blank

blank

Oleh Amir Machmud NS

DI TENGAH kemerabakan wabah virus Corona, Covid-19 yang berefek pada keputusan penghentian sementara liga-liga di sejumlah negara, termasuk Liga Champions dan Liga Europa, fenomena down trend dan up trend menghinggapi Liverpool dan Manchester United.

Liverpool memang ibarat tinggal menanti hari penahbisan untuk mengangkat trofi Liga Primer musim ini, hanya butuh dua kemenangan lagi untuk mengunci gelar sebelum Football Association (FA) membuat kebijakan menunda kompetisi. Sementara itu, MU yang semula tertatih-tatih justru mengetengahkan kondisi pasang naik.

Masalahnya, pergerakan itu sekadar geliat sesaat, atau benar-benar momen kebangkitan Setan Merah untuk merebut kembali maqam-nya sebagai salah satu kekuatan di Liga Primer?

Kemenangan 5-0 atas LASK Linz dalam leg pertama 16 besar Liga Europa di Stadion Linzer, Austria, dua hari lalu, boleh jadi memperpanjang rasa penasaran itu. MU tak terkalahkan dalam rentetan 11 laga di semua ajang.

Para pandit boleh saja memandang enteng Ole Gunnar Solskjaer bukan sebagai arsitek yang kompeten untuk klub sebesar MU. Para fan juga berhak meragukan kapasitas figur pelatih asal Norwegia itu. Legenda-legenda MU terbelah antara yang masih memercayai dan yang mendorong manajemen untuk segera memecatnya. Sinisme terhadap legenda supersub itu bahkan sampai “kebablasan” menguliti sisi-sisi privat seperti penilaian tentang karisma, gestur, respons, hingga atmosfer ruang ganti.

Lalu, sebelum kemenangan 5-0 dalam pertandingan tanpa penonton di Austria itu, apa yang bisa disimpulkan dari penampilan Setan Merah pada pekan ke-29 Ahad lalu? Tegasnya, bagaimana Anda memaknai kemenangan 2-0 atas juara bertahan Manchester City?

The Citizens dan Pep Guardiola mungkin akan berbalik menyebut MU sebagai “tetangga yang berisik”, dalam arti yang sebenarnya. Terbukti derby itu menghasilkan “Manchester is Red” dari klaim “Manchester is Blue”, sejauh ini.

Rivalitas mulai memanas lagi ketika MU meraih kembali kehormatan lewat performa yang terus membaik. Sementara itu, City gagal mengulang performa hebat periode lalu, sedangkan Liverpool yang memimpin klasemen menyuram di pengujung musim.

Hampir dalam lima musim terakhir, MU boleh dibilang dibikin inferior di hadapan City yang kinclong dengan para bintang dan permainan ofensif ala tiki-taka khas Guardiola. Hanya Liverpool dengan gegenpressing Juergen Klopp yang mampu mengimbangi impresivitas City. Sementara MU malah tertatih-tatih dengan kualitas permainan nyaris tanpa bentuk, yang banyak disorot “di luar kapasitas tradisi sejarah besarnya”.

*   *   *

SETELAH menang besar 4-0 atas Chelsea dalam laga perdananya, Pasukan Old Trafford mengawali musim dengan penuh keraguan. Ole Gunnar Solskjaer gagal menjaga ritme pada sisa musim sebelumnya. Belanja pemain juga tidak meyakinkan. Sejumlah bintang besar yang diincar terkesan “menghindar”, sehingga Solskjaer hanya mendapat pemain yang bukan level utama.

Baru pada jendela transfer kedua Januari lalu dia mendapatkan incaran utama: Bruno Fernandes, setelah Erling Halaand yang serius dikejar memilih bergabung ke Borussia Dortmund. Untuk striker yang melapis Marcus Rashford, pilihan meminjam Odion Ighalo dari Shanghai Shenhua juga banyak dipertanyakan oleh para pemangku kepentingan United. Jangan-jangan ini bentuk panic buying?

Fakta membuktikan, Solskjaer memilih sosok yang tepat. Fernandes menjadi dinamo lini tengah yang bahkan membuat MU tak lagi terlalu berharap pada sosok paling dinanti: Paul Pogba. Dalam semua laga terakhir pemain asal Sporting Lisbon itu selalu menjadi faktor pembeda.

Ighalo juga tidak mengecewakan. Solskjaer memuji gol hebat pemain asal Nigeria itu ke gawang LASK Linz. Kini MU punya tambahan alternatif ketika salah satu Rashford atau Anthony Martial absen. Tentu di samping dia masih punya “senjata rahasia” Mason Greenwood yang merupakan young gun paling segar sebagai aset masa depan di skuatnya.

Dan, poin kehadiran rekrutan baru itulah yang rupanya mengawali kebangkitan MU. Permainan orkestratif dengan musikus-musikus lewat peran masing-masing kini tampak lebih stabil dan cenderung membaik. Statistik Pasukan Theater of Dream yang tidak kalah dalam 11 laga menunjukkan Solskjaer mulai menemukan racikan skematika yang efektif.

Jika mampu menjaga konsistensi, mengejar klasemen Liga Champions kini bukan langkah mustahil. Hary Maguire dkk juga punya punya peluang di Piala FA dan Liga Europa. Pikiran-pikiran untuk melengserkan Solskjaer dan menggantinya dengan eks arsitek Tottenham Hotspur, Mauricio Pochettino agaknya harus dibuang jauh-jauh.

Untuk semua proses rumit yang dilewati MU di bawah Solskjaer ini, saya mencatat kemiripan dengan awal rezim Alex Ferguson. Mulai menukangi Bryan Robson cs pada 1986, Sir Alex baru bisa memetik hasil dengan Piala FA 1990, lalu Piala Winners Eropa 1991.

Andai pada tenggang waktu 1986-1990 itu manajemen MU tidak sabaran dan memilih sikap instan memecat Ferguson, pastilah kita tidak akan menyaksikan Setan Merah yang hebat hampir dalam dua dekade, bahkan mencatat sejarah treble pada 1999.

Sambil menunggu kebijakan lebih lanjut FA dalam menghadapi wabah Corona, babak-babak akhir Piala FA, Liga Europa, dan Liga Primer akan menjawab rasa penasaran kita, performa stabil MU ini sekadar geliat sesaat atau benar-benar sebagai unjuk kebangkitan?

Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng