blank
Hadi Priyanto

Memuliakan Kembali Suara Tuhan Dalam Pilihan Petinggi

Oleh: Hadi Priyanto

JIKA politik uang dalam proses demokrasi terus dibiarkan  dan para  pemangku kepentingan menutup mata terhadap realitas politik transaksional ini, maka bangunan demokrasi bangsa kita senyatanya menjadi rapuh. Sebab adagium vox populi  vox dei, suara rakyat suara Tuhan dalam proses demokrasi   justru kehilangan rohnya. Pasalnya politik uang yang dilakukan  secara  masif     justru   mendidik rakyat tidak lagi  bertanggung jawab terhadap masa depan desanya.

Ironis memang, ketika  reformasi dan undang-undang  memberikan  hak untuk memilih, kebanyakan orang kemudian tidak memilih berdasarkan pertimbangan rasional memilih  pemimpin yang baik. Namun  hanya  atas pertimbangan besaran      uang yang  diterimanya. Pemilih   sepertinya  tidak menyadari bahwa ketika  ia mengggunakan hak  pilihnya  ia sedang  menggunakan  suara Tuhan untuk memilih pemimpin. Akibatnya proses  demokrasi tidak selalu mampu  menghasilkan pemimpin yang berintegritas, kompeten, jujur dan amanah.

Sebaliknya  biaya politik yang tinggi  justru menjadi salah satu penyebab sebagian petinggi  terpilih  “memainkan” keuangan desa. Tujuannya   untuk   mengembalikan biaya  politik yang tidak mungkin bisa diganti  dengan gaji dan pendapatan lain  yang sah. Apalagi biaya sosial setelah ia jadi  juga  tidak kecil,mulai  menghadiri  acara hajatan hingga   takziah.

Jika politik uang ini  terus dibiarkan, maka roh  kedaulatan rakyat yaitu tanggung jawab warga  negara untuk memilih pemimpin  yang berintegritas akan semakin jauh  panggang dari api. Sebab di setiap   gelaran  demokrasi senyatanya justru  merendahkan harkat dan martabat kedaulatan rakyat. Bahkan banyak warga yang kemudian “melacurkan hak politiknya”, menerima semua pemberian calon tanpa rasa bersalah. Walaupun diantara calon dan  pemiillih   ada yang saling mengenal  sejak kecil.

Banyak faktor    yang   melatar belakangi  munculnya biaya politik yang  sangat mahal.  Pertama, rendahnya komitmen para pemangku kepentingan untuk menghilangkan budaya politik uang.  Kedua; regulasi  yang tidak memberikan payung hukum secara  tegas. Ketiga   rendahnya tingkat  kepercayaan masyarakat terhadap  kinerja  pelayanan publik hingga menumbuhkan  apatisme. Keempat kurangnya    pendidikan politik warga negara sehingga  menyebabkan rendahnya tanggung jawab politik warga  negara. Kelima, penegakan hukum yang lemah. Keempat ; pragmatisme politik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan.

Jalan Sederhana

Jika masyarakat dan tokoh masyarakat  serta  para pemangku kepentingan  terkait  memilliki komitmen yang sama   menghilangkan politik uang dalam proses Pilpet, sepertinya  tidak sulit. Apalagi tidak  ada  batas minimal kehadiran pemilih yang menggunakan hal pilihnya. Artinya,  berapapun orang yang sadar datang ke  TPS untuk menggunakan hak  piliihnya tanpa  imbalan uang,  Pilpet tetap sah. Jalan sederhana  ini menurut penulis bisa dijadikan    pertimbangan  untuk  menyelamatkan wajah demokrasi  kita ditingkat yang paling bawah.  Tanpa harus  merubah peraturan yang memang oleh para perumus undang-undang dan peraturan  dibiarkan dengan sengaja  kosong atau lemah.

Pertama;  harus muncul gerakan menolak  politik uang yang diinisiasi oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, mahasiswa,  pimpinan ormas dan tokoh perempuan. Koalisi moral menolak politik uang ini diharapkan bisa dituangkan dalam kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para calon, panitia pemilihan, serta aparat terkait.  Ini mudah,  sebab  para calon telah melengkapi pencalonanan mereka dengan menandatangani pernyataan anti politik uang. Dengan demikian   jika melanggar bisa didiskualifikasi berdasarkan pernyataan yang telah ditandatangani diatas materai 6000. Namun gerakan ini  akan lebih  efektif dan cepat jika diinisiasi  oleh aparat  Pemerintah Kabupaten bersama Polres dan Kejaksaan.

Kedua; Penegakan hukum dengan peraturan yang ada. Walauppun Permendagri dan  Perda yang mengatur tentang Pilpet tidak tegas mencatutkan tentang larangan politik  uang, namun  pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat  menjadi  alat untuk memberantas politik uang dalam Pilpet dengan hukuman paling  lama 9 bulan. Baik pemberi maupun penerima.

Ketiga; gerakan moral para tokoh agama melalui khotbah di tempat-tempat ibadah tentang   politik uang yang senyatanya  dilarang oleh  semua agama tentu akan mampu menjadi landasan moral bagi  warga.

Keempat; sosialisasi gerakan anti  politik  uang secara masif dengan menggunakan media yang ada, mulai dari penyuluhan oleh panitia, pertemuan PKK, pertemuan RT,   pengajian, brosur, spanduk hingga medsos.

Kelima; pendidikan politik warga negara perlu dilakukan secara lebih  intensif, bukan hanya sekedar mendidik pemilih   cara mencoblos yang benar, tetapi juga tanggung jawab warga negara dalam menggunakan hak pilihnya secara benar dan bertanggung jawab.

Keenam; netralitas panitia pemilihan dan aparat. Jika dalam pembentukan  panitia ada intervensi petinggi yang akan maju kembali ,  tentu netralitasnya harus diawasi oleh warga. Sebab saat pembentukan, ia masih menjabat hingga bisa memasukkan “orang-orangnya” dalam kepanitiaan. Demikian juga aparat harus menempatkan diri dalam posisi yang benar-benar netral.

Saatnya kita melakukan gerakan bersama, untuk memuliakan kembali suara Tuhan dalam proses demokrasi di pemilihan petinggi tanggal 17 Oktober 2019.. Semoga  para pemangku kepentingan dan masyarakat  berani  membuat sejarah baru bagi tatanan demokrasi di desa  yang lebih berkeadaban. Sebab pembebasan demokrasi dari politik uang,   sebenarnya salah satu  inti   revolusi mental, dua suku kata yang mudah dan indah diucapkan, namun sulit dilakukan. (*)

  • Penulis adalah pensiunan PNS di  Jepara serta penulis