blank
Kelenteng Dewa Bumi Welahan, saksi bisu sejarah
blank
Didepan altar sembahyang Kelenteng Dewa Bumi

Oleh Hadi Priyanto

Ada satu episode sejarah perjalanan bangsa  Indonesia  yang nampaknya semakin dilupakan. Juga tidak banyak  dicatat dalam buku-buku sejarah,  yaitu      Geger  Pacinan atau  juga sering disebut Perang  Pacinan tahun 1740-1743. Padahal dampak peperangan ini sangat panjang hingga terbentuknya Kasultanan Yogyakarta di bawah Mangkubumi tahun 1755  dan  Mangkunegaran  tahun 1757 dibawah kekuasaan Raden Mas Said.

Awal Peperangan

Peristiwa Perang Pacinan itu dipicu sikap  kesewenang-wenangan Belanda  di Batavia terhadap warga   Tionghoa Sebab Belanda menganggap bahwa warga Tionghoa bisa menjadi ancaman sebab perkembangannya di Batavia sangat pesat. Tindakan Belanda itu kemudian  memunculkan gerakan perlawanan.

Apalagi menurut Sejarawan Belanda  Nagtegaal,  pada tahun  1693 Belanda juga  sudah mulai melakukan pembantian warga  Tionghoa. Salah satunya  di Jepara. Bahkan  banyak orang Tionghoa yang ketika ditangkap memilih  bunuh  diri dari pada disiksa oleh  pasukan   Belanda.

Tindakan Belanda itu kemudian memunculkan gerakan perlawanan.  Pada bulan  September 1740,  kurang lebih 1.000 orang Tionghoa  berkumpul dihalaman  pabrik gula Gandaria di Batavia. Mereka dipimpin oleh seorang yang oleh Belanda disebut Khe ( Que ) Panjang. Namun ada yang menyebut  Souw (Oey) Phan Ciang atau Tay Wan Soey.

Sedangkan orang  Jawa menyebutnya Sepanjang.  Konon ia adalah saudara lain ibu dari Kaisar Tiongkok yang bernama  Qian Long. Saat ia berada di Jawa Souw (Oey) Phan Ciang bergabung dengan kelompok orang Tionghoa yang datang lebih awal. Salah satu ciri kelompok ini  nampak pada potongan rambut tauchang atau kucir.

Saat berada  di Batavia, Tay Wan Soey atau Khe ( Que ) Panjang melihat dan  merasakan sendiri  tindakan sewenang-wenang Belanda terhadap warga Tionghoa. Tindakan itu menimbulkan perlawanan hingga tanggal 7 Oktober 1740 mereka menyerang pos VOC di Meester Cornelis dan De Qual.

Atas insiden tersebut sehari kemudian Belanda melarang semua warga Tionghoa membawa senjata dan harus menyerahkan kepada kompeni. Jika tidak akan ditangkap atau ditembak. Juga diberlakukan jam malam dan larangan  bagi perempuan dan anak keluar kota. Pada malam harinya, pasukan Belanda  mulai menggeledah rumah warga Tionghoa, menjarah dan bahkan membakar rumah mereka.

Mendapatkan tekanan itu, banyak warga Tionghoa yang kemudian  meningggalkan gerbang Batavia. Sebab esuk harinya, 10 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Andriaan Valckenier memerintahkan pembunuhan  ribuan orang Tionghoa. Mayat mereka dibuang di Kali Besar.

blank
Kelenteng Dewa Langit DI Welahan

Meninggalkan Batavia

Warga  Tionghoa yang selamat kemudian bergerak ke wilayah timur. Mereka  ada yang memilih menuju  Lasem dan  pada  akhir  tahun 1740 mereka tiba disana. Warga Tionghoa pelarian ini  diterima oleh putra mantan Bupati Lasem, Raden Panji Margono. Juga ditolong oleh Bupati Lasem Tumenggung  Widyoningrat yang juga dipanggil Oey Ing Kiat.

Dari  Lasem warga Tionghoa  kemudian bergerak ke Majawana,   Pati.  Mereka  menyerang  serta  membakar rumah  serdadu Belanda Kopral   Class Lutten. Bahkan kopral ini kemudian dibunuh. Pasukan Tionghoa  kemudian bergerak ke Kudus. Namun mereka disini dihadang oleh prajurit Bupati  Kudus dan dikalahkan.  Bahkan pemimpin kelompok Tionghoa dibunuh.

Mereka yang selamat kemudian menuju ke Tanjung dan kemudian menuju Welahan. Juga  pasukan Tionghoa  dari wilayah lain, hingga  pada bulan  April 1741 terbentuk pasukan yang cukup  besar di Welahan. Mereka dipimpin oleh  Tan Sin Ko atau  yang  juga dipangggil Singseh. Bahkan kekuatan pasukan Tionghoa di Welahan  semakin bertambah besar dengan bergabungnya pasukan dari Batavia.

Dari Welahan ini kemudian mereka menyerbu markas Balanda di Rembang pada 27 Juli 1741. Bahkan pimpinan  Belanda berhasil dibunuh. Empat  hari kemudian mereka mengepung markas Belanda di Jepara dan  berhasil menguasai  Jepara pada 31 Juli 1741. Dari Jepara pasukan Tionghoa kemudian menuju Kartasura. Mereka bergabung dengan prajurit Mataram dan pasukan Tionghoa dari Batavia yang dipimpin oleh Sepanjang.

Koalisi Jawa – Tionghoa

Mereka mendapatkan dukungan dari Sunan  Pakubuwono II dari Kasunanan Kartasura. Bahkan persenjataan. Bukan hanya itu  Sunan  Pakubuwono II juga memerintahkan Panggeran Mangkubumi  untuk mendukung pasukan Tionghoa sehingga terbentuk pasukan Jawa – Tionghoa.

Memang kehadiran  pasukan Tionghoa di  wilayah ini awalnya disambut hangat oleh  Sunan Pakubowono II hinggga    muncul sebuah  gerakan besar perlawanan  bersama Tionghoa – Jawa terhadap  Belanda. Bahkan pada tanggal 13 Mei 1741 Sunan Pakubuwono II memerintahkan semua pejabat keraton dan   para bupati untuk bahu membahu mengusir Belanda.

Kemudian pada tanggal  20 Juli  1741 pasukan Jawa – Tionghoa ini   menyerang Benteng  Belanda yang  ada di Kartasura. Pasukan gabungan ini  kemudian berhasil menguasai benteng VOC di Kartasura.

Melihat perkembangan ini, maka Belanda mencoba mempengaruhi Bupati Madura Cakraningrat IV. Bahkan Belanda  membuat surat pernyataan akan membantu Madura lepas dari kekuasaan Kasunanan Kartasura.. Perjanjian itu berhasil menarik Bupati Madura untuk terlibat dalam  peperangan Tionghoa – Jawa melawan Belanda.

Peperangan terus berlanjut. Di  Semarang  pasukan Tionghoa yang dipimpin  oleh Singseh berhasil dipukul mundur oleh  pasukan Belanda dibawah pimpinan Kapten Natanael Steinmetz. Untuk itu Sunan Pakubuwono II memerintahkan Patih Notokusumo untuk mengirimkan  pasukan. Juga memerintahkan Bupati Banyumas Tumenggung Yudanegara untuk menyerang kepentingan VOC di Priangan Timur.

Kapten Sepanjang  dan Martapura segera tiba di Semarang. Sunan Pakubuwono II juga segera  memerintahkan para  Bupati untuk menyerang markas VOCyang ada diwilayahnya. Sementara Belanda  mengirim pasukan dari Ambon, Bugis dan Makasar untuk memperkuat kedudukannya di Semarang.

Sedang di Jawa Timur, pasukan Cakraningrat IV dari Madura berhasil dipukul pasukan Jawa  – Tionghoa. Namun tidak lama kemudian datang pasukan VOC dibawah pimpinan Kapten Gerrit Mom membantu prajurit Madura hingga berhasil kembali menguasai Lamongan.

Kemudian dengan dukungan 2.400 prajurit Kapten Gerrit Mom menuju Semarang untuk membantu pasukan Belanda yang terkepung pasukan Jawa – Tionghoa dari semua penjuru. Pasukan koalisi ini tersebar di 3 titik dan dipimpin  oleh  Bupati Grobogan Martapura berada di Terboyo dengan 5.000 prajurit, Kapitan Sepanjang di Bergota dan Rijaniti berada di Peterongan. Sedangkan pasukan Kartasura dipimpin Patih Notokusumo.

Peperangan besar segera terjadi di Semarang. Kaligawe yang dijadikan basis pertahanan Bupati Grobogan digempur Belanda untuk merebut Sungai Terboyo. Sementara  1.800 pasukan  Belanda menyerbu  Kampung Melayu yang dikuasai Tionghoa. Di Pati, Bupati Mangunoneng masih dengan gigih melawan Belanda.

Namun peperangan yang terjadi  di banyak tempat ini  membuat pasukan Jawa-Tionghoa mulai  terdesak hinggga membuat Raden Mas Said meninggalkan keraton dan bergabung dengan pasukan Jawa – Tionghoa. Pasukan gabungan yang terdesak dari Semarang ini kemudian  mundur ke daerah Pati, Lasem, Rembang, Jepara, Grobogan dan Kudus.

Berbalik Arah

Dalam kondisi yang semakin terdesak ini, Belanda berhasil mempengharuhi Sunan Pakubuwono II. Dengan melihat peta konflik didalam keraton Mataram,    Belanda  akhirnya  berhasil mempengaruhi Sunan Pakubuwono   II berbalik arah bergabung dengan Belanda pada awal  Desember 1741.

Namun Patih Notokusumo yang juga cucu Sunan Pakubuwono I dan sejumlah bangsawan Mataram dan Bupati tetap bergabung dalam koalisi Jawa – Tionghoa. Diantaranya adalah Raden Mas Garendi dari Kasunanan Kertasura atau yang juga dikenal dengan Sunan Kuning, Raden Mas Said, Bupati Martapura dan  Bupati Mangunoneng,

Sikap Sunan Pakubuwono II ini  menimbulkan kemarahan besar koalisi Tionghoa – Jawa.  Mereka kemudian melakukan konsolidasi untuk menyerang Kartasura. Di Grobogan Raden Mas Garendi dan Kapitan Sepanjang  bersama 6 Brigade Jawa – Tionghoa tengah mempersiapkan penyerangan itu.

Namun sebelum berangkat mereka diserang 2.500 prajurit dipimpin oleh Pringgalaya dan Mangunnegara.  Namun pasukan Mataram ini dengan mudah berhasil dipukul mundur sebab tiba – tiba mereka diserang dari samping  oleh pasukan dari Bugis yang mendukung koalisi Jawa – Tionghoa..

Walaupun perjalanan pasukan  koalisi ini mengalami banyak serangan di jalan, namun akhirnya mereka berhasil menguasai Keraton Pakubuwono  II di  Kartasura. Dengan bantuan Kapten Van Hohendorf, Pakubuwono  II berhasil melarikan diri ke Madiun untuk menyusun kembali kekuatannya.

Welahan Pusat Perlawanan

Kemudian pada tanggal 1 Juli 1742 Raden Mas  Garendi atau Sunan Kuning diangkat sebagai raja dengan gelar Sri Susuhunan Amangkurat V. Namun Sunan Pakubowono II yang tersingkir ingin kembali merebut tahtanya dengan bekerjasama dengan Belanda. Peperangan kemudian terjadi di banyak tempat.

Perkembangan ini membuat  Amangkurat V khawatir. Sebab persekutuan Belanda – Sunan Pakubuwono  II semakin kuat. Karena itu harus diserang terlebih dahulu. Ia kemudian menugaskan Raden Mas Said atau Pangeran Suryokusumo bersama 1.200 pasukan Kartasura  untuk menuju Welahan.

Pasukan ini diperkuat dengan pasukan pimpinan Singseh yang bergabung di Demak.  Mereka ingin melakukan konsolidasi ditempat ini. Sebab  di Welahan merupakan basis pergerakan dan terdapat 600 lebih pasukan Tionghoa.

Namun belum sempat melakukan konsolidasi dengan pasukan Raden Mas Said, pada tanggal 24Agustus 1742 , pasukan yang berada di Welahan  digempur pasukan Belanda dibawah pimpinan

Kapten Gerrit Mom dibantu oleh pasukan dari Kraeng Ternate. Mereka menyerang Welahan dengan menggunakan perahu penyeberangan. Serangan tiba – tiba ini membuat mereka kalang kabut hingga pasukan Tionghoa mundur hingga Tanjung yang terletak di sebelah timur Welahan.

Kapten Gerrit Mom  yang melihat Welahan dalam kondisi kosong, kemudian memerintahkan membakar seluruh rumah. Sementara pasukan Belanda dalam jumlah besar tetap  siaga di seberang sungai.

Mendapatkan kabar ini, Raden Mas Said dan Singseh kemudiaan bergabung dengan pasukan Welahan di Tanjung hingga jumlahnya mencapai 4.000 orang dengan menggunakan panji-panji Raden Mas Garendi atau Amangkurat V.

Peperangan di Welahan ini merupakan peperangan terbesar yang menempatkan Raden Mas Said atau Pangheran Suryokusumo sebagai panglima perang.  Karena sepak terjangnya dalam peperangan, maka Raden Mas Said  kemudian disebut juga sebagai Pangeran Sambernyawa.

Belanda tidak menyangka bahwa ada pasukan sebesar itu. Hingga Kapten Gerrit Mom hanya memerintahkan pasukan Kraeng Ternate untuk menyerang Welahan yang kembali diduduki kembali oleh pasukan Tionghoa.

Kendati pasukan Kraeng Ternete bisa dipukul mundur, pasukan Raden Mas Said kemudian dihujani dengan tembakan meriam dari berbagai arah. Sementara pasukan Raden Mas Said memilih perang secara terbuka.

Terdesak di Welahan, pasukan Raden Mas Said kemudian mengundurkan diri ke arah Kudus. Mereka akan bergabung dengan pasukan dari Grobogan yang dipimpin oleh Sutokromo, adik Bupati Martapura. Belanda yang merasa unggul dalam perang di Welahan  tidak mau melepaskan kesempatan.

Dengan didukung pasukan Ambon yang baru mendarat di Jepara dan pasukan Belanda yang ada di Demak kemudian menyerang Kudus hingga pada tanggal 28 Agustus telah dapat dikuasai. Namun Kapten Gerrit Mom tetap berada di Tanjung dan membuat markas disana.

Desa Welahan kini hanyalah sebuah desa yang masuk Wilayah Kecamatan Welahan Kabupaten Jepara. Namun kota ini memiliki peradaban yang sangat lama.

Kota yang perbatasan dengan wilayah Kabupaten Demak ini memiliki dua buah kelenteng yaitu Kelenteng Dewa Bumi  atau Hok Tek Bio dan Kelenteng Dewa Langit yang dikenal sebagai Kelenteng Hian Thien Shang Tee. Konon kedua kelenteng ini termasuk kelenteng tertua di Jawa..

Keberadaan dua klenteng ini, diduga terkait dengan dijadikannya Welahan sebagai basis perlawanan pasukan Jawa-Tionghoa melawan Belanda.

Karena itu sayang jika kisah patriotik ini kemudian dilupakan dan dibiarkan menjadi sebuah episode sejarah yang kemudian dilupakan dalam perjalanan bangsa ini.

Penulis Wartawan SuaraBaru.id

.