Oleh : Hadi Priyanto
JEPARA (SUARABARU.ID) – Ada kisah menarik yang diwariskan turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Jauh sebelum Perang Pacinan meletus pada akhir tahun 1740. Sebab ketika peperangan ini terjadi, Welahan dan Tanjung Jepara telah menjadi salah satu pusat perlawanan pasukan pasukan Tionghoa-Jawa terhadap pasukan Belanda.
Bahkan dalam catatan Belanda, perangan di Welahan adalah pengalaman pertama kali bagi Raden Mas Said atau Pangeran Suryokusumo memimpin pasukan dalam jumlah besar. Sebab pasukan gabungan Jawa-Tionghoa yang berada di Welahan jumlahnya mencapai 4.000 orang.
Karena keberanianya dalam peperangan ini, kelak Raden Mas Said mendapatkan sebutan juga sebagai Pangeran Sambernyawa. Ia memimpin pasukan gabungan ini bersama Tan Sin Ko atau yang juga biasa dipangggil dengan sebutan Singseh.
Pemilihan Welahan sebagai pusat perlawanan tentu bukan karena mereka terdesak dalam pertempuran di Semarang. Tetapi dengan pertimbangan khusus. Salah satunya disamping banyaknya warga Tionghoa, di Welahan juga telah berdiri Kelenteng Maha Dewa Langit Utara atau Kelenteng Hian Thien Shang Tee. Juga Kelenteng Kelenteng Hok Tik Bio atau Kelenteng Dewa Bumi. Konon kelenteng ini dibangun sekitar tahun 1600
Kelenteng ini menjadi salah satu pusat perlawanan pasukan Tionghoa-Jawa terhadap pasukan Belanda. Beliau diyakini oleh penganutnya sebagai pemimpin tertinggi para Dewa di Bagian Utara. Letak Welahan juga sangat stretegis sebabab berada dijalur Jepara – Demak – Semarang.
Misteri Pusaka Tiongkok
Konon beberapa abad yang lalu, ada sebuah perahu perahu besar berlayar dari Tiongkok menuju Pulau Jawa. Perahu ini bukan saja membawa banyak barang dagangan, tetapi juga penumpang. Diantaranya seorang pendeta Hok-Kian yang bernama Hwee Shio. Ada juga Tan Siang Hoe yang hendak menyusul kakak nya di Jawa. Keduanya kemudian berteman.
Karena kelelahan pendeta Hwee Shio jatuh sakit. Sebagai seorang sahabat, Tan Siang Hoe memberi obat dan merawatnya dengan tulus hingga pendeta Hwee Shio sembuh. Tentu saja Sang Pendeta sangat bersyukur atas pertolongan yang diberikan oleh Tan Siang Hoe dan sekaligus merasa berhutang budi.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih, pendeta Hwee Shio memberikan tanda mata berupa bungkusan besar. Namun Tan Siang Hoe tidak tau isi bungkusan tersebut. Saat menyerahkan barang tersebut pendeta Hwee Shio hanya berpesan agar barang tersebut dijaga dan di rawat dengan baik. Pendeta Hwee Shio kemudian turun di Singapura dan Tan Siang Boe melanjutkan perjalanan ke Jawa dan mendarat di Semarang.
Tiba di Semarang, Tan Siang Boe menginap beberapa saat dirumah perkumpulan Kong Kwan. Bahkan ia kemudian memperoleh kabar bahwa saudara yang bernama Tan Siang Lie tinggal di Welahan Jepara. Ia kemudian naik perahu menuju Welahan untuk bertemu dengan kakaknya. Ia juga membawa barang-barang yang diberikan oleh pendeta Hwee Shio.
Akhirnya dia bertemu saudara tuanya yang menetap sementara dan berkumpul dalam satu rumah dengan keluarga Lien Tjoe Tian. Rumah keluarga ini terletak di gang Pinggir, Welahan. Setelah beberapa lama, Tan Siang Boe bermaksud bekerja keluar daerah.
Karena takut hilang, ia menitipkan barang pemberian pendeta Hwee Shio kepada kakaknya. Mengingat keselamatan barang tersebut, Tan Siang Lie menitipkan barang milik adiknya kepada pemilik rumah yang bernama Lien Tjoe Tian. Barang tersebut kemudian disimpan diatas loteng rumah.
Namun betapa terkejutnya keluarga ini. Sebab setiap tanggal 3 bertepatan dengan hari lahir Sha Gwe yaitu hari Imlek Seng Tam Djiet benda-benda pemberian pendeta Hwee Shio mengeluarkan daya gaib berupa cahaya seperti barang terbakar. Selain itu dari dalam bungkusan barang tersebut keluar naga dan kura-kura yang sangat menakjubkan bagi seisi rumah.
Karena itu di panggillah Tan Siang Boe untuk kembali ke Welahan guna membuka barang yang tersimpan di dalam kantong tersebut. Setelah itu dibuka kantong tersebut berisi sehelai kertas halus bergambar Hian Thian Siang Tee, sebilah pedang pusaka Tiongkok yang disebut Poo-Kiam, kitab pengobatan kuno, tempat abu, ular hijau dan kura-kura yang ada tanda Pat Kwa.
Menurut cerita tutur, barang tersebut adalah barang-barang pusaka dari Maha Dewa Hian Tian Siang Tee. Karena itu wajib dipuja menurut adat leluhur Tionghoa. Karena itulah mulai dibangun Klenteng Hian Thien Shang Tee atau Klenteng Maha Dewa Langit Utara di Welahan.
Klentheng ini dipakai sebagai tempat pemujaan dan sekaligus tempat menyimpan barang-barang peninggalan Hian Tian Siang Tee. Dalam kepercayaan Tao, Hian Thiam Siang Tee tetapi ada juga yang menulisnya Xuan Tian Shang merupakan maha dewa langit dan paling banyak disebut di Tiongkok. Ia dipuja sebagai dewa yang sangat perkasa.
Pembangunan kelenteng ini konon bermula dari seseorang bernama Liam Tjoe Tien yang menderita sakit cukup lama. Namun tiba-tiba penyakitnya dapat disembuhkan kembali dengan kekuatan gaib yang ada di pusaka. Kejadian itu cepat menyebar hingga pusaka itu sangat dihormati orang dan banyak orang disembuhkan karena pusaka itu. Mereka kemudian membangun Kelenteng Welahan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan.
Namun ada kisah lain. Konon kelenteng ini dibangun oleh seorang Tionghoa yang kapalnya terdampar di Karimunjawa. Namun ia tetap melanjutkan perjalannya menuju Pulau Jawa dengan sebuah perahu kecil. Ia kemudian mendarat dimuara Kali Serang dan kemudian tinggal tidak jauh dari tempat itu. Apalagi didekat sungai itu telah banyak penghuninya, termasuk warga Tionghoa.
Disamping berdagang, ia juga mengajarkan seni bela diri dari negerinya. Ia memiliki banyak murid hingga wilayah tersebut semakin berkembang menjadi salah satu wilayah yang banyak dihuni warga Tionghoa. Jejak peradaban itu masih terjaga dengan baik sampai sekarang.
Kirap Pusaka
Setiap tahun di kelenteng ini dilakukan perayaan peringatan Kongco atau Dewa Hian Thian Siang Tee yang jatuh pada bulan Imlek Sha-Gwe tanggal 3. Biasanya dirayakan paling sedikit sampai tiga minggu lamanya. Pada perayaan ini ada prosesi kirap pusaka di perkampungan seputar kelenteng. Tahun ini akan jatuh pada tanggal 24 Maret 2020.
Kirab ini dimulai dari Kelenteng Hian Thian Siang Tee kemudian keliling perkampungan dan berakhir di Kelenteng Hok Tik Bio atau Kelenteng Dewa Bumi yang terletak tidak jauh dari Kelenteng Hian Thian Siang Tee. Setelah pusaka berada di Kelenteng Hok Tik Bio selama lebih kurang satu bulan, kemudian dikirab kembali ke Kelenteng Hian Thian Siang Tee.
Ketika masuk ke kelenteng yang terletak di Gang Pinggir Welahan ini, pengunjung akan disambut dua patung jenderal kebanggaan kaum Tionghoa, Jenderal Oei Tik Kiong dan Jenderal Sien Siok Poo yang berjaga di pintu utama ruang peribadatan tempat bersemayamnya Hian Thian Siang Tee atau Dewa Langit.
Di samping itu, ada ruang untuk Kong Co Kwan Tee Kun dan Khong Hu Cu yang berukuran sekitar 2,5 meter. Dalam ruang peribadatan Kelenteng Hian Thian Siang Tee tidak ada penerangan listrik tetapi hanya ada lampu teplok.
Kelenteng ini memiliki lima kimsin atau patung dewa, yaitu Kong Co Hian Thian Siang Tee, Kong Co Kwan Tee Kun dan Khong Hu Cu yang berada satu atap dan hanya dipisahkan dinding yang dihubungkan dengan pintu. Di kelenteng ini juga ada patung Kwan Im dan Sang Budha. Sebab kelenteng ini memang menjadi satu dengan Vihara, tempat peribadatan umat Budha.
Kelenteng Hian Thian Siang Tee atau Dewa Langit adalah salah satu kekayaan budaya dan bahkan peradaban bangsa Indonesia. Juga saksi sejarah perlawanan bangsa ini terhadap kekejaman penjajahan Belanda. Karena itu pelestarikan situs budaya ini menjadi salah satu pilihan yang harus dilakukan para pemangku kepentingan.
Hadi Priyanto, Wartawan SuaraBaru.Id Jepara