blank
Machester City.

blank

Oleh Amir Machmud NS

ENERGI cadangan itu bernama ratapan, dan dari kepedihan itulah lahir amukan. Itukah bukti, motivasi berlipat terkadang muncul dari keterpurukan?

Simaklah momen amukan itu. Manchester City dan Pep Guardiola menghadirkan badai bagi Real Madrid dan Zinedine Zidane di rumah sendiri, Stadion Santiago Bernabeu. Leg pertama babak gugur 16 besar Liga Champions 2020 itu dimenangi oleh The Citizens dengan 2-1, di tengah prahara sanksi UEFA.

City dilarang mengikuti kompetisi tingkat Eropa selama dua musim mulai 2020-2021, dan masih terancam sanksi lain karena diduga memanipulasi pendapatan sponsor berdasarkan aturan financial fair play. Walaupun saat ini mereka masih mengajukan banding lewat arbitrase olahraga, namun bayang-bayang hukuman disiplin itu tampaknya tak bisa dihindari oleh David Silva dkk.

Orang boleh saja memprediksi City kehilangan motivasi akibat sanksi UEFA tersebut. Bayangan ancaman hengkang para bintang, potensi kepergian Guardiola, bahkan mungkin sang pemilik Seikh Manshour bin Zayed al-Nahyan yang akan menjual saham klub menghantui masa depan Manchester Biru. Akan tetapi gambaran lain juga dilontarkan oleh para analis: bisa saja City malah tampil menggila, lalu menjadikan Liga Champions tahun ini sebagai ajang katarsistis menebus malu. Dan, bukankah trofi inilah yang diidamkan oleh Sheikh Manshour, ketika piala-piala di lingkup Liga Primer sudah tersimpan di ruang perbendaharaan prestasi?

Ya, Real Madrid telah merasakan amukan anak-anak Etihad. Jika Guardiola mampu menjaga ritme motivasi anak-anak asuhannya, bukankah menarik menyaksikan kiprah mereka di tengah performa trengginas Bayern Muenchen, Barcelona, Atletico Madrid, dan klub-klub yang bertradisi Eropa? Apalagi, cara bermain City di bawah filosofi dan skema taktik Guardiola kini termasuk yang menjadi salah satu show terbaik sepak bola dunia.

*   *   *

GUARDIOLA memberi dua trofi Eropa ketika menjadi arsitek Barcelona, namun gagal mempersembahkan prestasi serupa untuk Bayern, dan sejauh ini belum membukukannya untuk Manchester City. Menarik membandingkan perjalanan Pep Guardiola dengan Jose Mourinho yang dalam rentang mobilitas petualangannya di berbagai klub, telah mengantar FC Porto dan Internazionale Milan memuncaki Eropa dengan sama-sama meraih treble.

Untuk level liga, Pep Guardiola masih berada satu trap di bawah Mourinho yang meraih sukses di empat liga besar. Pep sukses di La Liga, Bundesliga, dan Liga Primer, sedangkan Mou di Liga Portugal, Liga Primer, Liga Serie A, dan La Liga. Mou menambah koleksi trofi Liga Europa untuk Chelsea dan Manchester United.

Tentu bukan sekadar dari perspektif rivalitas dengan Mou maka Pep “mengejar setoran” Liga Champions untuk City, namun realitasnya pria Spanyol berideologi sepak bola indah itu mampu membangun City sebagai kekuatan besar di Liga Primer, dan mengantar mereka ke level elite Eropa menjadi impian berikutnya.

Tentu, lantaran hukuman financial fair play yang harus dijalani, selama dua musim ke depan Pep dan City bakal kehilangan jalan di Liga Champions. Maka mengelola mental untuk bertarung habis-habisan di ajang yang sama pada sisa musim ini merupakan pilihan logis. Bahwa City tidak kehilangan semangat untuk unjuk diri, merupakan fakta betapa Pep mampu menjaga motivasi Kevin de Bruyne cs untuk sebuah pembuktian yang lain. Inilah produk motivasi kolektif dari kolaborasi antara kekuatan karisma pelatih dan kemauan profetik para pemain.

Dari sepotong penampilan di Santiago Bernabeu itu, Pep ibarat motivator yang menggugah energi ratapan menjadi amukan, mengubah realitas keterpurukan menjadi pelecut pembuktian.

Dan, itukah energi cadangan yang bakal menghadirkan sejarah tersendiri bagi Manchester City di panggung Eropa, justru ketika kini mereka tercecer dari keperkasaan Liverpool di ajang Liga Primer?

Amir Machmud NS¸ wartawan senior, kolumnis bola, Ketua PWI Jateng