blank
dr. Tri Adi Kurniawan, Sp.P, M.Kes., FISR

JEPARA,(SUARABARU.ID) – Masyarakat tidak perlu cemas melihat tingginya angka Orang Dalam Pemantauan ( OPD) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDB). Sebab kedua istilah tersebut tidak serta merta  mengkategorikan  seseorang terpapar virus corona.

Namun demikian  masyarakat harus tetap hati-hati dan terus menjaga jarak fisik (physical distancing) untuk menghindarkan kontak dan interaksi langsung dengan sesama.

Sebab  kontak dan interaksi langsung merupakan salah satu media yang efektif penyebaran  virus yang ukurannya dibawah 5 mikro ini. Karena kecilnya virus ini maka diperlukan Alat Pelindung Diri khusus bagi para petugas medis yang berinteraksi dengan pasien agar tidak tertular oleh virus yang ciri awal penderitanya memiliki gejala mirip penyakit flu.

Hal tersebut diungkapkan oleh dr Tri Adi Kurniawan, Sp.P, M.Kes, FISR kepada SuaraBaru.id terkait dengan kecemasan masyarakat melihat tingginya angka OPD dan PDP di berbagai daerah.

Menurut dokter spesialis paru ini, penyebaran  covid-19 sangat cepat.  Karena itu  agar tidak terlambat pengobatannya,  semua orang dengan keluhan flu seperti,  batuk, pilek, demam, sesak nafas, dan nyeri tenggorokan  masuk pada kategori ODP atau PDP.

Namun itu saja tidak cukup, pasien  masuk kategori ODP dan PDP harus   memiliki riwayat perjalanan 14 hari sebelumnya dari daerah terjangkit atau bersentuhan dengan orang yang terbukti confirmed covid-19. Jika gejalanya ringan  maka pasien tersebut masuk kategori  ODP. Sedangkan untuk yang mempunyai gejala lebih berat  dikategorikan PDP.

Dijelaskan oleh dr Tri Adi Kurniawan Sp.P, M.Kes, FISR, pasien dengan kategori ODP adalah orang  yang mengalami demam  lebih dari 38 C atau riwayat demam atau gejala gangguan sistem pernafasan seperti pilek atau sakit tenggorokan atau batuk dan pada 14 hari terakhir.

Disamping itu    sebelum timbul gejala pasien memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara atau wilayah yang melaporkan transmisi lokal dan memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau  probabel covid 19.

Sedangkan PDP adalah orang dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yaitu demam, lebih dari 38 derajat celcius, atau riwayat demam disertai salah satu gelaja atau tanda penyakit pernafasan seperti batuk atau sesak nafas atau sakit tenggorokan atau pilek  atau pneuomonia ringan hingga berat dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal dinegara atau wilayah yang melaporkan transmisi lokal dan memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau  probabel covid 19.

Menurut dr Tri Adi Kurniawan, Sp.P, M.Kes, FISR, untuk pasien dengan kategori ODP akan dilakukan isolasi mandiri/swakarantina rawat jalan yang memiliki  persyaratan dan prosedur yang ketat. Sedangkan pasien dengan kategori  PDP akan dilakukan observasi isolasi rawat inap di rumah sakit.

Terhadap kedua kategori ini akan dilakukan pemeriksaan swab sebanyak  2 kali, yaitu pada hari pertama dan hari kedua. Pemeriksaaan swab dilakukan dengan mengambil spesimen / lendir  tenggorokan  dan hidung untuk mendeteksi virus. Spesimen yang diambil akan diperiksa dengan metode Polymerase  Chain Reaction di Balitbangkes Pusat. Sehingga diperlukan waktu yang cukup lama.

“Jika pemeriksaan swab awal terkonfirmasi hasilnya  negatif maka kategori ODP/PDP otomatis gugur, bukan sembuh karena ia memang bukan penderita covid-19.” ujar dokter spesialis paru ini. Tetapi yang bersangkutan bisa saja masih sakit, tetapi bukan covid-19.

Sedangkan jika hasil pemeriksaan swab positif,   maka disebut sebagai probable/confirmed covid-19  Terhadap pasien dengan sweb positif, maka wajib dilakukan  isolasi ketat yang dilakukan selama 14 hari di rumah sakit  untuk mencegah penularan covid-19.

Dalam isolasi ini dilakukan pengobatan. Untuk mengetahui pasien telah sembuh atau belum maka dilakukan pemeriksaan swab  di laboratorium Litbangkes di Jakarta atau tempat lain yang ditunjuk. Jika hasil pemeriksaaan sweb negatif maka pasien dinyatakan sembuh. Sedangkan jika masih positif maka proses pengobatan dilanjutkan.

Physical distancing

Namun demikian ia mengharap, warga untuk tetap waspada menghadapi pandemi global ini.  Ikuti semua himbauan dan arahan pemerintah. Salah satunya adalah social distancing. Istilah ini mulai diperkenalkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk  menyebut pemberian jarak sosial ini.

Tujuannya agar tidak terjadi kontak langsung. Namun, istilah itu rentan salah persepsi di tengah masyarakat. Ikatan sosial justru diperlukan, tapi tidak dengan fisik yang berdekatan. “Upaya yang dilakukan untuk memperlambat penyebaran virus corona harus mendorong penguatan ikatan sosial dengan tetap menjaga jarak fisik.” Ujarnya.

Karena itu sejak Jumat (20/3/2020) lalu, WHO mengganti kata social distancing menjadi physical distancing. Alasannya, penggantian kata ini untuk mengklarifikasi bahwa terdapat perintah tetap tinggal di rumah guna mencegah penyebaran corona virus.

Kendati begitu, hal ini tidak berarti bahwa seseorang memutus kontak dengan orang lain secara sosial. Penggunaan kata physical distancing diharapkan dapat memperjelas imbauan WHO, yaitu menjaga jarak fisik untuk

Dijelaskan, akhirnya istilah berganti jadi physical distance, tujuannya agar orang tetap terhubung (secara sosial). WHO menganjurkan untuk menjaga jarak fisik yakni minimal 1 meter dengan orang lain.

Aturan jarak ini diberlakukan untuk menghindari tubuh terkena percikan droplet (cairan ludah) dari batuk dan cairan yang keluar dari mulut seseorang mialnya karena bersin bersin. Jarak seseorang dengan yang lainnya juga membuat anggota tubuh terutama tangan tidak saling bersentuhan.

Hadi Priyanto