blank
foto: dok/antara

Oleh Amir Machmud NSblank

DUA PULUH tahun silam, saya masih dengan tegas menolak fenomena “berita berbayar”dalam praktik berjurnalistik dan bermedia. Ideologi “pagar api”, menurut saya, masih relevan ditegakkan dan harus terus digaungkan untuk menjaga Kode Etik Jurnalistik dan martabat kemerdekaan pers.

“Pagar api” tak akan pernah menoleransi setiap kompromi semodel apa pun cara media untuk memperoleh pendapatan, dalam bentuk iklan, advertorial, atau apa saja. “Berita berbayar” yang merupakan pelembagaan pemuatan berita dengan imbalan harga tertentu, bahkan kini bisa jadi makin bermodifikasi dalam bentuk-bentuk yang lebih verbal, seolah-olah dijadikan solusi ketika kue iklan makin sulit didapatkan, yang menyebabkan media-media mengalami kesulitan dalam membiayai produksinya.

Jangankan kondisi “sehat” perusahaan, yang terjadi bahkan tidak sedikit media mencoba bertahan hidup dengan membiarkan wartawan dan redaktur hanya menjadi prioritas kesekian yang bisa tersentuh konsistensi memperoleh gaji.

Realitas ini mengetengahkan paradoks pedih newsroom: antara harapan dan tuntutan publik agar media menjadi jembatan ideologis memperoleh informasi yang akurat dan objektif, dengan kenyataan wartawan dan medianya harus berjuang untuk bertahan hidup. Padahal profesi kewartawanan tentu tidak bisa direndahkan dengan hanya menjadikannya sebagai pekerjaan sambilan.

Wartawan adalah “profesi” yang punya nilai kemuliaan tersendiri, berbekal ideologi sendiri, dengan kompetensi yang berkemartabatan seimbang dengan profesi-profesi lainnya. Tak sembarang orang bisa menggeluti profesi ini.

Lalu apa artinya ketika untuk menjaga agar profesi ini tetap hidup dan berkelanjutan, agar media-media tetap bisa menyelenggarakan usahanya, maka praktik “berita berbayar” dan sejenisnya tak bisa lagi dihindarkan?

Pertanyaan ini juga sejalan dengan kegelisahan yang lebih mirip dengan gugatan: bagaimana mungkin newsroom media-media sempat memikirkan idealisme pemberitaan, ketika mereka masih diribetkan oleh urusan-urusan dasar biaya produksi, seperti gaji dan kesejahteraan sumberdaya manusianya? Bagaimana harus konsisten memberi batas tegas dengan “pagar api” antara wilayah ideologi pemberitaan dengan wilayah bisnis perusahaan?

Kue yang Tak Lezat Lagi
Sejumlah media, dengan fondasi finansial yang tangguh dan berjaringan bisnis kuat, boleh jadi tidak terpengaruh oleh realitas “era lesu” dalam bisnis media sekarang. Mereka tetap eksis walaupun harus mati-matian beradaptasi dengan tuntutan transformasi ke era digital dan peralihan selera generasi.

Nyatanya, kue iklan memang tidak lagi selezat sekitar 20 tahun silam bagi media cetak dan televisi. Modifikasi advertorial banyak menjadi jalan keluar, tetapi ketika perusahaan bisnis produk dan jasa lebih merasa efektif berpromosi melalui aneka inovasi dalam platform digital, bahkan melalui media-media sosial seperti “privatisasi” Youtube, lahan advertorial untuk media konvensional pun menjadi makin terbatas.

“Berita berbayar” sebenarnya bukan inovasi baru, jika itu diangkat untuk dibahas setelah kemaharajaan platform-platform digital. Fenomena itu jauh lebih dulu muncul sebagai “solusi” kompetisi media, untuk mengkreasi pendapatan. Dan, suka atau tidak suka, waktu itu juga bisa dipandang sebagai terobosan menyambung hidup.

Ada yang menyebut lebih halus sebagai “berita terarah”, ada pula yang mengistilahkan sebagai “berita relasi”; semua berfokus sama, yakni memaksimalkan volume ruang pemberitaan untuk mendapatkan pemasukan. Wajah media dengan pilihan sikap ini memang bisa dipandang sebagai antitesis etika jurnalistik, namun tak sedikit yang mengabaikan pendapat tersebut.

Lewat formulasi sajian yang “terarah” karena “berbayar”, sebagai cara memenuhi keinginan para mitra kerja, produk jurnalistik yang disajikan pun sesuai dengan setting kesepakatan. Dimuat di halaman berapa (untuk media cetak), sebagai headline atau di posisi mana, dengan besaran huruf yang seberapa, bunyi judulnya seperti apa, angle yang diangkat pada bagian mana, disajikan cukup satu berita atau ada tautannya, foto apa yang melengkapi, jumlahnya berapa, dan sebagainya.

“Hukuman profesionalitas” yang langsung dihadapi oleh media, dalam praktik demikian ini adalah ketidakberdayaan prosedur nilai jurnalistik. Anda tidak punya kebebasan, misalnya untuk memilih angle dan judul, juga sudut pandang foto. Yang akan Anda puaskan adalah sang “pemesan sajian”, karena dia berhak menentukan bentuk produk jurnalistik Anda. Ketidakberdayaan nilai ini berkembang menjadi semacam “pengorbanan profetik” untuk media, demi kelangsungan eksistensi perusahasn media Anda.

Apakah “pengorbanan profetik” itu dapat dipahami sebagai justifikasi, bahwa kondisi yang diwakili oleh fenomena “berita berbayar” itu adalah realitas zaman, atau orang Jawa bilang nuting zaman kelakone, sehingga kita tak berdaya untuk tidak mengikuti? Atau sejatinya, ini adalah penyimpangan yang seharusnya dilawan dengan sikap tertentu?

Sepanjang iklim pendapatan media masih berpusar seperti sekarang, terutama ketika media-media online tumbuh subur, “berita berbayar” tidak akan lagi dilihat sebagai “bias”periklanan, melainkan bagian dari modifikasi untuk kelangsungan hidup perusahaan media. Bahkan boleh jadi bakal termodifikasi lagi dengan model-model yang makin terbuka memperlihatkan produk jurnalistik itu untuk kepentingan siapa.

Memosisikan News Value
Dalam perkembangan kondisi demikian, berada pada posisi manakah etika jurnalistik? Etika substantif tidak akan menoleransi, bahwa karena realitas kesulitan perusahaan media maka ada permakluman terhadap penyimpangan proses etis berjurnalistik. Atau apakah sejatinya semua bergantung pada prosedur dan kemasan produknya? Ketika tujuan memberi informasi dengan ketercukupan news value tetap dipenuhi, apakah model “berita berbayar” boleh dianggap sebagai solusi?

Para pengelola media, pada sisi lain juga harus terus mencari celah untuk memediasi “konflik etis” ini, dengan cara yang tepat. Kerja sama-kerja sama iklan (advertorial) dan pemberitaan tetap terpayungi oleh integritas jurnalistik, lewat pilihan news value, model-model inspirational news, dan tak boleh secara verbal membelakangi etika jurnalistik.

Pada tataran kegelisahan tentang distribusi ruang idealisme dan ruang bisnis, dalam porsi perimbangan yang setimpang apa pun, pasti akan berbenturan nilai-nilai: antara kehendak wartawan dan media untuk survive, dengan usikan nurani untuk selalu menjaga etika jurnalistik.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah