blank
Suasana sidang lanjutan kasus dugaan penggelapan dana Universitas Muria Kudus. foto: Suarabaru.id

KUDUS – Lilik Riyanto, eks Bendahara Yayasan Pembina Universitas Muria Kudus dan Staf Yayasan Zamhuri , Rabu (18/9) kembali menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kudus atas kasus dugaan penggelapan uang yayasan senilai Rp 13,5 miliar. Dalam sidang tersebut, sejumlah saksi didatangkan untuk dimintai keterangan di hadapan majelis hakim.

Saksi pertama yang didatangkan adalah Harun, staf yayasan yang merupakan bawahan langsung dari terdakwa Zamhuri. Dalam keterangannya di hadapan majelis, Harun yang kini bukan karyawan UMK lagi menceritakan bagaimana keluarnya uang dari rekening Yayasan Pembina UMK untuk digunakan Lilik membeli 9 bidang tanah yang menjadi pokok perkara, kepada pemilik tanah Muhammad Ali.

“Untuk prosesnya saya tidak tahu, yang saya tahu saya disuruh mengarsipkan data rekening koran yang dikirimkan bank. Dan memang ada transaksi pencairan melalui cek yang totalnya mencapai Rp 13,5 miliar ,”kata Harun.

Dalam kesempatan tersebut, Harun juga menceritakan sejak proses pencairan uang untuk 9 bidang tanah tersebut dilakukan, pihaknya juga tidak pernah menerima atau mengarsipkan bukti sertifikat kepemilikan tanah. Harun akhirnya memperoleh salinan sertifikat tersebut ketika kasus ini mulai mencuat di tahun 2016 silam.

“Itu pun dari notaris, dan sertifikat tersebut masih belum dibalik nama,”katanya.

Sementara, saksi kedua yang dihadirkan adalah Muhammad Ali. Saksi yang berperan sebagai pemilik tanah tersebut menyampaikan bahwa transaksi pembelian 9 bidang tanah yang dilakukannya tersebut hanya kepada Lilik sebagai pribadi, bukan atas nama YP UMK.

“Saya awalnya juga tidak kenal Lilik, dan tidak tahu kalau dia bekerja di UMK. Transaksi jual beli tersebut juga saya lakukan dengan Lilik selaku pribadi,”tandasnya.

Namun demikian, Ali tidak membantah kalau uang yang dibayarkan Lilik untuk pembayaran tanah tersebut berasal dari cek yang dicairkan dari rekening YP UMK. Dalam pembayaran yang dilakukan secara bertahap tersebut, total Ali hanya menerima Rp 10,2 M dari total harga tanah sebanyak Rp 13,5 miliar.

Selanjutnya, Ali juga menjelaskan kalau kesepakatan pembelian tersebut akhirnya dicabut di hadapan notaris karena Lilik tak kunjung melunasi pembayaran. Ali juga sudah mengembalikan uang sebesar Rp 10,2 miliar tersebut ke rekening YP UMK, yang kini diblokir dan dijadikan barang bukti.

Dalam kesempatan tersebut Ali juga mengatakan, kalau Lilik juga sering terlibat pinjam meminjam uang dengannya yang katanya untuk kepentingan operasional UMK. Bahkan, Ali juga memperlihatkan rekap pinjaman Lilik ke hadapan majelis hakim yang totalnya pernah mencapai Rp 19 miliar.

Berbelit belit

Proses pemeriksaan saksi dalam persidangan tersebut sempat agak berbelit-belit ketika Muhammad Ali dicecar pertanyaan majelis hakim soal perjalanan kesepakatan pembelian tanah tersebut, hingga lalu lintas transfer pembayaran.

Tak hanya itu, debat kusir juga sempat terjadi saat Jaksa Penuntut Umum diberi kesempatan untuk menanyai saksi Muhammad Ali.

Jawaban berbelit juga  terjadi saat Lilik Riyanto dikonfrontir dengan keterangan saksi. Bahkan, ketua majelis hakim sempat memperingatkan dengan nada keras kepada terdakwa Lilik agar menjawab sesuai fakta.

“Saudara terdakwa kalau ditanya dijawab dengan jelas. Sebab, jika tidak justru akan semakin memperlihatkan kesalahan saudara,”kata hakim.

Hakim juga sempat menyoroti langkah Lilik yang dinilai teledor dengan mempergunakan uang yayasan tanpa izin dari pengurus yayasan. Menurutnya, hal tersebut dinilai sangat tidak patut dilakukan terutama di lembaga sebesar UMK.

Sementara, Lilik sendiri juga membenarkan pengakuan kalau dirinya sering pinjam uang ke Muhammad Ali untuk kepentingan uang operasional pembayaran gaji UMK. Langkah tersebut dilakukan sebagai tanggung jawab dirinya agar gaji pegawai UMK tetap terbayar, meski hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan pengurus.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Pengadilan Negeri Kudus akhirnya menggelar sidang kasus dugaan penggelapan uang Yayasan Pembina UMK. Kasus tersebut melibatkan dua terdakwa mantan pejabat UMK yakni Lilik Riyanto dan Zamhuri.

Dalam kasus tersebut, Lilik dan Zamhuri didakwa oleh JPU menggunakan uang YP UMK yang totalnya mencapai Rp 13,5 miliar. Untuk mencairkan uang tersebut, sesuai surat dakwaan, terdakwa Lilik menyuruh Zamhuri meminta tanda tangan cek kosong kepada Ketua YP UMK, Djuffan Ahmad beberapa kali, tanpa melalui rapat pengurus yayasan, di tahun 2014 silam.

Uang tersebut digunakan membeli tanah sebanyak 9 bidang dengan menggunakan nama pribadi. Uang pembelian tanah tersebut diberikan kepada Muhammad Ali selaku penjual dengan total sebesar Rp 10,2 miliar.

Namun, pada perkembangannya, ternyata pihak YP UMK belum juga bisa menguasai secara fisik tanah tersebut maupun sertifikatnya. Hingga akhirnya, pembelian tanah tersebut justru dibatalkan dan pihak penjual Muhammad Ali mengembalikan uang sebesar Rp 10,2 miliar tersebut.

Dalam dakwaan JPU, disebutkan YP UMK mengalami kerugian hingga Rp 2,8 miliar. Kedua terdakwa didakwa melakukan tindak pidana melanggar Pasal 378 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam kasus tersebut, kedua terdakwa juga sudah ditahan oleh JPU sejak 5 Agustus 2019 silam. Penahanan tersebut kemudian diperpanjang saat persidangan berjalan.

Suarabaru.id/Tm