blank

blank

Oleh Amir Machmud NS

PARADOKS karakter menjadi “kejutan” Lionel Messi dalam dua tahun belakangan, pada usia ketika seorang pesepak bola mulai memasuki masa-masa purna. Tercatat beberapa kali kapten Barcelona itu mengekspresikan gestur “beringas”, impulsif, dan “baper”, yang barang tentu berkebalikan dengan citra kuatnya sebagai good boy di dalam maupun di luar lapangan.

Sikapnya yang (tiba-tiba) keras di Copa America 2019, juga dalam laga-laga di La Liga banyak menimbulkan tanda tanya. Beban pembuktian bersama tim nasional Argentina-kah yang menjadi pemicu? Atau beban sebagai harapan utama di Barcelona yang membuatnya diliputi aura kegelisahan luar biasa? Atau dia ingin keluar dari rutinitas La Liga dan mencari tantangan baru, seperti Cristiano Ronaldo yang memilih hengkang dari Real Madrid ke Juventus?

Messi melengkapi paradoks karakter itu lewat pertikaiannya dengan Eric Abidal, Direktur Olahraga Barcelona. Sebagai kapten, La Pulga membela rekan-rekannya yang dituding oleh Abidal tidak serius bermain. Messi tidak terima, meminta Abidal menyebut nama ketimbang menebar tudingan yang hanya menimbulkan suasana saling menyalahkan. Padahal, sejauh ini dia sangat jarang terlibat konflik dengan manajemen.

Walaupun akhirnya bisa didamaikan, namun suasana tidak nyaman sudah telanjur menyebar. Messi pun pasti menyimpan perasaan sebagai “orang yang berbeda” ketimbang posisinya sebagai ikon tim. Tak berlebihan jika masa depannya di Barca mulai dispekulasikan.

*   *   *

TAK bisa dipungkiri, Messi tetap merupakan faktor pembeda tim, setidak-tidaknya terlihat dari peran dan aksi-aksi fenomenalnya pada musim lalu, yang diganjar dengan trofi Ballon d’Or keenam. Bedanya, kini dia seperti berjuang sendirian setelah duo sentral lini tengah Barca, Xavi Hernandez dan Andres Iniesta pensiun dan memilih berpetualang ke Liga Qatar dan Liga Jepang.

Blaugrana sering disebut “menciptakan sistem yang memanjakan dan mengoptimalkan potensi Messi”, antara lain lewat cara bermain Xavi, Iniesta, dan Sergio Busquets. Pada era setelah dua metronom itu pergi, Messi memang masih memperlihatkan kualitas kerja sama telepatis dengan Ivan Rakitic dan Luis Suarez, tetapi bahwa kemudian dia merasa harus menyangga sendirian beban tim, tentu menjadi realitas yang lain.

Apabila pindah klub, bisakah dia menemukan chemistry serupa itu? Lalu klub mana yang kira-kira paling cocok untuk La Pulga? Maka sering menjadi bahan analisis, bakal sesukses di Barcelona-kah andai dia mencari tantangan di klub baru?

Bedanya dari Ronaldo yang mengenyam perjalanan karier dari Sporting Lisbon, Manchester United, dan Real Madrid, Lionel Messi adalah pemain yang hanya mengenal satu klub (one man club). Loyalitasnya tercurah untuk Barcelona. Apalagi, klub inilah yang telah membiayai pengobatan untuk menolongnya dari masalah hormon pertumbuhan ketika dia berusia 14 tahun.

Ketika Ronaldo pindah ke Juventus, itu tidak dipandang sebagai “pengkhianatan” meskipun berstatus sebagai maharaja di Real Madrid. Tetapi Messi? Kalau dia pindah ke salah satu klub Eropa, fans Barca pasti akan mencap sebagai pengkhianat. Berbeda bila dia memilih hijrah ke Liga Amerika, Asia, atau balik ke Argentina yang di luar orbit persaingan liga-liga Eropa. Padahal, klub yang diperkirakan mampu memboyong Messi saat ini hanya Manchester City, Liverpool, Paris St Germain, Internazionale Milan, Juventus, atau Real Madrid.

City adalah yang paling logis, karena punya cukup modal finansial. Daya tarik keberadaan Pep Guardiola, Sergio Aguero, dan Nicolas Otamendi yang telah dia kenal juga bakal membuat mudah Messi untuk beradaptasi.

Liverpool? Pesona prestasi dua tahun belakangan bisa menjadi magnet bagi Messi. Masalahnya, apakah Juergen Klopp tertarik dan mampu membujuk manajemen The Reds untuk mengucurkan investasi besar? Betapa menarik membayangkan Messi memimpin orkestrasi The Reds di tengah para penggawa hebat.

PSG, dari sisi finansial termasuk paling oke. Dan, klub ini punya Neymar Junior yang dekat dengan Messi, juga Kylian Mbappe yang disebut-sebut sebagai salah satu calon penerusnya. Tetapi di sini pula ada Edinson Cavani, pemain Uruguay yang punya catatan perseteruan dengan Messi. Pun, Ligue 1 boleh jadi bukan tujuan kompetitif yang pas bagi sang mahabintang.

Prospek hijrah ke Inter Milan masuk kategori yang “bisa saja terjadi”, karena restorasi tim oleh pelatih Antonio Conte sekarang tampak mulai menuju ke proyek koleksi bintang. Apakah Nerazzuri akan memanfaatkan barter untuk mendapatkan Messi dengan menyerahkan Lautaro Martinez yang memang diincar Barca dengan tambahan dana besar?

Gagasan “liar” lain adalah menduetkan Messi dengan Ronaldo dalam seragam zebra. Juventus memang termasuk yang disebut “bukan tidak mungkin merancang proyek gila” itu, walaupun pasti butuh dana jor-joran. Jika ini terjadi, sejarah akan mencatat dua megabintang yang bersaing akhirnya disatukan oleh “skema gila” dari sebuah “gagasan gila”.

Real Madrid merupakan ide paling liar untuk spekulasi kepindahan Messi. Segala sesuatu memang bisa terjadi, antara hijrah dari Camp Nou ke Santiago Bernabeu atau sebaliknya. Bukankah ada kisah transfer berkonsekuensi mengerikan ala Luis Enrique, Samuel Eto’o, Ronaldo Luiz Nazario, juga Luis Figo? Akan tetapi, untuk kemungkinan ini, rasanya tidak mungkin bagi Messi. Jika dia memilih opsi nekat ini, pasti bakal menyematkan status sebagai “penyeberang” yang “membakar” tensi el clasico.

*   *   *

PARA penggemar Cristiano Ronaldo akan selalu membandingkan, Messi belum membuktikan diri mampu mengangkat klub di luar Barcelona. Kontrak eksklusif lifetime, yang berisi klausul boleh meninggalkan Camp Nou kapan pun Messi mau, akankah dimanfaatkan oleh La Pulga? Andai dia pergi, walaupun bermodal gelimang pencapaian trofi dan gelar individu, apakah masih ditopang oleh kesegaran fisik untuk sebuah tantangan baru?

Ronaldo adalah pembeda dalam urusan merawat kebugaran, sedangkan Messi tumbuh dan berkembang dengan bakat dan tempat yang menjadi habitat tepat. Dari beda prinsip ini sebenarnya dunia menunggu “nuansa lain”, yakni Messi yang berkiprah dengan mengenakan jersey non-Barca.

Impulsi, ekspresi, dan sikap yang akhir-akhir ini cenderung galak, “baper”, dan “sensi” sebagai “bukan karakter Messi”, bisa dipahami merupakan ungkapan kegelisahan tentang masa depannya.

Di luar semua rekor yang telah dia ukir, tuntutan-tuntutan untuk timnas Argentina yang belum terpenuhi, serta pembandingan terus menerus dengan Ronaldo boleh jadi membuatnya “kemrungsung” dan pepat hati…

Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng