blank

SEMARANG – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah menggelar sarasehan Tari “Nekawarna Tari Jawa Tengah” Senin (29/7). Acara  digelar di Gedung PKK Kota Semarang, Jalan Dokter Sutomo No 19A  merupakan pra acara Festival Tari Jawa Tengah yang akan digelar akhir Agustus mendatang.

Kegiatan yang dilakukan bekerja sama dengan Yayasan Anantaka Cultural Trust ini menghadirkan tiga narasumber yaitu  Kabid pembinaan kebudayaan Disdikbud Jateng Agung Kristianto, S.Sos, dosen sendratari Unnes Bintang Hanggoro Putra, dan koreografer Wahyu Santosa Prabowo.  Sekitar 100 orang  mengikuti sarasehan,  terdiri dari perwakilan Disdikbud kabupaten kota, sanggar dan kelompok tari dari berbagai daerah di Jateng, pelajar, mahasiswa, seniman, dan pemerhati tari.

Ketua Panitia Sarasehan Tari Adji Nugroho mengatakan, acara ini bertujuan meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai keragaman jenis dan bentuk tari di Jawa Tengah. Pengetahuan ini penting sebagai bekal menggali potensi serta peluang pengembangan kreasi tari terkini. Selain itu juga mempertajam pemahaman tentang elemen yang menopang perkembangan jagad tari di Jawa Tengah. “Tak kalah penting adalah sebagai ajang sosialisasi Festival Tari Jawa Tengah 2019 yang akan kami gelar akhir Agustus,” katanya.

Lima Ragam

Direktur Anantaka , Anton Sudibyo memaparkan Jateng kaya akan keragaman dan bentuk-bentuk tari. Jika merunut Peta Variasi Regional dari Kebudayaan Jawa yang ditulis Koentjaraningrat, terdapat lima ragam variasi tari yaitu ragam pesisir kilen, pesisir wetan, banyumasan, bagelen, dan negarigung.

Pendapat ini dipertajam oleh Bintang Hanggoro Putra, yang menurutnya ada empat variasi gaya tari Jawa Tengah yakni Surakarta, Banyumas, Tegal, dan Semarang.

“Variasi-variasi tersebut tentu tidak kaku batas-batasnya, sebab sangat dimungkinkan terjadi saling keterpengaruhan, adaptasi, sehingga menghasilkan sub-variasi yang menambah keragaman,” katanya.

Terlebih pada perkembangan saat ini arus informasi, mobilitas masyarakat yang tinggi, dan modernisasi semakin mengaburkan batas-batas tersebut. “Banyak ditemui tari yang semula berakar pada lingkungan tertentu muncul di lingkungan  lain. Bisa jadi dipakai untuk fungsi yang sama, tetapi banyak juga ditemui  tari-tari tersebut direproduksi oleh generasi berikutnya bahkan meninggalkan fungsi asalnya,” tandas Anton. (suarabaru.id/Humaini As)