blank
Cuaca ekstrem di puncak musim kemarau ini, ditandai meningkatnya temperatur suhu udara yang panas. Ini menjadikan semuanya terasa mengering, dan berpotensi rawan terjadinya Karhutla.

SURAKARTA – Langit tanpa awan, telah memicu terjadinya cuaca ekstrem. Beredar khabar berantai di medsos, dalam tiga hari ke depan cuaca ekstrem melanda berbagai wilayah di Tanah Air. Berdasarkan mitigasi klimatologi NASA, temperatur panas di Jakarta, Depok dan Bekasi akan mencapai 38 derajat Celsius (C). Serang Banten, Tangerang dan Malang Jatim mencapai 44 derajat C. Solo, Bali, Riau dan Pekanbaru mencapai 45 derajat C, serta Papua Nugini mendekati 50 derajat C.

Berkaitan itu, masyarakat diseru untuk menjaga kesehatan, mengatur pola makan dan banyak minum air, serta berusaha menghindarkan dari sengatan langsung terik matahari. Sebab, panas cuaca yang ekstreme dapat memicu dehidrasi, serta memunculkan penyakit malaria, tifus, campak, dan pelemahan sel jaringan otak.

Tapi akurasi data tentang temperatur ekstrem tersebut, berada jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Metereologi Klimatologi Geofisika (BMKG), yang menyebutkan maksimal hanya 38,8 derajat C. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Kabupaten Wonogiri, Bambang Haryanto, menyatakan, informasi dari BMKG menyebutkan, kemunculan cuaca ekstrem yang terjadi belakangan ini, disebabkan karena langit tanpa awan. Kondisi ini, menyebabkan radiasi matahari yang diterima oleh permukaan bumi relatif menjadi lebih banyak, sehingga meningkatkan suhu udara pada siang hari.

Selain itu, pantauan atmosfer di wilayah Indonesia bagian selatan relatif kering, sehingga sangat menghambat pertumbuhan awan yang bisa berfungsi menghalangi panas terik matahari. Minimnya awan yang melindungi bumi dari sinar matahari, karena berhembus angin kencang dari arah timur dan tenggara. Persebaran suhu panas, dominan berada di selatan khatulistiwa, hal ini erat kaitannya dengan gerak semu matahari. Sejak Bulan September, matahari berada di sekitar wilayah khatulistiwa, dan akan terus bergerak ke belahan bumi selatan hingga bulan Desember. Sehingga pada bulan Oktober ini, posisi semu matahari akan berada di sekitar wilayah Indonesia bagian selatan.


Bambang Haryanto, menyampaikan informasi BMKG bahwa dari tiga stasiun pengamatan cuaca di Sulawesi, yang mencatat suhu maksimum tertinggi yaitu di Stasiun Meteorologi Hasanuddin (Makassar) 38.8 C, diikuti Stasiun Klimatologi Maros 38.3 C, dan Stasiun Meteorologi Sangia Ni Bandera 37.8 C. Suhu tersebut merupakan catatan suhu tertinggi dalam satu tahun terakhir, dimana pada periode Oktober di Tahun 2018 tercatat suhu maksimum mencapai 37 C. Stasiun-stasiun meteorologi yang berada di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara, mencatat suhu udara maksimum terukur berkisar antara 35-36.5 derajat C.

suarabaru.id/Bambang Pur