blank

Oleh Amir Machmud NS

blank

SEJATINYA, istilah “Jaring Pengaman Sosial” (JPS) terasa kurang nyaman ketika dikaitkan dengan ikhtiar “pengamanan” keseharian hidup wartawan. Dalam kondisi normal, JPS lebih tepat sasaran untuk warga masyarakat yang membutuhkan, berkonteks sebagai kebijakan bersifat subsidi, misalnya ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak secara signifikan.

JPS berkonotasi kompensasi bagi kebutuhan dalam “jangka sangat pendek” yang harus dipenuhi. Bagi warga yang membutuhkan, praktiknya adalah pemenuhan kebutuhan dasar makan-minum sehari-hari.

Maka ketika Dewan Pers mengikuti pertemuan dengan Menteri Kominfo, para pemimpin redaksi media massa, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada 3 April kemarin, saya merasa “agak bagaimana” begitu membaca lima poin sikap institusi tertinggi pengawal penegakan kemerdekaan pers itu. Terutama, pada poin kedua.

Lima Sikap Dewan Pers

Pertama, Dewan Pers mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi stimulus kepada perusahaan pers, berupa subsidi pembelian bahan baku (kertas) dan atau langkah pemberian keringanan pajak, khususnya kepada media cetak di daerah yang kian terpuruk akibat naiknya dolar Amerika Serikat. Kondisi ini memicu kenaikan harga kertas, di lain pihak perusahaan pers juga menghadapi penurunan pendapatan dari iklan dan berkurangnya pembeli/ pembaca, serta kenaikan biaya operasional.

Kedua, Dewan Pers memasukkan wartawan dalam kelompok masyarakat yang mendapat fasilitas JPS, khususnya wartawan profesional (yang telah tersertifikasi) dari media di daerah.

Ketiga, Dewan Pers dan Kemenkominfo mendorong pemerintah daerah untuk dapat berkontribusi dalam perlindungan kerja wartawan melalui bantuan Alat Perlindungan Diri (APD) bagi wartawan yang bertugas, khususnya peliput Covid-19 dan event terkait.

Keempat, Dewan Pers menilai, perang terhadap Covid-19 membutuhkan peran serta media dalam menyajikan informasi yang layak dipercaya. Media layaknya menjadi rumah penjernih informasi bagi publik. Informasi media tidak selalu selaras dengan informasi resmi pemerintah, karenanya diperlukan proses saling mengecek dan menguatkan.

Kelima, Dewan Pers juga menilai, media massa telah menunjukkan peran aktif dalam membantu memerangi Covid-19, dan akan terus melanjutkan partisipasi sampai Indonesia terbebas. Dewan Pers akan senantiasa mendorong upaya ini.

Bukan Kecengengan/ Kemanjaan

Tanggal 3 April saya menulis di portal berita suarabaru.id tentang “Daya Tahan” Media di Tengah Pandemi Corona, yang juga diviralkan oleh jaringan media-media online yang tergabung dalam Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

Inti artikel saya sama dengan sikap Dewan Pers, akan tetapi tidak sampai ke pemikiran tentang JPS. Saya lebih mendorong ke arah logika berpikir terhadap penyeimbangan cash flow perusahaan media, antara lain melalui bagian “kue” anggaran darurat penanganan pandemi Corona, termasukdi daerah-daerah.

Artinya, dorongan agar mendapat bagian dari “kue” itu lebih dilihat dari realitas peran media yang ikut berada di depan dalam perang melawan Covid-19, yakni dalam fungsi menginformasikan, mengedukasi, dan menjalankan kontrol sosial.

Setidak-tidaknya, ada “kerja sama iklan/ advertorial yang juga bersifat darurat”, sehingga atensi pemerintah, termasuk pemerintah daerah kepada pers akan lebih elegan ketimbang berwujud verbal JPS yang langsung bergulir ke para wartawan, seberapa profesional pun wartawan itu karena telah tersertifikasi melalui uji kompetensi.

Dengan membantu penyehatan perusahaan media melalui akses “kue anggaran” penanganan pandemi Corona, otomatis wartawan akan masuk di dalam coverage kerja sama iklan tersebut. Intinya, yang masuk di dalam kelompok penerima JPS adalah medianya.

Teknisnya tentu bisa dirinci dalam break down kriteria/ klafisikasi oleh Dinas-Dinas Kominfo Provinsi.

Empati Antarwartawan dan Antarmanusia

Dalam pernyataan sikap sepekan sebelumnya, PWI Provinsi Jawa Tengah antara lain menegaskan mengenai pentingnya peranti pendukung bagi peliputan Covid-19 secara aman. Selain mengikuti protokol yang dibuat oleh Dewan Pers dan organisasi-organisasi profesi wartawan, tentu mereka juga butuh akses untuk mendapatkan APD.

Katakanlah bisa memperoleh akses prioritas dalam rapid test, juga bisa mendapatkan peralatan seperti hand santizer dan masker, yang belakangan sulit diperoleh karena langka.

PWI Jateng mengimbau para wartawan agar saling menjaga, dengan mengingatkan momen apa saja yang diprioritaskan untuk diliput, dan mana yang harus dihindari. Lupakan kompetisi antarmedia seperti praktik reguler untuk menjadi yang lebih cepat mengunggah informasi secara eksklusif. Satukan hati dan rasa sebagai sesama wartawan dan sesama anak manusia di tengah kondisi yang sangat berisiko ini.

Ketika konferensi pers pun bisa mendatangkan risiko keterpaparan virus, teknis-teknis kesalingpemahaman bisa dilakukan antara wartawan dengan otoritas-otoritas yang setiap saat menyampaikan update informasi. Misalnya dengan video conference, teleconference, serta berbagi foto dan video. Tentu masih dimungkinkan memodifikasi teknis-teknis peliputan berpola work from home (WFH) yang cerdas dan praktis, sampai benar-benar kondisinya aman.

Apalagi di provinsi seperti Jawa Tengah ini, Gubernur Ganjar Pranowo yang akrab dengan semua platform media sosial, dan kreatif “menciptakan berita”, akan membuat media tidak akan kehilangan momen-momen berbobot news value. Setiap hari, selalu ada aktivitas dalam dinamika penanganan Covid-19 di provinsi ini yang layak diinformasikan, di luar update perkembangan yang selalu ditunggu oleh warga masyarakat melalui media.

Kesimpulannya, dari realitas “daya tahan” media dan peran wartawan di lapangan, dapat diniscayakan “kolaborasi hati dan rasa” dengan para pemangku kepentingan dalam perang melawan pandemi Corona. Perspektifnya, bersama-sama memberi informasi aktual, mengedukasi, serta memberi inspirasi kepada masyarakat.

Barang tentu, tanggung jawab bersama itu membutuhkan topangan jaminan keamanan, kemanusiaan, dan kehidupan yang memadai. Tanpa melupakan “panggilan jiwa” sebagai idealisme dalam praktik bermedia, tuntutan pemenuhan kebutuhan itu tentu bukan ekspresi kecengengan profesi.

Kalau media mendapat askes biaya produksi dan laba, wartawannya pun bakal bekerja dengan lebih fokus dan aman. Bukankah ini bentuk Jaring Pengaman Sosial yang bermartabat?

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah