blank
Budayawan Jawa KRA Pranoto Adiningrat (kanan), ketika memimpin upacara adat Lestari Mina di Waduk Gajahmungkur Wonogiri.

SURAKARTA – Ada yang memilah, musim kemarau dibedakan menjadi dua jenis. Yakni musim kemarau kering dan musim kemarau basah. Tahun 2019 ini, musim kemarau berlangsung panjang dan termasuk kemarau kering, karena tidak diwarnai adanya hujan kiriman. Lain halnya dengan musim kemarau tahun lalu, termasuk jenis kemarau basah, sebab selama musim kemarau masih sering diwarnai turunnya hujan kiriman.

Budayawan Jawa, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, menyatakan, dalam paham Kejawen, ada petung (petunjuk) untuk memprediksi (meramal) musim kemarau akan basah atau akan kering. Pranoto, yang juga abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat ini, menyebutkan, acuan untuk memprediksi musim akan berlangsung kemarau basah atau kering, didasarkan pada jatuhnya hari Tanggal Satu Bulan Sura, yang merupakan awal Tahun Jawa.

”Karena acuannya berdasarkan hari, maka ada tujuh jenis prediksi berkaitan sebagai petung untuk meramal akan berlangsung musim kemarau basah atau musim kemarau kering,” tutur Pranoto. Peraih anugerah Bintang Budaya ini, menyebutkan, prediksi musim kemarau akan berlangsung kering atau basah, berguna bagi kaum tani untuk menentukan kegiatan bertanam.

Artinya, manakala masuk ramalan kemarau basah, curah hujannya akan banyak, dan petani sebagai kaum agraris dapat bertanam padi. Bila prediksinya masuk kemarau kering, bijaksana jangan menanam padi setelah musim rendengan (penghujan), karena curah hujannya minim. ”Saat petung-nya masuk siklus kemarau kering, pilih saja bertani dengan menanam palawija, yang relatif tidak banyak memerlukan air sebagaimana pada tanaman padi,” jelas Pranoto.

Karena mengacu pada hari, maka petung untuk memprediksi banyak sedikitnya curah hujan yang akan menandai musim kemarau kering atau basah, jumlahnya ada tujuh. Manakala Tanggal 1 Sura jatuh pada Hari Minggu misalnya, dalam petung disebutkan sebagai Dite (Minggu) Kenaba (kelabang/lipan). Memberikan petunjuk dalam setahun curah hujannya kurang atau akan terjadi musim kemarau kering, tanpa ada hujan kiriman.

Bila Tanggal 1 Sura jatuh Hari Senin, disebut sebagai Soma (Senin) Werjita (Cacing), artinya akan terjadi banyak hujan atau akan terjadi musim kemarau basah. Selanjutnya, bila jatuh pada Hari Selasa, disebut sebagai Anggara (Selasa) Rekatha (Kepiting), artinya curah hujannya banyak atau masuk dalam siklus kemarau basah. Manakala jatuh pada Hari Rabu, disebut sebagai Budha (Rabu) Mahesaba (Sapi), memberikan prediksi curah hujannya sedikit atau masuk dalam siklus musim kemarau kering.

Selanjutnya bila jatuh pada Hari Kamis, disebut sebagai Respati (Kamis) Mintuna (Mimi), curah hujannya sedang. Kalau jatuh pada Hari Juat, disebut sebagai Sukra (Jumat) Mangkara (Udang), pertana curah hujannya banyak atau musim kemaraunya basah. Berikut bila jatuh pada Hari Sabtu, dinamai sebagai Dite (Sabtu) Menda (Kambing), artinya curah hujannya kurang dan akan terjadi musim kemarau kering.

Kata Pranoto, kaum tani yang hidup di pedesaan dan masih memegang petung kejawen tentang pranata mangsa, biasanya masih memedomani tentang Sapta Petung atau tujuh prediksi di atas, untuk meramal tentang musim akan datang kemarau basah atau musim kemarau kering. Dengan demikian, mereka dapat memprediksikan tentang sedikit dan banyaknya curah hujan yang akan datang pada setiap tahunnya, dengan mendasarkan Sapta Petung yang mengacu Tanggal 1 Sura jatuh pada hari apa.

suarabaru.id/Bambang Pur