blank

blank

SUATU konsep keilmuan metafisika, apakah itu doa, wirid, mantra, powernya ditentukan dari keyakinan dan ketekunan yang mempelajarinya.

Menyatunya ucapan lisan (doa) dan keyakinan hatilah yang membentuk power, yang nanti dapat dikemanakan arah dan fokusnya.

Berbagai ilmu atau amalan dapat dipelajari siapa pun. Misalnya, agar dimudahkan dari berbagai urusan, bagi yang muslim dapat memprogram melalui doa-doa yang (artinya) sesuai apa yang dikehendakinya.

Misalnya, untuk mempermudah sagala urusan, dapat mengamalkan doa  dari  surat Thaha 25 – 26. “Rab-bisy rah Iii shadrii wa yassir lii amri”. (Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, lancarkanlah tugas yang dibebankan kepadaku).

Yang berkaitan dengan bela diri, dapat memprogram keselamatan itu dengan merutinkan doa dari surat Al-Anfal : 17. Wa maa romaita idz romaita wa laakin nallaaha roma. (Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar).

Ilmu Lembu Sekilan

Ketika ayat ini dibaca rutin, disertai program batin yang terjaga intensitasnya, insya Allah pengamalnya terlindung dari bahaya melalui berbagai “keajaiban” yang bentuknya tidak jauh-jauh dari arti kalimat (sugesti) doa yang dibacanya, yaitu melempar(kan).

Inilah yang pada zaman dulu dikenal sebagai ilmu Lembu Sekilan, atau sekarang disebut Tenaga Dalam, Ilmu Kurung, Ilmu Kontak, dsb.

Karakter suatu ilmu, tak jauh dari “password” pembangkitnya. Penentu energinya berdasar dari pengembangan arti dan tafsir dari bacaan (mantra, wirid) yang dijadikan sebagai pemicu energi.  Termasuk di dalamnya, azbabunnuzul atau sejarah turunnya ayat yang dijadikan wasilah itu.

Berdasarkan tradisi, para guru mengajarkan ilmu itu inspirasinya dari ayat-ayat suci. Misalnya, ayat tentang Nabi Yunus AS terbebas dari dalam perut ikan setelah mengalami kegelapan selama 40 hari 40 malam, itu dijadikan wasilah ketika orang  yang mengalami “kegelapan” dalam rezeki, karier dan pikirnya.

Mereka lalu mengamalkan doa dzun-nun : Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minadz-dzaalimiin (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk diantara orang-orang yang berbuat aniaya. Dengan harapan agar orang yang dalam kegelapan itu segera mendapatkan jalan yang terang.

Begitu juga doa Nabi Musa AS saat dikejar Firaun dan bala tentaranya seperti yang tersurat pada Al Mukmin 27 : Wa qaala muusaa in nii ‘udztu birab bii wa rab bikum min kulli mutakabbir Laa yu ‘minu biyaumil hisaab (Musa menjawab “Memang aku akan minta perlindungan kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang sombong, tidak percaya kepada hari peradilan”).

Doa ini tepatnya direkomendasikan bagi mereka yang dalam posisi bahaya, atau sedang dizalimi orang-orang yang sombong, agar dia selamat layaknya Musa yang terselamatkan dari kezaliman Fir’aun dan bala tenataranya.

Ijazah & Wejangan

Setiap manusia punya hak berdoa kepada Tuhan. Jika kemudian ada tradisi doa atau ilmu yang prosedurnya melalui “birokrasi” dalam bentuk ijazah, wejangan, atau pengesahan dari guru, itu bertujuan lebih memantapkan hati mereka (awam, pemula) yang akan mengamalkannya.

Dalam prosesi ijazah atau pengesahan, itu Guru biasanya memberi aturan, berkaitan “dosis”  atau  ukuran suatu doa, dibaca berapa kali, pada waktu kapan,  pagi, siang, petang atau malam. Atau bagi kalangan santri, berkaitan dengan waktu (setelah) salat, dan dalam jumlah hitungan tertentu.

Sedangkan keilmuan tradisional,  pendekatannya agak berbeda. Misalnya, puasa pada hari kelahiran, “apit-weton”  sehari sebelum hari kelahiran, saat kelahiran, dan  setelah hari kelahiran. Dan sangat mungkin, kedua konsep -ilmu hikmah dan ilmu tradisi- itu dikombinasi.

 Pembimbing

Bagi pemula, untuk memantapkan hati, memelajari ilmu metafisika perlu didampingi sosok pembimbing yang paham benar dengan ilmu yang diajarkan.

Tanpa itu, berisiko. Layaknya orang sakit yang menemukan bungkusan obat di jalan, tentu dia tidak tahu obat itu untuk jenis penyakit apa, dan aturan dosisnya. Untuk itu kalangan awam perlu dikonsultasikan dengan yang membidanginya.

Belajar metafisika pun perlu aturan yang disesuaikan kondisi batin yang belajar. Menurut keyakinan tradisonal, orang yang belajar tanpa guru itu diibaratkan belajar dengan “setan”.

Tentu, istilah ini  tidak dimaknai setan sebagai bentuk makhluk, melainkan “setan” dalam artian pemicu rasa was-was, keraguan, yang sering menyebabkan gangguan mental pada pelaku ilmu.

Pengalaman yang saya alami, walau jumlahnya sedikit, ada beberapa pembaca buku saya yang mengalami gangguan jiwa setelah belajar dari buku tanpa bimbingan, hingga akhirnya harus dirawat.

Dan kebanyakan dari mereka yang mengalami itu adalah mereka yang niatnya terlalu menggebu-gebu, dan saat dia mengalami keraguan, tidak ada tempat untuk bertanya.

Karena itu, sistem ijazah atau pengesahan ilmu melalui sosok pembimbing yang memahami ilmu yang dijalani itu diperlukan untuk kesuksesan dan keselamatan bagi yang belajar.

Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati