blank
H Hayatudin, penulis Al Quran Akbar dari Unsiq Jawa Tengah di Wonosobo. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

WONOSOBO(SUARABARU.ID)-Waktu tepat menunjukan pukul 11.30 WIB. H Hayatuddin masih duduk tenang di sebuah ruangan di lantai III Gedung Tehologi Informasi (IT) Kampus Universitas Sains Al Quran (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo.

Dia tampak sangat berhati-hati menggoreskan pena di kertas besar yang ada dihadapannya. Sekali-kali dia menoleh ke arah samping. Di sebelah kanan dia duduk terdapat kitab suci Alquran dalam kondisi terbuka.

Alquran kecil dalam kondisi terbuka tersebut merupakan panduan dia dalam menuliskan huruf-huruf arab dan harokat di Alquran raksasa yang tengah dia kerjakan. Sementara di meja sebelah kirinya ada pensil dan tinta sebagai alat tulis.

Pria kelahiran Purwodadi 6 April 1965 itu, merupakan spesialis penulis Alquran raksasa yang digagas PP Al Asya’ariyyah Kalibeber Mojotengah dan Universitas Sains Al Quran (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo.

Santri lulusan PP Al Asy’ariyyah dan sarjana pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan ((FITK) Unsiq itu, menjalani penulisan Alquran ukuran besar sudah sejak 23 tahun yang lalu .

Dia tidak sendiri. Sebab pria alim dan penghafal Alquran itu dibantu oleh Anas Ma’ruf dan Khoirul Anam. Anas Ma’ruf bertugas membuat ornamen di pinggir lembar kertas yang di dalamnya terdapat tulisan Alquran.

Sementara, Khoirul Anwar membuat sketsa mengenakan pensil sebelum sketsa tersebut dilanjutkan dengan penulisan menggunakan tinta rotring berwarna hitam. Pada awal pembuatan Alquran raksasa pelukisan ornamen juga dibantu H Abdul Malik.

10 Alquran

blank
Proses penulisan Alquran dilakukan setiap hari di Kampus Unsiq Kalibeber Mojotengah Wonosobo. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

Sejak tahun 1991 hingga kini terhitung setidaknya dia telah merampungkan 10 penulisan Alquran berukuran besar. Alquran tulisan tangan yang pernah dibuat berukuran 2 x 1,5 meter, 1 meter x 7,5 cm dan 2 x 1 meter.

Disebutkan Hayatuddin, karya Alquran raksasa pertama yang diselesaikan pada tahun 1993 kini disimpan di Bina Graha Jakarta. Kitab suci tulisan tangan tersebut dihadiahkan kepada Presiden RI – saat itu – HM Soeharto.

Al Quran kedua dipajang di Baitul Quran Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.

Penulisan kitab suci ini selesai pada tahun 1995. Proses penulisan dan pembuatan ornamen diselesaikan di PP Al Asy’ariyyah Kalibeber Mojotengah.

“Pembuatan ornamen dilakukan H Abdul Malik. Sedang penulisan dilakukan saya sendiri. Ukuran Alquran yang diabadikan di Bina Graha dan TMII 2 x 1,5 meter,” ucap Hayatuddin ketika ditemui SUARABARU.ID di Kampus Unsiq, Jumat (17/1).

Sedang Alquran raksasa ketiga dikoleksi di Islamic Center Kramat Tunggak Jakarta. Kitab suci ini selesai ditulis tahun 2000. Lalu, Alquran raksasa keempat yang diberhasil dibuat tahun 2004 kini berada Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) di Semarang.

Pesan Mbah Mun

blank
Saat melakukan penulisan Alquran Akbar, Hayatudin dalam keadaan suci dari hadast
dan puasa Senin-Kamis. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

Sementara itu, tahun 2006 Alquran serupa kelima berada di Kerajaan Brunai Darusssalam dan Alquran keenam yang kelar dikerjakan tahun 2008 dibawa ke Makassar di Masjid milik keluarga Yusuf Kalla.

Mushaf Alquran ketujuh masih berada di kediaman Imam Nahrowi (mantan Menpora). Alquran ke-8 di mushola kediaman Asri Setyawati pengusaha di Jakarta dan Alquran Akbar ke-9 di Masjid Nurut Taubah Lapeo Sulawesi Barat. Kini sedang ditulis Alquran ke 11.

Hayatuddin mengaku menulis Alquran dengan tulis tangan berukuran besar merupakan amanah yang diberikan Simbah KH Muntaha Al Hafidz – kini almarhum – pengasuh PP Al Asy’ariyyah Kalibeber Mojotengah Wonosobo.

Almarhum Mbah Muntaha sendiri merupakan pecinta sekaligus penghafal Alquran 30 juz. Sejak usia 16 tahun beliau sudah hafal Al Quran. Kakeknya KH Ibrahim semasa hidupnya dulu juga dikenal pengagum Alquran.

KH Ibrahim termasuk ulama khos yang telaten menulis Alquran dengan tulisan tangan. Sayangnya mushaf Alquran itu raib saat terjadi agresi Belanda dan hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya.

Guna mengenang jasa KH Ibrahim, Mbah Mun mengabadikan perjuangannya dengan menggagas penulisan Alquran akbar ini.  Hayatudin menegaskan akan terus menulis Alquran sampai akhir hayat karena melanjutkan pesan Mbah Mun.

“Simbah KH Muntaha memerintahkan saya menulis Alquran dengan tangan karena melanjutkan tradisi Mbah Ibrahim yang merupakan pewaris PP Al Asy’ariyyah Kalibeber,” katanya.

Kondisi Suci

blank
Wamenag RI H Zainut Tauhid Sa’adi foto di samping Alquran Akbar di Masjid Al Furqon Unsiq Jawa Tengah di Wonosobo. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

Gagasan Mbah Mun tentang penulisan Alquran ini, menurut Hayatuddin mengandung maksud untuk melestarikan dan menyebarkan nilai-nilai Alquran kepada masyarakat serta
menjaga keagungan Alquran.

Dalam menuliskan kalam illahi ini, Hayatudin mengaku tidak sekadar menulis, tapi harus mempersiapkan lahir dan batin. Saat menulis Alquran dia selalu dalam kondisi puasa Senin-Kamis dan suci dari najis atau terjaga wudhu.

Sebelum melalui menulis Hayatuddin bersama Anas Ma’ruf selalu mendahului sholat sunat mutlak dan berdoa agar senantiasa diberi kelancaran dalam menjalankan tugasnya. Selain hari libur dia tak pernah absen menulis.

Dikisahkan Hayatuddin, penulisan dimulai pada hari dan selesai siang hari. Namun bila diperlukan penulisan dilakukan secara lembur malam hingga pagi hari. Dia mengaku senang bisa melakukan tugas mulia tersebut.

Menyangkut kesalahan penulisan, jika hanya kesalahan dalam harokat cukup ditutup dengan cat sewarna dengan kertas dan menulis kembali harokat tersebut. Namun jika kesalahan penulisan huruf lebih dari satu, harus diulang menulis dari awal.

“Untuk menjaga kebenaran dan ketepatan tulisan, sebelum Alquran jilid terlebih dulu dilakukan pentaskhihan (revisi) oleh tim khusus. Tim taskhih terdiri dari penghafal Alquran dan ahli tafsir”, ujar Hayatuddin.

Muharno Zarka – Wahyu