranggota keluarga yang selama ini banyak ditinggalkan karena kesibukan masing-masing).

Bahan kedua cang gleyor/kacang gleyor (kacang panjang). Bermakna,  cancangen awakmu aja lunga. Diingatkan untuk “mengikat badan” atau menahan diri untuk tidak pergi-pergi, agar virus itu terhenti penyebarannya. Di rumah saja, tidak usah mudik, termasuk saat Lebaran karena potensial menluarkan virus.

Berikutnya terong yang dimaknakan dalam ungkapan terusna anggone olehe manembah ing Gusti, aja dhatnyeng, mung yen eling. Teruskan dalam menjalankan ibadah, jangan hangat-hangat tai ayam, jangan hanya kalau teringat. Maka kemudian meskipun ada imbauan untuk tidak jumatan di masjid dan diganti dengan salat zuhur di rumah tetapi tetap dijalankan. Gereja-gereja pun kemudian membuat kebaktian virtual dengan ibadah daring/dalam jaringan atau online. Meskipun kondisi sepertinya tidak memungkinkan untuk beribadah, tetap tidak boleh lupa pada Tuhan. Ibadah online pun tidak jadi persoalan.

Ada juga kulit mlinjo, yang dimaknakan aja mung ngerti njabane, nanging kudu ngerti njerone. Kita ingat ungkapan yang sering diucapkan komedian Tukul Arwana, don’t judge the book by its cover. Jangan melihat sesuatu dari kulitnya saja, harus dipahami dalamnya.

Jangan hanya dilihat ini sebagai wabah, bencana, kerugian secara sosial maupun ekonomis, tetapi harus bisa memetik hikmah dari musibah ini. Kita diajak merenung, kontemplasi, retreat tentang apa yang kita perbuat pada masa lalu. Kita telah abai terhadap lingkungan, kita melupakan keluarga karena sibuk bekerja, kita melupakan Tuhan karena lebih banyak mengejar dunia, dan sebagainya.

Godhong so atau daun melinjo, secara kerata basa dimaknakan golong gilig ndonga kumpul wong soleh bakal sugih kaweruh babagan agama lan pageblug. Dengan sepenuh hati memercayai apa yang disampaikan para pemimpin agama, menaikkan doa dan menjalankan apa yang disampaikan agar kita terhindar dari wabah corona ini. Maka MUI pun menurunkan fatwa tentang salat Jumat yang diganti salat zuhur untuk menghambat penyebaran virus corona, pemimpin gereja-gereja menyelenggarakan ibadah online, dan sebagainya.

Kemudian ada pula waluh  atau labu yang dimaknakan sebagai ucapan uwalana ilangana ngeluh ngresula. Kita diminta untuk menghilangkan keluhan (sambat), dan harus tetap bersemangat meski dalam kondisi sulit.

Satu lagi tempe, yang dimaknakan: temenanan olehe ndhedhepe nyuwun pitulungane Gusti. Sebuah ajakan agar kita tetap fokus dan memercayai bahwa Tuhan akan menolong, Tuhan tidak akan meninggalkan kita, sejauh kita tetap berusaha dan selalu memohon kepada-Nya. Karena kita selalu diingatkan, Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum bila kaum itu tidak berusaha mengubahnya.

Jangan lodheh pitung rupa itu silakan dianggap sebagai mitos. Mitos orang Jawa, atau yang sinis lagi, orang Jawa yang kuno tidak mau maju tidak mengikuti perkembangan zaman. Mangga yang berpikir seperti itu. Saya tetap memercayai bahwa itulah kearifan orang Jawa, tidak berteriak-teriak dalam mengerjakan sesuatu. Meskipun dibilang lambat, tetapi hasilnya tidak salah karena dilakukan dengan cermat dan teliti dengan semboyan alon-alon waton kelakon.

Yang saya sedihkan justri sekarang muncul mitos baru yang mengkhawatirkan, dengan menganggap atau bahkan memercayai bahwa disinfektan itu segala-galanya untuk mengusir virus corona. Maka semua menyemprotkan disinfektan, di jalanan, di kendaraan, di perabotan. Tetapi ada yang terlalu bersemangat, sehingga disinfektan disemprotkan pada manusia, dibuatlah bilik-bilik disinfektan, orang-orang disemprot, bahkan ada yang ekstrem mandi disinfektan.

Disinfektan itu untuk barang atau benda, bukan untuk manusia. Antiseptik yang berlebihan pun berbahaya bagi manusia, apalagi disinfektan. Maka disinfektan itulah kini jadi mitos baru yang sangat dipercayai masyarakat, padahal itu sangat berbahaya.

Semoga negeri ini segera terbebas dari pandemi ini. Kita mesti berjuang bersama.

Widiyartono R, wartawan tua pemerhati masalah kebudayaan.