blank

Pandemi Covid-19: Sanksi Tegas Penimbun Masker  

Oleh:

Ira Alia Maerani & Amalia Nur Fauzia

4 Maret 2020, pemerintah untuk pertama kalinya mengumumkan adanya pasien yang sudah suspect positif terjangkit Virus corona, atau yang biasa dikenal dengan sebutan COVID-19. Setelah adanya himbauan dari pemerintah perihal adanya pasien yang positif COVID-19, masyarakat di seluruh Indonesia mulai peduli dan menjaga diri dengan melakukan social distancing, physical distancing. Bahkan diketahui ada beberapa daerah yang melakukan isolasi terbatas (isolasi wilayah).

Pola kehidupan pun berubah secara dramatis. Aktifitas di luar rumah seperti sekolah, kerja, beribadah dan lainnya harus dilakukan semuanya dari rumah. Masyarakat yang memang ada kegiatan di luar rumah, mendapat himbauan untuk menjaga kebersihan diri sendiri dan lingkungan serta berhati-hati dan menjaga jarak dengan orang lain. Mereka juga dihimbau untuk membawa hand sanitizer dan masker untuk menjaga diri dari virus yang bisa darimana saja mereka dapatkan.

Sebagai upaya melindungi diri dari terpapar virus corona, banyak masyarakat yang berbondong-bondong mencari alat perlengkapan kesehatan seperti masker dan hand sanitizer. Keadaan ini membuat segelintir oknum memanfaatkan moment untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dalam keadaan sulit. hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan persediaan masker di apotik dan gerai alat kesehatan lainnya. Disinyalir ada oknum yang menimbun masker, sehingga saat dikeluarkan akan diberikan harga yang berkali-kali lipat mahalnya dibanding saat sebelum pandemi ini terjadi.

Jeratan Hukum

Dalam kasus ini, para penyalahguna penimbun masker yang diduga “memancing di air keruh” dapat dituduh melanggar peraturan yang ada. Pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 50 miliar rupiah. Bahkan ancaman sanksi administrasi pun melengkapi, berupa penghentian kegiatan produksi atau peredaran, atau pencabutan perizinan usaha.

Pasal 29 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menegaskan larangan bagi pelaku usaha menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.

Akan tetapi di dalam Pasal 1 Peraturan Presiden (Perpres) No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting membahas bahwa kebutuhan barang pokok adalah barang yang mendukung hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan. Dimana tidak disebut masker sebagai bagian di dalamnya.

Pasal 2 Ayat (6) Huruf a Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2015 mengatur bahwa terdiri dari barang kebutuhan pokok:

  • hasil pertanian: beras; kedelai, bahan baku tahu dan tempe; cabe; bawang merah
  • hasil industri: gula; minyak goreng; tepung terigu
  • hasil peternakan dan perikanan: daging sapi; daging ayam ras; telur ayam ras; ikan segar yaitu bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang.

Pasal 2 Ayat (6) Huruf b Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2015 mengatur barang penting yang dimaksud adalah benih yaitu benih padi, jagung, dan kedelai; pupuk; gas elpiji 3 kg; triplek;  semen; konstruksi besi baja; dan baja ringan.

Peraturan Presiden di atas menjelaskan bahwa masker tidak termasuk dalam kategori sebagaimana disebut sebagai barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Akan tetapi kondisi pandemi Covid-19 tidak diragukan lagi merupakan kondisi  force majeure (keadaan memaksa). Dimana pandemi Covid-19 ini merupakan keadaan yang terjadi di luar kemampuan manusia dan sulit dihindarkan. Merebaknya virus corona di ratusan negara begitu cepatnya. Menjadi wabah global. Ribuan orang meninggal dunia.

Sementara masker digunakan dan dibutuhkan sebagai barang penting untuk mengantisipasi penyebaran virus corona. Masker menjadi piranti wajib dipakai oleh pasien covid-19. Masker mutlak digunakan oleh para tenaga medis sebagai garda terdepan pengawal kesehatan masyarakat. Sungguh memprihatinkan jika masker tidak tersedia dengan cukup. Cukup barangnya dengan harga normal. Kondisi langkanya masker di pasaran hingga harganya yang meroket, apakah ini tidak termasuk kategori yang dimaksud oleh Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan yakni    sebuah kondisi dimana terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang? Sehingga ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dapat diterapkan?

Berdasarkan asas manfaat maka beberapa hal yang dapat dilakukan oleh penegak hukum antara lain melakukan rechtsvinding (penemuan hukum); melakukan diskresi atau kebebasan untuk mengambil keputusan terbaik sepanjang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan.

Kiranya perlu adanya revisi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) No. 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Sehingga dalam kondisi force majeure (keadaan memaksa), barang kebutuhan pokok dan barang penting yang tidak disebutkan dalam pasal terkait menjadi bagian dari kondisi yang dibenarkan untuk diambil tindakan yang paling tepat. Terutama berdasarkan asas kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat. Penegakan hukum dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan hukum pada masyarakat. Sehingga kondisi “luar biasa” ini perlu ditopang dengan sikap kepedulian pada sesama sebagaimana Pancasila mengamanatkan yakni sila ke-2,”Kemanusiaan yang adil dan beradab.”

Tak kalah penting adalah membangun rasa nasionalisme sebagaimana Pancasila sila ke-3, ”Persatuan Indonesia” dengan tidak melakukan perdagangan ekspor masker ke luar negeri karena pertimbangan keuntungan duniawi semata.  Ketika rakyat sendiri membutuhkan banyak masker. Penjualan masker ke luar negeri karena mengharap keuntungan berlipat di saat kondisi darurat ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan semangat nasionalisme dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Masyarakatpun ada yang tidak mau tahu dan tetap memborong masker demi melindungi diri sendiri dan keluarga. Padahal, realita yang ada yakni banyak pasien dan tenaga medis yang kekurangan perlengkapan tersebut. Apalagi untuk tenaga medis sebagai garda paling depan yang berjuang menangani para pasien COVID-19 agar cepat pulih. Bahkan mereka bertarung dengan kondisi dan nyawa mereka sendiri. Mereka juga membutuhkan APD (Alat Pelindung Diri) yang ternyata di Indonesia sendiri terbatas keberadaannya. Kondisi kurangnya perlengkapan APD untuk para tenaga medis di seluruh Indonesia ini, menggelitik rasa kemanusiaan unsur masyarakat yang peduli. Bahkan beberapa influencer, publik figur, hingga para mahasiswa yang beramai-ramai menggalang donasi dan bantuan untuk menanggulangi masalah ini. Ketika melihat minimnya alat pelindung diri (APD) para pahlawan medis yang berjuang untuk menangani pasien dan memperbaiki keadaan di tengah pandemi covid-19 ini.

Sebagai bagian dari problem solving, hendaknya kita selaku masyarakat Indonesia dan generasi penerus bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila untuk mematuhi aturan yang diberikan pemerintah. Sesuai sila ke-2, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, kita harus menjadi manusia yang memanusiakan manusia yang lain dengan saling memberi bantuan kepada yang membutuhkan, khususnya untuk tenaga medis yang sedang berjuang keras di garda terdepan dalam kasus ini. Selain itu, mematuhi aturan pemerintah untuk melakukan physical distancing dan tidak berpergian kemanapun jika tidak ada kepentingan. Pandemi ini bukanlah hal yang bisa diremehkan, sudah banyak sampai saat ini yang terkena suspect positif COVID-19, bahkan ribuan meninggal  di dunia saat ini. Tujuan pemerintah memberikan aturan dan himbauan adalah untuk kebaikan masyarakat agar semua keadaan bisa cepat pulih. Jadi sekarang bukan waktu kita untuk mementingkan diri sendiri dan memenangkan ego, tapi waktu kita untuk bersatu untuk memulihkan keadaan jadi lebih baik lagi. Sehingga terwujudlah “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”

Penulis:
Dr. Ira Alia Maerani, M.H. (Dosen Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang)

Amalia Nur Fauzia (Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Ilmu Komunikasi UNISSULA, Semarang)

Suarabaru.id