blank
BANJIR: Warga melintasi banjir di kawasan Bukit Duri, Jakarta, baru-baru ini, akibat luapan sungai Ciliwung. Foto: dok/antara

Oleh: Amir Machmud NS

blank

TER-LA-LU…! Aksen gerutuan populer dalam sebuah lagu “Raja Dangdut” Rhoma Irama itu, kiranya tepat untuk menggambarkan betapa “kebangeten” para politisi kita dalam menyikapi dan “mengelola” musibah banjir di Jakarta, awal 2020 ini.

Pada musim-musim banjir sebelumnya, boleh jadi niat politisasi juga sudah muncul di benak orang-orang yang punya hasrat besar kekuasaan. Hanya, tahun ini memang terasa makin “ter-la-lu” karena verbalitas cara yang menjadikan bencana musiman itu sebagai medium saling menghantam dan menaikkan citra.

“Perang terbuka” melalui media berlangsung antara Pemerintah Pusat yang terepresentasi pada Presiden Joko Widodo, Menteri PUPR Basuki, para tokoh partai koalisi pemerintah, dan elemen-elemen penyertanya di satu pihak; dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan para pendukungnya di pihak lain. Fokus “perang” lewat konsep normalisasi versus naturalisasi berkecamuk seolah-olah mengabaikan tujuan substansial untuk siapa seharusnya manajemen pengendalian dan pencegahan banjir di Jakarta hendak diperuntukkan.

Pada sisi lain, media mengakomodasi “perang” itu ke penyediaan volume ruang pemberitaan secara intens. Kita sebagai praktisi media tentu memahami teori rating, juga eksplorasi proksimitas persoalan dengan persebaran potensial informasi dalam lingkaran bisnis media.

Ideologinya, kejadian besar adalah potensi pasar. Di antara orientasi pasar, pekerja media yang juga memahami teori agenda setting dan analisis framing pastilah juga sadar, betapa kuat tarik menarik kepentingan di seputar banjir yang mencoba memanfaatkan penggalangan opini publik lewat ketersediaan ruang media. Persoalannya, kepada siapa ruang itu dibuka?

Kondisi perebutan “ruang” itu memang tidak seekstrem dikotomi posisi media dalam Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur DKI 2017, dan Pemilihan Presiden 2019; akan tetapi kita juga merasakan betapa kental politisasi pemberitaan banjir Ibu Kota itu lewat praksis pemberitaan media-media yang memuat pro-kontra kedua “kubu” dengan penajaman dan aksentuasi pesan ke arah mana.

Stigmatisasi Opini
Berlangsunglah stigmatisasi opini yang tajam: apakah Anies cukup cakap merespons dan bertindak dalam penanganan banjir? Apakah benar Pemerintah Pusatlah yang seharusnya lebih berperan dengan melihat peta permasalahannya? Sampai muncul pernak-pernik penyodoran nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, sebagai sosok potensial yang disimpulkan mampu menangani persoalan banjir Jakarta.

Atau dibentuk opini yang mempromosikan “gubernur rasa presiden”, untuk menatap jauh ke kontestasi 2024. Aneka pertanyaan itu merupakan bagian dari elemen-elemen perang yang sejatinya merupakan “follow up” dinamika rivalitas Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019.

Dengan kemasan iktikad apa pun, media lalu terposisikan dalam pandang kecurigaan antarkubu. Ada yang dinilai membela dan berkepentingan untuk menghambat popularitas Anies Baswedan. Ada pula momen-momen pemberitaan terkait kinerja manajemen banjir, yang oleh kubu sebelah dituding ikut mengangkat citra Anies.

Secara alamiah, wartawan dan media akan selalu dilihat dari posisi-posisi semacam itu, karena syahwat kepentingan hanya akan menilai dari cara pandang subjektif. Tidak akan ada proporsi pemberitaan yang memuaskan dari cara pandang politik. Proporsi pemberitaan media pasti akan selalu dianggap kurang dan kurang, apalagi dalam aksen-aksen yang ber-setting dan framing tertentu. Bukankah akhir-akhir ini makin sering terdengar ungkapan “kita di-framing” oleh media, lalu media-media dituding membawa kepentingan kubu tertentu, dan semacamnya?

Memperdebatkan konsep normalisasi dan naturalisasi secara sistematis dan akademik, tentu bakal memberi manfaat pengayaan pencerahan kepada publik. Akan tetapi, apabila men-judge mana yang paling benar di antara dua konsep tersebut, tentu media bakal dipandang berpihak dalam “perang” tersebut. Maka yang seharusnya disodorkan dalam penyajian pemberitaan adalah indikator-indikator logika plus-minus yang justru bisa memperkaya pengetahuan publik.

Di tengah suasana banjir dan pergerakan alam yang tidak menentu, alangkah bijak apabila media lebih memilih sikap atau kebijakan newsroom yang menciptakan harmonisasi penyajian. Jangan biarkan kepentingan-kepentingan yang bersumber dari syahwat kekuasaan justru berusaha merebut ruang pemberitaan, dan menjauhkan kemaslahatan publik sebagai produk tugas mulia kepemimpinan. Jangan sampai perilaku mereka yang tega dan pragmatis malah menciptakan gerutuan ala Rhoma Irama, “ter-la-lu!”

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah