blank
TERLIHAT: Jalur lama Kereta Api di wilayah Kabupaten Rembang yang masih terlihat, namun sudah dimanfaatkan warga untuk jembatan penyeberangan.(Djamal AG)

REMBANG – “Para kepala daerah yang terlintasi jalur KA lama mendesak agar reaktivasi kereta api segera dilaksanakan,” kata Kepala Dinas Perhubungan Rembang, Jawa Tengah, H Daenuri kepada suarabaru.id, Kamis (10/10).

Penghidupan kembali jalur kereta api (KA) Semarang-Rembang, kata Daenuri, dirasakan cukup penting untuk memenuhi kebutuhan transpotasi antardaerah, karena bisa mengurangi beban jalur pantura yang semakin padat.

Untuk pembangunannya, tahap pertama reaktivasi jalur rel akan dilaksanakan dari Semarang – Pati, kemudian dilanjutkan di tahap kedua dari Pati-Rembang.

Saat ini, katanya, proyek tersebut sudah memasuki tahap pembahasan Detail Engineering Desain (DED) dari Kementerian Perhubungan. Dan nanti akan dilanjutkan dengan proses-proses berikutnya hingga pembangunan selesai 100 persen.

Daenuri memastikan, proyek akan dimulai pada tahun 2023. Bahkan kini sudah muncul angka anggarannya, kurang lebih Rp 8 triliun. “Doakan saja, mudah-mudahan semua bisa berjalan lancar,” pintanya.

Ditanya tentang kesulitan yang bakal dihadapi akibat telah hilangnya sebagian jalur lama karena situasi pembangunan, Daenuri mengatakan hal itu tidaklah bermasalah besar, karena proyek itu sebagian besar membangun jalur baru.

”Keterangan dari PT KAI saat rapat gabungan , proyek itu sebagian besar membuka jalur baru. Sedang yang memanfaatkan jalur lama cuma 20 persen saja,” terangnya.

Dari pantauan wartawan harian ini, sebagian besar rel bekas jalur kereta api (KA) di Kabupaten Rembangt kini  sudah dimanfaatkan warga untuk tempat hunian atau didirikan bangunan untuk usaha. Hal itu terjadi, karena selama puluhan tahun pemerintah terkesan membiarkan, sehingga hampir di sepanjang rel itu sudah banyak bangunan permanen.

Pemukiman yang memanfaatkan tanah bekas jalur KA itu paling banyak di Kota Rembang, Lasem, Kaliori, Pamotan, dan Sale. Jika dihitung, diperkirakan ada ratusan, bahkan ribuan rumah atau bangunan yang berdiri di atas tanah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) tersebut.

“Warga mulai berani memanfaatkan rel yang sudah tidak difungsikan itu sejak zaman Orde Baru, setelah alat transpotasi KA di Rembang dihentikan. Ya kira-kira sejak tahun 1980-an, dan sekarang rel bekas jalur KA itu seperti menghilang,” kata Harianto, warga di pinggir rel tersebut.

Tak cuma itu, bangunan rumah yang dulunya untuk karyawan  Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) yang sekarang ganti nama PT KAI itu juga jadi lahan bisnis, karena banyak yang dikontrakkan. Mereka yang menguasai rumah tersebut merupakan keturunan dari pensiunan pegawai KAI yang dulunya mendapat hak pakai. Namun entah karena apa aset milik negara itu menjadi dikuasai oleh pihak tertentu.

“Dulu, orang tua saya karyawan PJKA di Rembang, dan dapat jatah perumahan ini. Dan sampai sekarang rumah ini masih saya tempati bersama istri dan anak,” kata warga yang minta tidak ditulis identitasnya saat diwawancarai Suara Merdeka, Selasa (8/10).

Lelaki dua anak ini mengakui sudah 25 tahun lebih menempati rumah milik PT KAI tersebut. Kendati begitu, meski sudah cukup lama menempati rumah yang bukan miliknya tersebut, dia, istri, dan anaknya belum pernah diusir oleh pihak mana pun yang bertanggungjawab mengelola aset milik pemerintah tersebut.

Begitu halnya dengan warga lainnya yang menempati rumah milik KAI itu, mereka juga mengaku aman-aman saja tinggal di rumah tersebut, meski bukan dari keturunan pensiunan karyawan PT KAI. “Selama ini kami hanya menempati dengan cara sewa kepada orang dari keluarga PT KAI,” ujarnya.

Memang, banyak pihak yang membenarkan bahwa mayoritas penguasa rumah milik negara itu merupakan keturunan dari pensiunan pegawai yang dulunya bernama PJKA. “Mayoritas rumah itu sudah dikontrakkan, meski masih dikuasai oleh mereka yang mengaku punya hak untuk mengelolanya,” kata warga.(suarabari.id/jml)