blank
CETAKAN KUE: Ratna Anggraini dibantu karyawannya menyiapkan cetakan kue keranjang untuk produksi persediaan perayaan Imlek 2020, Sabtu (18/1). (suarabaru.id/lbc)

SOLO (SUARABARU.ID) – Perayaan Imlek di berbaga kota tidak akan terlepas dari beragam pernik-pernik yang menghiasi. Dari barongsai, lampion, makanan khas Tiongkok, hingga kue keranjang yang sangat ditunggu saat Imlek tiba.

Bagi warga Tionghoa, kue keranjang atau dalam bahasa Tiongkok disebut nian gao mengandung makna mendalam, tidak sekadar kue yang terbuat dari tepung ketan yang dikukus selama berjam-jam.

Nian gao diucapkan dengan nada meninggi pada akhir suku kata. Ini melambangkan pendapatan yang lebih tinggi, posisi yang lebih tinggi, pertumbuhan anak-anak, dan umumnya menjanjikan tahun yang lebih baik.

blank
12 JAM: Setelah dikukus selama 12 jam, kue keranjang dikeluarkan untuk didinginkan. (suarabaru.id/lbc)

Adapun pada dialek hokkian, kue keranjang disebut ti kwe, artinya kue manis yang disusun bertingkat-tingkat dengan penyusunan dari bawah hingga atas semakin kecil. Maknanya adalah peningkatan rezeki atau kemakmuran. Semakin tinggi kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah.

Kue keranjang menjadi hidangan wajib bagi warga Tionghoa saat perayaan Imlek. Tak afdal kiranya kehadiran Imlek tanpa suguhan kue manis berwarna cokelat tersebut.

Awalnya, kue ini digunakan sebagai sesaji dalam upacara persembahan kepada leluhur mulai tujuh hari menjelang Imlek sampai malam tahun baru.

blank

Ratna Anggraini pembuat kue keranjang rumahan dengan label “Kue Kranjang Mini” di Kelurahan Sangkrah RT 001 RW 04, Kecamatan Pasarkliwon, Kota Solo, Jawa Tengah, mengatakan, kue keranjang berbentuk bulat yang berarti tidak memiliki ujung dan penutup hal-hal buruk pada saat Imlek berlangsung. Ini juga menjadi lambang keyakinan agar selalu mendapat kebaikan di hari-hari selanjutnya atau pada masa yang akan datang.

“Untuk membuat kue keranjang tidak bisa asal-asalan. Membutuhkan proses panjang, antara 8-12 jam hingga matang,” ujar Ratna kepada Suarabaru.id, Sabtu (18/1).

blank

Dari bentuknya memang terlihat sederhana, yakni bulat berwarna merah. Rasanya pun sekilas seperti dodol pada umumnya. Namun, rasa khas kue keranjang memang sangat berbeda dibanding kue lainnya.

Setahun Sekali

Ratna menjelaskan, produksi kue keranjang miliknya hanya setahun sekali, yakni saat menjelang perayaan Imlek. Dia juga tak melayani pembuatan kue keranjang di luar perayaan Imlek.

Kue keranjang “Mini” diproduksi sejak tahun 1960. Ratna merupakan generasi kedua dari sebelumnya, Andri Wiryo Setiyono.

“Rasa kue keranjang produksi kami memang tak berubah sejak papah saya, Andri Wiryo, pertama kali produksi tahun 1960. Kami juga membuat kue keranjang hanya setahun sekali,” tuturnya.

blank

Produksi kue keranjang dari Mini Bakery tersebut dimulai dari pengolahan adonan sejak pukul 03.00 WIB. Adonan dari tepung ketan, madu, gula, dan air menjadi satu kesatuan rasa yang khas.

Ratna mengatakan, tepung ketan diproduksi sendiri. Ketan diambil dari desa, lalu diproses giling di produksi dan menggunakan gula asli. Produksinya pun hanya menjelang Imlek. Untuk tahun ini, Ratna mulai memroduksi pada Desember 2019.

“Kami punya alat giling ketan menjadi tepung ketan, sehingga semua diproduksi sendiri, termasuk penggunaan gula asli dalam adonan. Kue keranjang selesai dikukus sekitar 12 jam. Masuk kukusan pukul 03.00 dan kita angkat dari kukusan pukul 15.00 WIB,” ucapnya.

Keluar dari kukusan, Ratna yang dibantu enam karyawannya mengecek hasil kukusan, apakah matang sempurna atau tidak jadi. Artinya masih mencair. Jika tidak matang, kue keranjang tersebut akan dipisahkan.

blank

Di pasaran, kue keranjang produksi Ratna tergolong cukup mahal untuk Kota Solo. Harga 1 kilogram kue keranjang dibanderol Rp40 ribu. Harga tersebut memang cukup sepadan dengan rasa dan kualitas kue keranjang produksi Mini Bakery. Selain harga per kilogram, juga disajikan dalam kemasan dus dan tas merah berisi dua kue keranjang dengan harga Rp23 ribu.

“Produksi kita termasuk yang mahal di pasaran. Saat ini di pasar kan harganya ada yang Rp20 ribu-Rp25 ribu. Kami menggunakan ketan asli dan gula asli, dengan harga Rp40 ribu memang di atas rata-rata di pasaran pada umumnya. Pesaing kami juga ada dengan harga Rp60 ribu, tetapi produksi tidak banyak,” ujarnya.

Dalam sehari, Ratna hanya mencetak 325 buah kue keranjang dan sudah ludes dipesan para kolega serta toko-toko di sekitar Kota Solo. “Pesanan terus meningkat hingga H-7 Imlek,” pungkasnya.

LBC