blank
LOMBA: Batik Grobogan mulai kerap dipergunakan dalam lomba fashion show. Foto : Hana Eswe/dok

GROBOGAN– Tanggal 2 Oktober secara resmi ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional (HBN). Di berbagai instansi, para pegawai mengenakan seragam batik maupun kain batik yang sudah dipoles dengan berbagai model.

Batik merupakan salah satu hasil budaya bangsa Indonesia. Hampir di semua wilayah mempunyai kerajinan batik dengan motif dan corak yang khas, sesuai dengan daerah masing-masing. Tak terkecuali di Kabupaten Grobogan.

Batik Grobogan mulai gencar dikenal masyarakat sekitar 2017. Namun sebelum 2017, batik jenis ini sudah ada. Hal itu dimulai dari adanya berbagai pelatihan yang digagas dari beberapa instansi, seperti Disperindag, Dinkop UMKM, dan instansi lainnya.

BACA JUGA : Semarak Hari Batik Nasional di Bank BNI Cepu

Seorang perajin batik Grobogan, Endang Pudjiastuti, yang merupakan owner batik Tapak Bimo menceritakan, dirinya beserta para perajin lainnya, mengikuti pelatihan pembuatan batik. Bahkan hingga melakukan studi banding ke sentra pembuatan batik di Solo. Usai mengikuti banyaknya latihan, para perajin ini kemudian mulai menciptakan kreasinya sendiri untuk pembuatan batik Grobogan ini.

Motif pada batik Grobogan lebih kepada hasil bumi, dan sesuatu yang khas dari wilayah ini. Pewarnaan pada kain batik Grobogan, juga lebih meriah dibandingkan dengan batik-batik daerah lainnya.

“Batik Grobogan punya motif yang khas, yakni coraknya lebih kepada gambar-gambar hasil pertanian di wilayah ini. Selain itu, pewarnaannya juga lebih ke warna-warna yang terang. Dan untuk proses pembatikannya ada sela yang lebih banyak, sehingga kain batik tidak terlalu penuh dengan corak, seperti kain batik dari daerah lain,” jelas Endang, Rabu (2/10).

blank
DUTA WISATA: Endang Pudjiastuti, perajin Batik Grobogan Tapak Bimo, saat kedatangan finalis Duta Wisata yang mengunjungi kediamannya, guna melihat proses detail pembuatan batik Grobogan. Foto : Hana Eswe/dok pribadi

Menurut dia, persamaan dari batik Grobogan dengan batik-batik lainnya yakni, sama-sama dibentuk ke dalam batik tulis dan batik cap. Hanya saja, untuk batik cap tetap menggunakan malam, dengan kain yang lebih tebal dan membutuhkan proses yang lama. “Jadi tidak hanya mengecap saja,” ujar Endang.

Harga batik Grobogan ditawarkan mulai dari kisaran Rp 90-300 ribu per dua meter. Harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan batik dari Pekalongan maupun Solo. Namun harga ini sepadan dengan hasilnya.

“Karena pewarnaannya dengan proses yang berkali-kali itu, membuat batik Grobogan jarang luntur saat dicuci,” tambah Endang.

Terus Dilestarikan
Bagi masyarakat Desa Plosorejo, Kecamatan Tawangharjo, pasti mengenal betul sosok Endang Pudjiastuti ini. Adik kandung mantan bupati Grobogan, Bambang Pudjiono ini, mengisi hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang kreatif di bidang seni.

Di rumahnya, banyak kain batik tulis hasil produksinya. Endang mengajari banyak perempuan di desanya untuk mandiri dengan membatik.

blank
LESTARIKAN BATIK: Ulfa Novita Sari (kiri) bersama rekan-rekannya semasa bekerja di Dinsoskertrans Grobogan. Kini, Ulfa berfokus melanjutkan pelestarian batik Grobogan yang diajarkan ibunya. Foto: Hana Eswe

“Kalau ada pesanan banyak, saya kerahkan para pekerja yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga di Plosorejo sini. Karena mereka nggak bisa full bekerja di sini, mereka kerjakan di rumah. Yang penting, mereka mengerjakannya sesuai dengan dasar-dasar yang pernah saya arahkan kepada mereka,” tuturnya.

Bakat melestarikan kesenian juga diturunkan kepada anaknya, Ulfa Novita Sari. Ulfa, sapaan akrabnya, kini dikenal sebagai seorang make up artist di Kabupaten Grobogan. Selain itu, dirinya juga terlihat aktif saat mempromosikan batik Grobogan yang diproduksi ibunya melalui Tapak Bimo.

Insya Allah, saya punya beberapa target dalam misi penyelamatan warisan budaya anak bangsa ini. Salah satunya memperkenalkan batik, berikut proses membatik, khususnya anak-anak yang ada di desaku ini,” tutur Ulfa.

Keinginan luhur alumnus SMAN 1 Purwodadi ini didasarkan atas keprihatinannya dengan anak-anak desa yang tinggal di lingkungannya. Menurut dia, pengaruh smartphone membuat anak-anak justru berdampak negatif, sebab rasa kepedulian kepada lingkungan sekitar menjadi berkurang, bahkan tidak ada.

“Jadi, intinya saya prihatin dengan mereka yang lebih suka pegang ponsel pintar. Saya terketuk supaya bisa mengajak mereka memainkan permainan tradisional, menembang macapat, bahkan belajar batik di pendapa rumah setiap hari Jumat,” imbuh dia.

suarabaru.id/Hana Eswe