blank
Para penulis buku pengalaman gerakan pendidikan Sokola. Paling kiri Butet Manurung selaku pemandu berlangsungnya bedah buku. Foto: hm

SEMARANG  (SUARABARU.ID) – Pengalaman selama dua dekade mendampingi masyarakat adat Orang Rimba dan komunitas marjinal lain di Indonesia mendorong Sokola Institute  menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Melawan Setan Bermata Runcing. Setan bermata runcing merupakan  istilah yang digunakan  oleh Orang Rimba  menyebut pensil atau pena. Mereka melihat orang-orang dari luar memanfaatkan kemampuan baca-tulis untuk mencaplok hutan mereka. Orang Rimba adalah masyarakat adat yang tinggal dan bergantung hidup di hutan Bukit Duabelas, Jambi, Sumatera

Kegelisahan atas masuknya “setan bermata runcing” ini ditangkap oleh Butet Manurung penulis buku yang juga Direktur Sokola Institute saat pertama kali memperkenalkan baca-tulis pada tahun 1999.

“Sering kali saya ditanya  para murid, setelah kami bisa baca tulis, apakah kami bisa mengusir pembalak yang mengambil pohon-pohon di hutan kami?” tutur Butet di Wisma Perdamaian, Senin siang ( 3/2} saat berlangsung bedah buku hasil karyanya.

Di depan sekitar 200 orang pecinta buku, mahasiswa, aktivis yang tergabung dalam beberapa organisasi, Butet  mengatakan bahwa  suara gergaji mesin kerap menjadi pengiring  belajar.  Baca-tulis-hitung saja tidak cukup bagi Orang Rimba untuk menjaga hutan adat dan kelangsungan hidupnya. Karena itu, ia dan empat rekannya  mendirikan Sokola Institute pada tahun 2003, lembaga yang fokus pada pendidikan dan masyarakat adat.

Kumpulan Pengalaman

“Buku ini merupakan kumpulan pengalaman Sokola dalam mengembangkan program pendidikan sebagai upaya untuk membantu masyarakat adat menghadapi persoalan sembari tetap mempertahankan adat,”  tambah Butet.

Tinggal bersama masyarakat adat dan beradaptasi dengan budaya setempat, serta murid-murid yang kritis, justru menjadi “sekolah” bagi para relawan Sokola hingga akhirnya membentuk metode dan pendekatan pendidikan yang ramah budaya dan dapat merespon persoalan kontekstual.

Alasan itu pula yang mendorong Yayasan Anantaka untuk menyelenggarakan acara Bedah Buku Melawan Setan Bermata Runcing  siang itu , kata Direktur Pendidikan Yayasan Anantaka Tsaniatus Solihah atau yang akrab dipanggil Ika.

Ia tahu  bahwa di Semarang banyak komunitas  yang melakukan kegiatan pendampingan untuk anak-anak rentan atau bahkan yang membutuhkan perlindungan khusus. “Buku yang diterbitkan Sokola, dan juga acara ini harapannya bisa menambah referensi bagi teman-teman di komunitas untuk mengembangkan programnya,” tandas Ika.

Selain Butet dan tim penulis lainnya terdiri sari  Aditya Dipta Anindita, Dodi Rokhdian, Fadilla M Apristawijaya, Fawaz Al Batawy.,  hadir pula dosen PLS FIP Unnes Dr. Mintarsih Arbarini, M.Pd sebagai pembahas buku. Semarang merupakan kota kedua dalam kegiatan tur Buku Sokola ini.

Sebelumnya, kegiatan serupa  diadakan di Bandung pada tanggal 1 Februari lalu dan selanjutnya akan menggelar acara di empat kota lain yaitu Yogyakarta, Jember, Gianyar (Bali), dan Mataram (Lombok).

Selain Butet, penulis  Aditya Dipta Anindita dan Dodi Rokhdian juga merupakan pendiri Sokola Instute, Fadilla M. Apristawijaya dan Fawaz yang  bergabung di Sokola sejak tahun 2005 dan 2008. Mereka menuliskan pengalaman lapangannya dengan struktur kombinasi antara gaya bercerita (story telling) berurutan sesuai dengan metodologi penyelenggaraan program pendidikan Sokola, mulai dari melakukan kajian awal hingga pembentukan kader dan pengorganisasian.

Landasan Filosofis

Buku ini juga berisi mengenai landasan filosofis serta prinsip-prinsip kerja kerelawanan Sokola. “Dengan demikian, kami berharap pengalaman-pengalaman di dalamnya dapat menjadi panduan untuk guru, relawan mengajar, atau siapa saja yang berkerja di komunitas,” lanjut Butet lagi.

Ilustrasi buku tebal 288 halaman ini  ditangani oleh Oceu Apristawijaya, yang juga salah satu pendiri Sokola. Pemahamannya mengenai konteks setiap tulisan membuat ilustrasinya tidak hanya menjadi dekorasi saja, namun memperkuat tulisan di dalamnya.

Sokola kemudian mengembangkan metode dan pendekatan yang tujuannya untuk membantu masyarakat adat dan komunitas marginal lainnya menghadapi persoalan aktual. Hingga tahun 2020,  telah mengembangkan 15 program pendidikan di 11 provinsi di Indonesia.

Humaini As-trs