blank

blank

Oleh Amir Machmud

TERSEBUTLAH masa-masa –akhir 1980-an dan dekade 1990-an –, ketika Liga Serie A menjadi episentrum industri kompetisi sepak bola dunia. Hampir semua pemain terbaik dunia tampil dan mengimpikan bisa bermain untuk klub-klub di Negeri Pizza itu. Hak siar televisi diperebutkan, karena penayangan laga-laga dari liga calcio itu adalah prestise yang mudah mendapatkan kontribusi iklan.

Ketika itu, dua klub sekota, AC Milan dan Internazionale Milan bersaing menjadi pusat kekuatan dengan mengumpulkan para bintang dunia. Rossoneri dengan Trio Belanda Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten di samping bintang-bintang sekaliber Zvonimir Boban, Dejan Savicevic, Jean Pierre Papin, Des Walker, Paolo Maldini, Franco Baresi, Roberto Donadoni, Marcel Desailly, George Oppung Weah, hingga generasi Ricardo Kaka.

Sementara itu, Internazionale mendatangkan Trio Jerman Andreas Brehme, Juergen Klinsmann, dan Lothar Matthaeus. Banyak pula bintang dunia yang direkrut Nerazurri seperti Mathias Sammer, Ivan Zamorano, Roberto Carlos, Dennis Bergkamp, Alfaro Recoba, Javier Zanetti, Ronaldo Luis Nazario, dan Walter Samuel.

Belum lagi Napoli, yang pada pertengahan 1980-an menebar histeria dengan “manusia setengah dewa” Diego Maradona, didampingi nama-nama hebat Alemao, Careca, Carnevale, Ciro Fertara, Fernando Di Napoli, dan Cerezo. Juventus mengikuti dengan Roberto Baggio dan Salvatore Schillachi, berlanjut ke angkatan Zinedine Zidane, Alessandro Del Piero, David Trezeguet, dan Gianluigi Buffon, setelah sebelumnya merajut masa emas dengan Michael Platini dan Zbigniew Boniek.

Pendek kata, Serie A menjadi panggung berkumpul para pendekar utama dunia. Namun seiring pengembangan Liga Primer, La Liga, dan Ligue 1 berkat masuknya investor-investor dengan “dolar yang tak berseri” — terutama investor dari Timur Tengah –, pendar cahaya pun beralih. Pamor Serie A perlahan-lahan seperti meredup. Para pemain, termasuk bakat-bakat besar dari Amerika Latin dan Afrika punya impian lain. Para agen pemain mengalihkan pasar ke luar Serie A.

*   *   *

ERA 2000-an hingga 2015, liga yang pernah memperkenalkan konsep “sepak bola tanpa batas” dari ide Silvio Berlusconi ini, setidak-tidaknya melalui Juventus, mulai merekonstruksi orientasi industri kompetisi. Bintang-bintang terbaik seperti Paolo Dybala, Miralem Pjanic, Douglas Costa, dan Paul Pogba melengkapi produk domestik seperti Andrea Pirlo, Buffon, atau Chiellini. Pada 2018 Bianconeri tak tanggung-tanggung bergerak. Mereka berhasil mengambil Cristiano Ronaldo, satu dari dua pemain terbaik dunia dari Real Madrid.

Serie A pun kembali ingar bingar. Ada cahaya yang menyeruak, sementara La Liga kehilangan salah satu elemen pesonanya, dan Real Madrid tak kuasa menghapus “kerinduan” terhadap peran CR7. Geliat yang langsung terasa dari pengaruh kehadiran Ronaldo menjangkiti klub-klub rival Juventus. Inter Milan mengambil Romelu Lukaku dan Alexis Sanchez dari Manchester United, dan yang terbaru menyusul Ashley Young. Belanja besar Inter dilengkapi dengan perekrutan Christian Erikssen dari Tottenham Hotspur. Juve juga menggaet Aaron Ramsey, Mattijs de Ligt, dan diinfokan tertarik mengembalikan Paul Pogba dari Old Trafford ke Turin.

Dalam skala lain, Zlatan Ibrahimovic, pada usia 38 kembali ke San Siro. “Ibracadaba” menjadi contoh selain Ronaldo tentang pemain yang tidak terpengaruh kemerambatan usia. Gairah baru menjangkiti AC Milan berkat kehadiran amunisi baru yang penuh konfidensi itu.

Rivalitas sehat mulai berkembang di klasemen. Inter dan Napoli memepet Juventus. Sementara itu, di kanvas media segala apa tentang Ronaldo menjadi daya tarik tersendiri. Benar-benarkah berlangsung “Ronaldo effect” di Serie A? Apakah kedatangan Sanchez, Lukaku, Young, dan Eriksson merupakan bentuk lain daya tarik Serie A yang sudah agak lama tidak diwarnai atraksi-atraksi hebat para bintang dari berbagai penjuru dunia?

Pengaruh Ronaldo memang muncul, karena bagaimanapun dia adalah parameter keunggulan mahabintang di samping Lionel Messi. Di Juventus, pastilah setiap pemain berkeinginan bisa bermain bareng Ronaldo. Para pemain klub kompetitor Juve ingin berhadapan dengan kapten tim nasional Portugal itu. “Sesuatu berubah di Serie A sejak kedatangannya,” tutur Maurizio Sarri, allenatore Juventus mengakui adanya “Ronaldo effect”.

Peraih lima trofi Ballon d’Or itu memberi pengaruh lain berupa realitas bahwa tidak selalu usia di atas kepala tiga menjadi sandyakala bagi pesepak bola. Ronaldo memberi antitesis berupa kedisiplinan mengelola fisik dan psikis, lewat spartanitas latihan. Bentuk tubuh yang tetap oke dalam usia sekarang, 34, mirip dengan Ibrahimovic yang empat tahun lebih tua. Produktivitas kedua maskot baru Serie A ini juga menjadi penanda lain tentang kembalinya kegairahan Serie A sebagai kiblat industri sepak bola dunia.

Rekor demi rekor Ronaldo yang dicatat dalam seragam Juventus juga meramaikan tren mediatika di seputar sepak bola yang menjadi makin “hidup”. Apa yang muncul dari Ronaldo sekarang adalah semerbak cahaya bagi Juventus, dan apa yang riuh dari La Vechia Signora adalah simbolisme pasang naik dinamika calcio Italia.

Dari sisi Ronaldo, efek kegairahan yang diekspresikan adalah fakta betapa penting eksistensinya dalam industri sepak bola dunia. Sejak dia menggantikan David Beckham di Manchester United, menjadi maharaja di Real Madrid, hingga posisi sebagai faktor pembeda di Juventus sekarang merupakan jejak sejarah yang selalu diukir di mana pun dia bermain.

“Efek Ronaldo” ada di mana-mana, di semua kompetisi yang dia beri warna…

Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng