blank
Dr. Nuridin, S.Ag., M.Pd Dosen FAI Unissula Semarang

Bahaya Cyberbully dan  Kekerasan Dalam Penidikan 
Oleh
Dr. Nuridin, M.Pd
Dr. Didik Murwantono, M.Hum
Abdulloh Mubarok, M.Kom

AKHIR-akhir ini orang tua semakin gelisah dengan penggunaan gadget yang berlebihan yang dilakukan oleh anak-anak. Kegelisahan orang tua akibat penggunaan gadget ini bukan tanpa alasan. Mereka pada umumnya merasa khawatir karena anak-anak menjadi cenderung malas bergerak, konsentrasi belajar yang menurun, bahkan tidak jarang menjadi subyek dan objek kekerasan baik di dunia nyata maupun maya (cyberbully).

Kegelisahan serupa juga dirasakan para pendidik. Para siswa yang sudah sangat familiar dengan gadget cenderung berlaku instan dalam perilaku hidupnya. Tentu saja hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki tantangan yang semakin tidak ringan. Menegakkan aturan dengan melarang membawa HP tentu bukan solusi yang diterima oleh orang tua siswa terlebih siswanya sendiri. Kemudahan berkomunikasi tentu menjadi alasan yang utama.

Alasan ini tentu saja tidak bisa dinafikan karena faktanya memang sangat dibutuhkan dalam menjalin komunikasi antarpihak. Namun sayangnya control penggunaan gadget ternyata tidaklah mudah. Sebagai alat yang “netral”, gadget bisa digunakan untuk apapun jika penggunanya tidak memiliki cara pandang positif yang didasarkan atas nilai-nilai ajaran agama (Islam) untuk menggunakannya sesuai peruntukan yang baik dan benar.

Menggunakan gadget untuk melakukan tindak kekerasan minimal digunakan untuk bullying memiliki dampak yang tidak baik bagi psikis anak. Ujaran dan diksi yang digunakan dalam melakukan bullying jelas tidak sesuai dengan akhlak dan hakikat pendidikan.
Pertanyannya kemudian, apakah yang bisa diperbuat oleh para orang tua, pendidik, dan upaya sekolah sebagai institusi pendidikan dalam mengantisipasi tindak kekerasan utamanya cyberbully? Inilah pertanyaan mendasar yang perlu dijawab dan dicarikan solusi agar tindak kekerasan dan cyberbully dapat diminimalisasi dan di antisipasi dengan baik.

Kekerasan dan Cyberbully

Dalam catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2018 kasus cyberbully meningkat secara signifikan. Dalam konferensi pers di kantor KPAI, Jakarta, Kamis (27/12), Retno menyoroti kasus cyberbully di kalangan siswa yang meningkat signifikan. Hal ini, kata Retno karena perkembangan teknologi dan pengaruh media sosial cukup masif di kalangan pelajar. ” (Tanggal) 21 Desember total 206 kasus, ini peningkatan memang.

Pada tahun sebelum 2015 cyberbully itu nol, atau tidak ada laporan satu pun tentang cyberbully, tapi terjadi terus naik dari 2015. 2015, pertama itu pun hanya empat lalu terus naik, terakhir mencapai 206, jadi seiring dengan kemajuan teknologi dan media sosial memang terjadi peningkatan terutama untuk cyberbully,” kata Retno.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melihat trend kekerasan terhadap anak dalam pendidikan di tahun 2018 cukup meningkat. Sejumlah 51,20 persen atau 228 kasus terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Selanjutnya, kasus tawuran pelajar mencapai 144 kasus atau 32,35 persen, dan 73 kasus atau 16,50 persen merupakan kasus anak yang menjadi korban kebijakan. (https://www.voaindonesia.com/a/kpai-kasus-kekerasan-anak-dalam-pendidikan-meningkat-tahun-2018/4718166.html sabtu, 27 Juli 2019 pukul 11.14 wib. Laporan tahunan yang di release oleh KPAI sejalan dengan temuan Ismayogi yang menganalisa isi berita terkait dengan kekerasan dalam pendidikan.

Melalui artikel yang berjudul “Kekerasan dalam Dunia Pendidikan ( Studi Analisis Isi Kasus Kekerasan dalam dunia Pendidikan pada News Website Okezone.com)” yang kutip melalui http://fisip.unsoed.ac.id/content/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan-studi-analisis-isi-kasus-kekerasan-dalam-dunia-pendidikan-p Ismayogi mengungkapkan bahwa bentuk kekerasan yang sering terjadi dalam pendidikan adalah berupa kekerasan fisik, yang banyak dilakukan di jenjang pendidikan SMA, sementara kekerasan psikis dan seksual banyak terjadi di jenjang pendidikan SD dan SMP. Faktor yang paling banyak berpengaruh adalah nafsu birahi. Kekerasan dalam dunia pendidikan lebih banyak dilakukan oleh guru kepada anak didiknya dan laki-laki lebih banyak berperan dalam terjadinya kasus-kasus kekerasan tersebut, baik sebagai korban maupun pelaku.

Pendidikan Akhlak
Realitas kekerasan dalam dunia pendidikan utamanya akhir-akhir ini yang makin marak melalui cyberbully tentu sangat memprihatinkan bagi orang tua dan pendidik, terlebih pemerintah sebagai penanggungjawab secara keseluruhan proses pendidikan formal. Inilah fakta sesungguhnya dari bahaya kekerasan dalam dunia pendidikan.

Kekerasan dalam dunia pendidikan tentu tidak akan pernah ada atau setidak-tidaknya makin berkurang jika pendidikan yang dilangsungkan tidak hanya berorientasi pada capaian-capaian kognitif saja. Terlebih capaian prestasi akademik “hanya” diukur dengan nilai raport atau nilai ujian saja.

Namun sayangnya sebagian masyarakat masih menilai bahwa keberhasilan pendidikan hanya dilihat dari satu parameter saja, yakni prestasi akademik sebegaimana tersebut. Penilaian ini pada gilirannya cenderung mengabaikan bahwa pendidikan akhlak/moral jauh lebih penting jika ingin kesuksesan benar-benar diraih oleh generasi penerus kita.

Keprihatinan rendahnya perhatian terhadap pendidikan akhlak ini pun sesungguhnya sudah lama disampaikan, bahkan di Negara Barat sekalipun. Para praktisi pendidikan tinggi di universitas-universitas Barat sendiri sudah banyak yang mengeluhkan keprihatinan terhadap sistem pendidikan Barat modern. Prof. Harry Lewis, seorang professor Harvard selama 32 tahun dan menjabat sebagai Dekan Harvard College selama 8 tahun (1995-2003), misalnya, mengungkapkan keprihatinan ini dalam bukunya, Excellence Without a Soul: How a Great University Forgot Education (2006:1). Menurutnya, sistem pendidikan telah melakukan kekeliruan besar (moral errors) yang menggerus sisi moral-spiritual manusia. Kekeliruan ini tercermin dengan jelas pada hilangnya visi moral yang serius, yang mengakibatkan pendidikan menjadi tanpa ruh (soulless education).

Oto-kritik seperti ini pernah dilakukan juga oleh beberapa sarjana Barat sebelumnya, seperti misalnya Sir Walter Moberly dalam bukunya The Crisis in the University, yang terbit pada tahun 1949; dan Christopher Dawson dalam bukunya, The Crisis of Western Education, pada tahun 1961.
Padahal sejatinya, geneologi pendidikan menempatkan aspek moral (akhlak) pada posisi sentral. Hakikat pendidikan sesungguhnya adalah memanusiakan manusia.

Artinya menjadi manusia sejati (terutama dalam perspektif Islam) sebagai abdulloh (hamba Alloh) dan khalifah (sebagian ulama menerjemahkan wakil/pemimpin) di muka bumi berproses melalui pendidikan. Proses pendidikan dimaksud tentu tidak terbatas pada proses pendidikan formal, namun juga pendidikan yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat yang bersinergi dalam mewujudkan manusia beriman, bertaqwa, cerdas, terampil dan berkahlakul karimah (Nuridin, https://suarabaru.id/2019/07/23/kompetensi-kepala-sekolah-berdasarkan-permendikbud-no-6-tahun-2018/)
Konsekuensi logis dari cara pandang seperti ini mengharuskan bahwa keseluruhan proses pendidikan berlangsung untuk mengoptimalkan potensi manusia secara integral agar sesuai dengan fithrahnya. Tidak cukup jika pendidikan hanya fokus pada optimalisasi potensi intelegen (akal).

Demikian halnya tidak cukup jika pendidikan hanya terkonsentrasi pada ketrampilan motorik. Namun pendidikan merupakan proses integral untuk menumbuhkan kesadaran ilahiyah (keimanan dan ketaqwaan), akhlakul karimah, cerdas dan tentu saja terampil.

Melaui upaya seperti ini, maka kekerasan dalam pendidikan termasuk di dalamnya cyberbully dapat diantisipasi sedemikian rupa sehingga antara pendidik, orang tua, dan masyarakat memiliki cara pandang yang sama bahwa mendidik berarti menyiapakan generasi yang beriman, bertaqwa, memiliki akhlak mulia, berilmu dan mampu mengamalkan ilmu tersebut dalam wujud amal shaleh.

Aktifitas Positif

Untuk itu, agar penanaman akhlak dalam pendidikan dapat berlangsung dengan baik, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, memperbanyak aktifitas positif yang diperuntukkan bagi peserta didik. Ikhtiar ini dapat dilakukan melalui penguatan organisasi kesiswaan/kemahasiswaan seperti Kerohanian Islam (Rohis) dan semacamnya yang memberikan ruang pada siswa untuk menggali nilai-nilai agama dan mengamalkannya secara baik.

Kegiatan ekstra kurikuler yang menguatkan ketrampilan peserta didik juga sangat diperlukan sebagai kanalisasi potensi peserta didik untuk diaktualisasikan.

Kedua, mendesain proses belajar mengajar yang sarat dengan nilai-nilai agama. Ikhtiar ini sangat strategis mengingat pendidik bisa langsung berinteraksi dengan peserta didik dalam desain proses belajar mengajar. Ikhtiar ini menuntut komitmen pendidik yang kuat bahwa proses pembelajaran bukanlah semata-mata proses transfer pengetahuan (knowledge), namun secara dipahami bahwa proses pembelajaran sejatinya adalah proses komprehensif yang akan meningkatkan potensi kognitif, afekstif dan psikomotor mahasiswa.

Komitmen ini secara operasional diwujudkan dalam penyusunan silabus dan perencanaan pembelajaran yang di dalamnya sudah memuat nilai-nilai akhlak Islam yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran. Langkah ini secara operasional diterapkan pada saat pertemuan awal belajar melalui kontrak belajar.

Selanjutya pendidik memasukkan nilai-nilai akhlak Islam dalam content mata kuliah. Dalil-dalil yang bersumber dari Alquran dan hadits yang memiliki relevansi dengan pokok bahasan dalam mata kuliah yang diajarkan menjadi bagian tak terpisahkan dari konten materi yang diajarkan. Nilai-nilai akhlak ini diinternalisisasikan dalam mata kuliah agar mahasiswa memiliki pemahaman bahwa materi kuliah tidak terpisahkan dengan nilai-nilai akhlak Islam sehingga mata kuliah tersebut memilikim kebermaknaan dalam kehidupan mahasiswa.

Ketiga, sebagaimana diusulkan Ismayogi dalam artikelnya sebagaimana dikutip di atas, menawarkan solusi mengenai cara meminimalisir tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah dengan menerapkan konsep humanisasi dalam pendidikan. Yaitu menjadikan anak didik sebagai subjek pendidikan, bukan sebagai objek. Serta peran memaksimalkan kembali peran orang tua, guru, lingkungan, danmedia massa agar lebih berperan aktif dan positif terhadap adanya kasus-kasus kekerasan tersebut.

Sebagai penutup, pendidikan adalah proses terpenting dalam membangun manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlakul karimah, berilmu dan beramal shalih. Mengingat pentingnya aspek pendidikan dalam membangun manusia tersebut, maka sudah semestinya jika proses pendidikan berlangsung secara komprehensif dan sinergis antara satuan pendidikan yang diwakili para pendidik, orang tua dan masyarakat.

Sedangkan pemerintah sudah sepantasnya memberikan ruang yang luas untuk tumbuhnya pendidikan nilai yang berdasarkan agama sehingga amanat tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat tercapai.
Wallu’alam bishshawab. (Suarabaru.id)

Penulis
Dr. Nuridin, S.Ag., M.Pd (Dosen FAI Unissula)
Dr. Didik Murwantono, M.Hum (Dosen FBIK Unissula)
Abdulloh Mubarok, (Dosen FBIK Unissula)