blank

Remaja ber-Pancasila, Jauhi Miras

Oleh:

Dinda Prasetya Anggraini & Ira Alia Maerani

 

Masa remaja ditandai dengan berbagai perkembangan. Dimana terlihat adanya perkembangan fisik maupun psikis. Perubahan fisik ditunjukan pada perubahan postur tubuh dan berfungsinya alat-alat reproduksi. Sedangkan perubahan psikis berkaitan dengan perubahan emosi  dan  perilaku.  Maka tak jarang apabila masa remaja dikatakan sebagai masa transisi. Di masa remaja inilah akan mulai terlihat ketertarikan seseorang terhadap sesuatu yang ingin ditekuni. Mulai mencoba hal-hal baru.

Namun jika tidak diantisipasi dengan benar, dikhawatirkan hal ini akan berdampak negatif. Jika keliru dalam pergaulan, tidak tepat memilih teman, larut dalam gaya hidup penuh hura-hura, kehilangan sosok teladan dan gamang dalam menapaki hidup, terkadang membuat remaja terbawa arus pergaulan yang tidak sehat. Apalagi mulai mencoba minum minuman keras (miras).

Dampak negatif minuman keras ini jika dikonsumsi menyebabkan gangguan kesehatan, ketergantungan dan gangguan sosial di masyarakat, yang dapat berperilaku anti sosial seperti mudah marah, apatis, dan suka berkelahi. Ini merupakan tingkah laku yang tidak sesuai, melanggar nilai-nilai Pancasila, adat istiadat dan norma-norma yang ada di masyarakat.

Kenakalan Remaja

Tindak pidana (kriminal/kejahatan) yang terjadi di masyarakat sejatinya tidak dapat dibiarkan begitu saja. Sanksi pidana diperlukan guna mengembalikan proses keseimbangan di masyarakat yang direnggut oleh pelaku kejahatan.

Tidak terkecuali apabila kejahatan (tindak pidana) itu dilakukan oleh remaja. Juga diatur sanksi (pidana) terhadap pelaku. Baik itu sanksi hukum, sanksi sosial maupun bentuk sanksi lainnya yang berfungsi untuk mengembalikan proses keseimbangan di masyarakat, memberikan efek jera bagi pelaku dan merehabilitasi pelaku ke masyarakat.

Apabila tindak pidana (kejahatan) tersebut dilakukan oleh orang dewasa, seperti membunuh, mencuri, makar, menganiaya, memperkosa dan lain-lain,  maka pelaku dapat dituntut di “meja hijau” dan jika pelaku teryata bersalah maka akan dijatuhi sanksi (pidana) sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tetapi apabila tindakan melawan hukum itu dilakukan oleh anak-anak dan remaja yang usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun, maka kepada anak tersebut tidak dikenakan hukum seperti orang dewasa. Terhadap anak pelaku tindak pidana (kejahatan) diterapkan sesuai UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan bagi anak secara hukum diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 jo UU No. 35 Tahun 2014 jo UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Aturan tentang Miras

Apabila ditilik dari sejarah hukum aturan tentang minuman keras,  maka aturan yang pertama  mengatur tentang minuman beralkohol ini, yaitu  UU No. 29 Tahun 1947 tentang Cukai Minuman Keras. Dengan diaturnya peredaran minuman keras ini  maka terdapat kepastian hukum bagi peredaran minuman beralkohol ini.

Selain itu, penegakan hukum tentang miras atau minuman beralkohol juga diatur pada beberapa produk perundang-undangan, seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,  Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Pada tahun 2017, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PWNU) merilis hasil penelitian mengenai perilaku remaja di Jabodetabek dalam mengonsumsi minuman beralkohol. Survei dilakukan pada Februari hingga Maret 2017 dengan melibatkan 327 responden remaja berusia antara 12 – 21 tahun. Metode survei adalah penarikan sampel acak sederhana. Kepala Departemen Peneliti Lakpesdam PWNU DKI Jakarta Abdul Wahid Hasyim, mengatakan ada temuan yang cukup menarik dari survei tersebut, yakni kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Dalam Permendag Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tersebut, Pemerintah melarang penjualan minuman beralkohol (minol) golongan A (kadar alkohol kurang dari lima persen) di mini market dan toko pengecer. Namun, minol golongan A yang semakin susah diakses justru meningkatkan peredaran minol oplosan yang dikonsumsi anak-anak di bawah umur karena mudah memperolehnya di pinggir jalan, warung jamu, warung kelontong, dan perantara. (https://www.cnnindonesia.com)

Bagaimana dengan hak  para pemakai, penjual, produsen miras?  Bagi mereka, semoga memiliki kesadaran bahwa  di dalam hak seseorang, ada hak orang lain yang juga harus dihormati. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, yang berbunyi, ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesusai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.”

Junjung Nilai-nilai Pancasila

Rakyat Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, sudah sapatutnya menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai jati diri bangsa. Menjunjung nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalam Permusyawaratan/Perwakilan; serta dengan mengedepan nilai-nilai  Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Nilai-nilai luhur yang mengambil dari saripati nilai bangsa ini hendaknya tidak hanya dikumandangkan pada saat upacara bendera saja. Akan tetapi diresapi dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai bentuk kesadaran moral dan tingkah laku. Dengan demikian maka, seseorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila tidak akan melanggar norma-norma agama, susila, kesopanan, etika, kemanusiaan, keadilan dan nasionalisme.

Seorang yang menjunjung nilai-nilai Pancasila, sudah pasti akan menjauhi miras. Baik meminumnya (pemakai/pengguna), menjual (pengedar) dan atau membuatnya (produsen). Semua itu bagaikan sistem yang satu pihak dengan pihak lain sangat erat hubungannya.

Misalkan bagi pengguna sadar dan memahami mengkonsumsi minuman keras tidaklah sesuai dengan nilai material untuk dirinya. Penjual juga memahami pula jika menjual barang larangan tersebut tidak sesuai dengan nilai kebenaran. Begitu juga penegak hukum berperan aktif untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial dan masyarakat.

Hakikatnya jika semua pihak terkait  sadar bahaya mengkonsumsi minuman keras, maka peminum, penjual maupun produsen minuman keras tidak akan melakukan perbuatannya. Penegak hukum juga mesti tegas bertindak terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.

Agama Mengharamkan Miras

Pada dasarnya nilai-nilai  Pancasila tidak jauh berbeda dengan perspektif Agama Islam. Islam sebagai agama yang melarang para pemeluknya untuk mengkonsumsi minuman keras. Dapat ditarik benang merah bahwa segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram seperti khamar,  bir, tuak, miras oplosan, atau sejenisnya itu hukumnya haram untuk dikonsumsi.

Syariat Islam memberikan larangan terhadap sesuatu sudah tentu karena mengandung kemudharatan seperti merusak kesehatan, dapat mempengaruhi pikiran sehat seseorang dan menjadi ketergantungan. Maka Allah melarang tegas meminum khamar dalam firman Allah SWT pada QS. An Nisa: 43, QS. Al-Maidah: 90 dan 91 dan QS. Al Baqoroh: 219

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 90).

“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan sholat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS. Al Maidah: 91)

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah,”Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya….” (QS. Al Baqoroh: 219)

Termasuk pula ketika saat ini seiring perkembangan bioteknologi yang semakin maju, banyak ditemukan fermentasi-fermentasi atau minuman olahan bioteknologi yang menghasilkan alkohol. Khamar bukan hanya berasal dari fermentasi gandum saja, tetapi berasal dari segala sesuatu yang apabila dikonsumsi dapat menimbulkan mabuk. Bagaimana hukumnya? Dapat dilihat pada hadits di bawah ini:

Artinya: “Setiap minuman yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barang siapa minum khamar di dunia lalu ia mati dalam keadaan masih tetap meminumnya (kecanduan) dan tidak bertobat, maka ia tidak akan dapat meminumnya di akhirat (di surga).” (HR. Muslim)

Hakikatnya minuman keras ditinjau dari pengamalan nilai-nilai Pancasila, tentunya menyimpang. Hendaknya kita sebagai manusia bercermin diri, agar kita selalu dalam naungan dan petunjuk Tuhan di dunia dan akhirat. Seperti do’a sapujagat yang senantiasa dilafalkan,‘’robbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina adzaba annar’’ (Ya Tuhan kami berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan akhirat, dan lindungilah kami dari azab siksa api neraka. Aamiin. (Suarabaru.id/Dinda Prasetya Anggraini, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Ilmu Komunikasi (FBIK) Unissula & Ira Alia Maerani, dosen Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang).