blank

Oleh Amir Machmud NS

DIA “pulang” ke Stamford Bridge dengan sejuta rasa: antara harapan dan keraguan, antara optimisme dan cibiran. Bisa apa anak kemarin sore — Frank James Lampard — itu, untuk missi besar mengembalikan kejayaan Chelsea?

Pengalaman semusim menangani klub Championship, Derby County dengan melaju ke play-off liga, dipandang tak seimbang dengan reputasi mentereng deretan taktikus “The Blues” sebelumnya: dari Claudio Ranieri, Jose Mourinho, Guus Hiddink, Rafael Benitez, Roberto Di Matteo, Carlo Ancelotti, Antonio Conte, hingga Maurizio Sarri.

Jadi apakah ini sebuah perjudian, ketika pemilik klub yang sepragmatis Roman Abramovic, seperti bernostalgia memilih ketika Frank Lampard? Mantan gelandang Chelsea yang oleh Mourinho pada 2005 disebut sebagai pemain terbaik dunia itu, memang punya rekor kinclong sebagai legenda Chelsea, namun tanggung jawab sebagai pelatih yang langsung dipasrahi memimpin tim besar tentu pantas disebut sebagai spekulasi.

Menggantikan Maurizio Sarri, eks pelatih Napoli yang kini menukangi Juventus, jelas bukan suksesi nyaman. Bukankah Sarri adalah nama besar, telah punya pakem skema dan taktik sepak bola ofensif yang paten sebagai “Sarri-ball”? Hanya karena pada musim kemarin bercokol Pep Guardiola dan Juergen Klopp yang sedang “berkuasa”, juga Maurizio Pochettino yang selalu impresif, maka Sarri harus “rela” menjadi si nomor sekian di Liga Primer.

Lampard bahkan disebut-sebut terkena sindrom inferioritas, ketika Chelsea mengawali musim 2019-2020 dengan kekalahan telak 0-4 dari Manchester United. Kebetulan MU juga tengah menjalani suksesi kepelatihan dengan arsitek berkategori sama dengan Lampard, sebagai bagian dari “New Kids on the Block”, Ole Gunnar Solskjaer. Kekalahan itu pun sepintas membahasakan Lampard kalah start dari Solskjaer. Sejumlah pengamat pun serta merta memperkirakan dia akan cepat menjadi korban pemecatan.

Akan tetapi, lihatlah betapa anggun Frank Lampard mengatasi tudingan inferioritas itu. Dia “melawan” analisis-analisis yang merendahkannya, seperti dulu saat menjadi pusat permainan Chelsea dengan ketenangan, visi, dan mentalitasnya. Perlahan tapi pasti, dengan konsep meremajakan tim, dia menghela “The Blues” bergerak ke trek yang benar. Hingga pekan ke-11 liga, Jorginho dan kawan-kawan sempat menempati posisi ketiga klasemen dengan 23 poin sebelum digeser Leicester City yang bertanding setelahya.

Membawa Chelsea ke strip tipis hanya di bawah duo titan Liverpool dan Manchester City jelas merupakan raihan mantap bagi seorang pendatang. Bandingkan dengan MU yang menduduki peringkat ke-10 dengan 13 poin sebagai pencapaian terburuk “The Rd Devils” dalam penampilan 11 laga selama 32 tahun terakhir!

*   *   *

LAMPARD adalah orang yang memercayai kesegaran sebagai cara untuk tumbuh, berkembang, dan bersaing. Maka dia memilih deretan pemain muda dalam skema starting eleven-nya. Di satu sisi, seperti pengalamannya semasa bermain — yang tetap determinatif dalam usia di atas kepala tiga — pria kelahiran London 20 Juni 1978 itu yakin, para pemain senior merupakan kunci penyeimbang yang akan membimbing anak-anak muda dalam sebuah adonan koreografi permainan yang impresif.

Lihatlah Chelsea sekarang. Christian Pulisic bersama Jorginho berkembang sebagai pengatur permainan yang produktif bersama deretan pemain angkatannya: Tammy Abraham, Mason Mount, Callum Hudson, Fakayo Tomori, dan Ruben oftus-Cheek. Sementrara para senior menjaga keseimbangan skematika dengan kematangan jam terbang, dari N’Golo Kante, Ross Barkley, Willian, hingga Michy Batshuayi.

Filosofi peremajaan ala Lampard sebenarnya mirip dengan pendekatan Solskjaer yang mengutamakan skemaatika berdarah muda, namun Chelsea tampak lebih stabil dibandingkan dengan MU yang masih naik-turun justru setelah status sang pelatih karteker dipermanenkan.

Orkestrasi Lampard berbeda dari pendekatan Mourinho, Conte, dan Sarri. Peraih posisi runner up Ballon d’Or 2005 di bawah Ronaldinho itu meletakkan fondasi keseimbangan permainan antara stabilitas lini tengah dengan formasi transisi yang cepat dalam serangan balik. Anda bisa menyimak nuansa ketenangan dalam rakitan mata rantai kerja sama. Semua penggawa Chelsea dituntut memanfaatkan kecepatan, dan ini terlihat dari bagaimana mereka merespons cepat balik bertahan ketika diserang, dan secara kilat menebar saat transisi menyerang.

Lampard tidak berkesan mendoktrinkan sikap defensif yang cenderung menumpuk pemain ketika bertahan, namun selalu bermain terbuka. Chelsea di bawah Lampard adalah Chelsea yang indah, gembira, dan bermain terbuka.

Joe Cole, legenda Chelsea dan tim nasional Inggris memuji Chelsea mengalami peningkatan kualitas dari satu laga ke laga berikutnya. Sementara itu analis Trevor Sinclair menyebut, kunci kebangkitan Pasukan Stamford Bridge adalah kekuatan mental Frank Lampard dan timnya ketika menghadapi cemoohan dan arus ketidakpercayaan di awal-awal musim.

Jejak Lampard, yang oleh Direktur Olahraga New York City, Claudio Reyna disebut sebagai “salah satu pemain terbesar dalam sejarah sepak bola dunia” itu, baik ketika bersama Chelsea maupun saat bermain untuk West Ham United, Swansea City, Manchester City, dan New York City, sangat membantu penguatan referensinya mengenai “solusi”. Faktor jam terbang sebagai pemain dengan aneka tekanan memberi kekuatan lain baginya.

Ya, dia punya modal pengalaman berupa situasi-situasi empirik yang harus dihadapi untuk keluar dari permasalahan dan memecahkannya. Apalagi Lampard yang telah membukukan sejumlah trofi liga, Piala FA, Piala Liga, dan Liga Champions itu dikenal punya jiwa kepemimpinan dan visi pemecahan masalah ketika timnya mengalami situasi buntu. Gol-gol dari tendangan jarak jauhnya yang terkenal adalah cermin dari solusi itu.

Kompetisi memang baru menjejak pekan ke-12. Berbagai dinamika masih bakal berlangsung. Apakah akhirnya Ole Gunnar Solskjaer mampu membangkitkan MU dari situasi sulit, atau malah menjadi korban dari kapitalisme industri sepak bola? Apakah Lampard mampu mempertahankan konsistensi performa Tammy Abraham cs? Atau kedua pelatih muda itu sama-sama menghadapi realitas betapa kompetisi akan melemparkan mereka ke predikat sebagai pelatih yang “masih hijau”?

Sementara ini, mari kita nikmati suguhan Frank Lampard yang “meng-haru Biru”, membuncahkan kegembiraan bagi fans “Si Biru”…