blank
Prof Dr Suminto A Sayuti menyampaikan oidato kebudayaan tentang Sastra yang Menyehatkan dan Menyejahterakan. Fotto: Tony RS

SEMARANG – Prof Dr Suminto A Sayuti MHum menyatakan, sastra itu menyehatkan dan menyejahterakan. “Antara sehat dan sejahtera, itu sesuatu yang saling berkelindan,” kata guru besar Universitas Negeri Yogyakarta ini dalam acara Silaturahmi Penyair Negeri 2019 di Wisma Perdamaian, kawasan Tugu Muda Semarang, Sabtu (7/9).

Menurut Prof Suminto, kehadirannya dalam acara tersebut karena ada permintaan penyair Dad Murniah yang memintanya berbicara tentang sastra yang menyehatkan. “Tetapi penyair Gunoto Saparie menambahkan, sastra juga harus menyejahterakan. Jadi saya kemudian berbicara tentang keduanya,” kata Prof Minto.

Dia menyadari, bahwa yang namanya penyair itu suka ngeyel. Sekelompok penyair perempuan membuat buku berjudul Perempuan Langit, padahal perempuan itu bumi dan laki-laki itu langit. Sehingga ada ibu pertiwi/ibu bumi dan bapa akasa atau ibu bumi ayah langit.

“Tetapi penyair itu ngeyel mempertahankan judul tersebut. Walaupun saya belum membaca isinya, kira-kira buku tersebut bicara tentang masalah gender dan persamaan hak,” kata Prof Minto.

Kanalisasi Pikiran dan Emosi

Sastra itu menyehatkan, dikaitkan dengan puisi atau repertoar yang merupakan bentuk kanalisasi pikiran dan emosi. “Setelah penyair menyelesaikan karyanya, maka dia akan mengalami katarsis, dan begitu karya itu rampung maka plong, kemudian merasa sehat,” ujar guru besar asal Purbalingga ini.

blank
Dad Murniah, Direktur Yayasan Cinta Sastra duduk bersama para peserta pertemuan penyair di Wisma Perdamaian Semarang. Foto: Tony RS

Dia pun bercerita tentang pengalamannya tahun 70-an bersama para penyair dan sastrawan pada masa itu. Dalam komunitas para penyair Yogya yang disebut sebagai “Universitas Malioboro”, Suminto menyampaikan adanya ungkapan “orgasme spiritual”. “Jadi setelah menulis, melahirkan karya, mereka merasa orgasme,” katanya.

Artinya, setelah karya dihasilkan, segala beban di batin dan jiwanya terlepas, sehingga kemudian menjadi sehat. Itu tidak hanya dialami para penulis, tetapi juga pembacanya. Begitu selesai membaca sebuah karya, kemudian mendapatkan sesuatu, lalu merasa sehat.

Prof Minto mengaitkan ini dengan memberikan contoh, seseorang ketika membaca novel atau puisi bisa sampai merasa ketagihan ataumenangis. “Situasi ketagihan ini, bila dipenuhi akan menjadi sebuah terapeutik. Sesuatu yang menyembuhkan,” katanya.

Ketagihan itu bisa diberikan contoh, ketika dulu Rendra pentas, para penonton tidak mau Rendra turun panggung. Mereka akan terus minta Rendra berada di panggung, kecuali kalau dijemput pihak keamanan. “Ini menunjukkan bahwa penikmat sastra itu merasa terobati dengan penampilan Rendra,” katanya.

Bagaimana kaitannya dengan sastra membuat sejahtera? Prof Minto menyebut, kesejahteraan itu jangan semata dihubungkan dengan kehidupan yang berkecukupan atau sekadar take home pay. “Sastra bisa menyehatkan dan menyejahterakan bila individu-individu bertemu, dan di situlah tercipakesehatan dan kesejahteraan kolektif,” katanya.

Imajinasi Kok Ditakuti

Sastra itu merupakan imajinasi, tetapi kenapa kita percaya pada sastra, sehingga harus iktu bersedih atau bahkan menangis ketika kita menikmatinya? Kemudian, setidaknya pada masa lalu, sastra atau sastrawan ditakuti. Buku-bukunya dilarang beredar, orangnya dilarang tampil. “Sastra itu imajinasi, mengapa ditakuti?” katanya.

Maka kemudian Prof Minto menambahkan, imajinasi yang baik harus bersandar pada realitas. “Maka saya sangat marah bila ada yang mengatakan, sastrawan itu kerjaannya Cuma mengkhayal dan melamun. Mereka bekerja seperti para peneliti. Hanya bedanya, peneliti menggedor ilmu dari pintu depan sedangkan sastrawan menggedor kemanusiaan dari pintu belakang. Maka ilmu pengetahuan dan humanisme harus bergandengan tangan,” ujarnya.

Kalau peneliti melakukan penelitian dengan cara deduktif, sastrawan sebaliknya melakukannya secara induktif. “Kalau ada yang mengusik bidang yang digeluti penyair atau sastrawan, dinengna wae (diamkan saja) atau kalau perlu dimaafkan. Karena mereka tidak memahami kerja penyair atau sastrawan,” kata Suminto.

Ketika seseorang memahami puisi, itulah yang disebut sejahtera. Sama halnya dengan seorang petani yang bekerja keras mencangkul, kemudian pulang ke rumahnya yang sederhana, tetapi merasa amat bahagia. Sore hari minum kopi sambil ura-ura. “Sejahtera tidak bisa diukur hanya dengan sekadar takehome pay,” katanya.

Tak Teratur Tak Panjang Umur

Sementara pembicara lain, Handrawan Nadesul, seorang dokter yang juga penyair mengingatkan, orang tidak sehat karena hidup tidak teratur yang membuat orang tidak panjang umur. Selain itu, kurang bergerak juga menjadikan hidup tidak sehat, dan yang terakhir posisi tubuh misalnya saat tidur, duduk, dan sebagainya.

blank
Dokter Handrawan Nadesul mendengarkan testimoni sastrawan Yudiono KS tentang bagaimana menjaga kesehatan sebagai seorang sastrawan. Foto: Tony RS.

“Penyair banyak yang sakit pinggang karena duduknya tidak di kursi yang ergonomis. Mengetik sambil tiduran, menjadikan ada syaraf yang tertarik. Dan bila itu berkelanjutkan maka terjadilah gangguan pinggang, pengapuran leher yang berefek pada pegal-pegal di lengan, dan sebagainya,” kata dokter Handrawan.

Hidup yang tidak teratur, jam makan yang tidak ajeg, pola makan yang sembarangan menjadi penyebab aneka enyakit seperti kanker, jantung koroner, ginjal, dan sebagainya. Demikian pula ketika kita kurang bergerak. “Kenapa Inem (pembantu rumah tangga) lebihs ehat dibanding majikannya? Karena si Inem lebih banyak bergerak. Maka saya sarankan, ibu-ibu harus menyapu, membersihkan rumah, menyirami tanaman sendiri agar tetap sehat,” tambahnya.

SUARABARU.ID/Tony RS