blank

Oleh Amir Machmud NS

KINILAH saatnya Indonesia merobek tabir inferioritas dalam pergaulan sepak bola internasional. Keterpilihan sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 pada 2021 mendatang adalah titik penting sejarah yang seharusnya mengawali “revolusi mental” dalam banyak hal.

Otomatis, tim Garuda Muda akan menjadi salah satu di antara 24 kontestan putaran final dari enam konfederasi sepak bola. Apa pun capaian David Maulana dkk dalam Piala AFC 2020 di Uzbekistan nanti — andai tidak masuk “empat besar” Asia sekalipun — , tak memengaruhi hak tiket otomatis sebagai tuan rumah Piala Dunia 2021.

Di luar faktor kepesertaan, sebagai penyelenggara Indonesia bakal berkesempatan melakukan “transfer ilmu” dan “transformasi sikap”. Kita bisa belajar mulai dari bagaimana menyiapkan stadion-stadion yang berstandar FIFA, gambaran pengelolaan dan pemeliharannya, pengorganisasian akomodasi dan logistik untuk tim-tim peserta, hingga penyiapan sumberdaya manusia sebagai kelengkapan aparat pertandingan, menjaga perilaku pelayanan prima, hingga belajar menjadi suporter yang sehat.

Secara multiplier effect, eksplorasi sport-tourism juga melekat pada event yang sering disebut sebagai “The Greatest Show on Earth” ini. Tentulah sangat rugi jika Indonesia tidak mampu memanfaatkannya sebagai momentum berpromosi mengangkat dunia pariwisata secara besar-besaran. Bukan hanya pada saat Piala Dunia U20 digelar, tetapi juga bagaimana menciptakan efek promosi jangka panjang dan branding ke depan.

*   *   *

PEKAN lalu, ketika tim U19 memastikan lolos dari kualifikasi Piala AFC di Stadion Gelora Bung Karno, poin yang terasa penting adalah bagaimana proses kelolosan itu diraih secara anggun oleh Bagus Kahfi cs. Bukankah menahan Korea Utara 1-1 patut dicatat sebagai produk sukses dari intensitas pembinaan tim-tim usia muda kita?

Langkah ini menggenapi capaian tim U16 anggitan Bima Sakti, yang bulan lalu juga lolos ke putaran final Piala AFC setelah dalam laga terakhir bermain impresif walaupun berakhir tanpa gol melawan China.

Tentu bukan sekadar soal skor yang bicara. Yang berbeda, penampilan anak-anak Garuda Nusantara menunjukkan sikap “tak kenal takut” dan “tak peduli level”. Bukankah Korea Utara dan China, bagaimanapun adalah kekuatan penting Asia yang telah mencecap pengalaman putaran final Piala Dunia?

Indonesia memang punya sejarah membanggakan di ajang Piala Asia Yunior, pernah menjadi juara bersama Burma (kini Myanmar) pada 1961. Posisi di level atas Asia juga masih bisa dijaga pada kisaran dekade 1960-an dan awal 1970-an. Namun dalam perkembangan kemudian, peta aktual menunjukkan bahkan dengan Thailand dan Vietnam sebagai sesama negara Asia Tenggara pun kita mengalami kondisi inferioritas. Apalagi dalam persebaran kekuatan Asia, kita paham bagaimana kemajuan yang dicatat oleh Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, China, Qatar, Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Uzbekistan, dan Australia.

Lalu kebanggaan apa yang kita petik ketika anak-anak tim U19 bermain 1-1 dengan Korea Utara?

Tim asuhan Fakhri Husaini itu mampu memainkan sepak bola atraktif yang berkarakter dan mendikte. Cepat, rancak, dan determinatif. Tim ini sudah terbentuk dan bersama sejak menjadi juara Piala AFF U16 pada 2018 di bawah arsitek yang sama. Kebersamaan dengan penyisipan satu-dua pemain tambahan membuat mereka sudah menyatu dalam kekentalan chemistry skematika.

Kita segera melihat kelebihan anak-anak itu dibandingkan dengan tim nasional senior dari determinasi performa yang “tanpa rasa takut” atau “kena sindrom rendah diri” melawan tim-tim dengan level lebih baik. Simaklah bagaimana kegagahberanian tim U17 Fakhri mampu menundukkan Iran 2-0 dalam putaran final Asia 2018. Catatan itu menyamai prestasi Evan Dimas dkk yang dalam babak kualifikasi Piala Asia 2013 mampu menundukkan raksasa Asia, Korea Selatan 3-2.

Anak-anak Garuda Muda seolah-olah berteriak kencang mencabik tirai inferioritas yang selama ini menjadi kendala serius timnas senior. Saya ingat kesan Wiel Coerver, pelatih asal Belanda yang mengantar Iswadi Idris cs ke final penuh drama Pra-Olimpiade 1976 melawan Korea Utara. “Mental pelayan, itu yang harus dilawan,” cetus Coerver yang ketika itu dinilai mampu membangun karaker pemain dan karakter tim.

Lecutan Coerver itu, belakangan paralel dengan pertanyaan awam yang kerap muncul, “Mengapa tim-tim kelompok umur Indonesia mampu berjajar dengan kekuatan-kekuatan di level Asia, akan tetapi melempem ketika sudah beranjak ke usia senior?”

Statemen Ronny Pattinasarany (alm), legenda sepak bola Indonesia, yang pernah disampaikan dalam sebuah wawancara kepada saya pada 1993, kiranya masih relevan kita referensikan hingga sekarang. “Biarkan anak-anak itu bermain-main tanpa beban, dengan tuntutan harus menang dan harus menang. Lepaskanlah naluri mereka untuk berkreasi tanpa dibebani macam-macam. Maka mereka akan berkembang secara alamiah sesuai bakat dan kemampuan, untuk diberi arah para pelatih yang mendampingi,” ungkap Ronny.

Para “pamomong” seperti Indra Sjafri Lubis, Fakhri Husaini, dan Bima Sakti pun tampaknya membangun tim sambil berperan sebagai “kawan bermain”. Nah, tantangannya kemudian, bagaimana merawat kegembiraan itu ketika mereka sudah memasuki tim usia senior?

Mungkin juga tidak cukup dengan konsep membiarkan para pemain kelompok umur itu berain-main dengan penuh kegembiraan. Bukankah realitasnya pada level usia tertentu, pikiran para pemain itu sudah mulai terintervensi oleh lingkungannya, baik internal maupun eksternal? Dalam perjalanannya, mereka pasti tidak bisa menghindarkan usikan-usikan pikiran: bagaimana harus merencanakan arah kehidupan pribadi dan keluarga ke depan, pilihan-pilihan dalam menata masa depan, pendidikan, juga dinamika kondisi klub para pemain tersebut mampu memberi jaminan.

Realitasnya, dalam banyak momen pertandingan, penampilan timnas senior seperti ekspresi wajah inferior di hadapan kekuatan-kekuatan Asia. Dan, termasuk lebih sering gagal bersaing dengan para tetangga di kawasan regional Asia Tenggara.

*  *  *

MENGAPA harus inferior? Juga kenapa konsistensi performa pada usia-usia 16, 19, dan 22 tidak berkesinambungan pada usia ketika seharusnya pengalaman dalam tim-tim kelompok umur itu membentuk tahapan kematangan fisik, teknis, dan psikis?

Seharusnyalah para pemangku kepentingan sepak bola nasional bisa menemukan jawaban dari pertanyaan menggelisahkan seperti itu. Telah cukup bukti betapa kesenjangan realitas itu membutuhkan jembatan untuk menyambungkannya.

Capaian dan penampilan tim U16 dan U19 kali ini menjadi sangkakala, lengkingan terompet kesadaran untuk kali kesekian: untuk apa takut-takut dan merasa rendah diri, padahal sudah membuktikan mampu bertarung tak kalah trengginas dari macan-macan Asia, dengan kapasitas teknik yang tidak di bawah level mereka?

Apalagi dua tahun kemudian kita bakal menjadi tuan rumah “Tontonan Terbesar di Mjuka Bumi”, sebagai salah satu kontestan yang berkompetisi dengan tim-tim terbaik dunia. Kuncinya, bongkar kerendahdirian itu dengan keberanian bersaing. Kita geber “revolusi mental” di lapangan bola…