blank

Lindungi Anak dari Kekerasan Dimulai Dari Keluarga

 Oleh: Ira Alia Maerani

SETIAP tangal 23 Juli  diperingati sebagai Hari Anak Nasional sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) No. 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984. Pada perayaan Tahun 2019 ini berpuncak di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan. Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lenny N Rosalin  mengatakan Tema Hari Anak 2019 adalah “Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak” dengan slogan “Kita Anak Indonesia, Kita Gembira” (www.antaranews.com )

Dalam rangka memperingati hak anak pula, terdapat beberapa perayaan yang diselenggarakan pada tanggal yang berbeda-beda di seluruh dunia. Hari Anak Internasional diperingati setiap 1 Juni. Sementara Hari Anak Universal pada 20 Nopember melalui resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengumumkan satu hari tertentu dalam setahun sebagai hari anak se-dunia. Perayaan ini bertujuan untuk menghormati hak-hak anak di seluruh dunia.

Akan tetapi sungguh miris apabila melihat dan mencermati nasib anak di seluruh dunia. Jutaan anak terjebak dalam peperangan dan konflik horisontal di negara masing-masing. Lihat saja nasib anak-anak di Palestina. Ribuan anak Rohingya menjadi “manusia perahu”. Bahkan menghembus nafas terakhir di tengah lautan dan akhirnya jasadnya pun dilarung ke laut bebas. Anak-anak di Ethiopia, Kenya dan beberapa negara di benua Afrika mengalami gizi buruk dan kelaparan. Masih banyak hak anak-anak yang belum disesuai harapan. Hak hidup, hak keamanan, hak kedamaian, hak kasih sayang, hak memperoleh kebutuhan makan, pakaian, pendidikan, dan seterusnya.

Bagaimana dengan hak anak di Indonesia? Hari Anak Nasional yang diperingati 23 Juli 2019 ini, media memberitakan terpuruknya hak-hak anak di Indonesia. Pemberitaan di media didominasi tentang pemberitaan anak yang mengalami kekerasan dan atau kekerasan seksual oleh keluarga terdekat.

Sindonews (13/7/2019) memberitakan,”Biadab, Ayah Kandung Tega Perkosa Anak Sendiri di Monokwari.” Seorang anak yang masih berusia 14 tahun “digagahi” ayah kandungnya sendiri dibawah ancaman dibunuh. Pelaku dikenakan Pasal 81 Ayat (1) dan (3) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Seorang Siswi SMP di Pringsewu, Lampung dicabuli oleh kakek dan kakak sepupunya. Korban dibujuk dengan diiming-imingi sejumlah uang. Akibat perbuatan cabul oleh kakek dan kakak sepupunya ini, korban mengalami trauma dan tidak mau sekolah. (Sindonews, 18/6/2019)

Masih di Pringsewu, Lampung, derita memilukan dialami oleh AG (18 tahun) yang diperkosa ayah kandung (44 tahun), kakak kandung (23 tahun) dan adiknya (15 tahun) secara bergiliran selama satu tahun terakhir. Bahkan sehari pernah diperkosa sebanyak 5 kali secara bergantian. Perempuan penderita disabilitas yang telah ditinggal meninggal ibu kandungnya ini juga tidak dipenuhi hak makannya. (tribunnews, 25/2/2019)

Dimulai dari Keluarga

Sepenggal kisah memilukan di atas adalah potret nyata peradaban masyarakat kita yang belum bertindak adil terhadap hak-hak anak. Anggota keluarga yang sejatinya memberikan perlindungan penuh terhadap hak-hak anak justru menjadi “predator”.

Seorang ulama terkemuka abad pertengahan, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, pernah mengatakan, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orangtuanya.”

Terutama bagi bapak dan saudara laki-laki mempunyai kewajiban terhadap 4 orang perempuan di sekitar keluarga inti. Yakni isterinya, ibunya, anak perempuannya  dan saudara perempuannya. Tindak pidana kekerasan dan kekerasan seksual terhadap anak terutama anak perempuan, seperti incest (hubungan intim sedarah), yang mencuat di media sungguh memilukan dan segera dilakukan penanganan serius dan tuntas.

Allah SWT pun telah  menjelaskan betapa pentingnya keluarga sebagai tempat pendidikan bagi seorang anak.  Sebagaimana terjemah Al-Qur’an surat An-Nahl Ayat 80 yang berbunyi, “Dan sesungguhnya Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal….” (Qs.An-Nahl : 80)

 Perbaiki Sistem Hukum

Apabila mencermati ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana terhadap anak sudah diatur dalam produk hukum terkait dengan sanksi yang cukup berat. Namun mengapa tidak memberikan efek jera bagi pelaku? Apakah tujuan pemidanaan dapat dikatakan berhasil?

Mengingat data statistik  menunjukkan setiap tahunnya terdapat kenaikan angka kekerasan terhadap pada anak. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), setiap tahun jumlah kekerasan pada anak yang dilaporkan terus meningkat. Data tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:

Data Laporan Kasus Kekerasan pada Anak di Indonesia

No. Tahun Laporan KPAI
1 2008 1.726 kasus
2 2009 1.998 kasus
3 2010 1.826 kasus
4 2011 2.509 kasus
5 2012 3.332 kasus

 

KPAI melaporkan bahwa pada Tahun 2012 terdapat laporan kasus dengan 62% diantaranya merupakan kekerasan seksual kepada anak-anak yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang terdekat. Tahun 2016 dalam triwulan pertama menunjukka 645 laporan, 167 diantaranya adalah anak dengan masalah hukum (ABH), seperti pencurian, bullying. Sementara 152 kasus berkaitan dengan masalah hak asuh. Ketua KPAI menyebutkan rata-rata kekerasan pada anak yang terjadi 3.700 per tahun. Dengan demikian kekerasan pada anak yang terjadi di Indonesia terdapat lebih dari 10 kasus per hari.

Sementara data kekerasan pada anak menurut Pusat dan Informasi (Pusdatin) Komnas  Perlindungan Anak menunjukkan peningkatan setiap tahunnya: (https://news.liputan6.com)

  1. Tahun 2010, tercatat ada 22.046 kasus. Terdapat 42 % kasus kekerasan seksual. Diantaranya sodomi, perkosaan, pencabulan, serta incest (hubungan intim sedarah).
  2. Tahun 2011, tercatat 2.467 kasus, 52 % kasus kejahatan seksual.
  3. Tahun 2012, tercatat 2.637 kasus, 62 % kasus kekerasan seksual.
  4. Tahun 2013, tercatat 2.676 kasus, 54% kasus kekerasan seksual.
  5. Tahun 2014, tercatat 2.898 kasus, 59% kasus kekerasan seksual.

Tingginya kasus kekerasan kekerasan terhadap anak, dimana didominasi kekerasan seksual tentunya memerlukan penanganan serius. Untuk itu memerlukan peran sigap seluruh institusi terkait, masyarakat dan keluarga. Keluarga merupakan benteng terdepan dalam memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap anak. Sehingga kasus incest tidak muncul di permukaan. Juga kasus-kasus kekerasan lainnya terhadap anak.  

Tingginya kasus kekerasan terhadap anak perlu dipikirkan kembali oleh para penegak hukum dan institusi terkait. Apakah ada yang keliru dari sisi substansi hukum, struktur hukum, atau budaya hukumnya?

Jika dilihat dari substansi hukumnya, produk perundang-undangan terkait sudah cukup  memberikan ancaman pidana (sanksi). Seperti Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 juncto Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 juncto Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Salah satu pasal yakni Pasal 81 Ayat (1), (2), (3) UU No. 35 Tahun 2014 berbunyi:

  • Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  • Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
  • Dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).

Jenis tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 76D berbunyi, ”Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

Jika tujuan pemidanaan dinilai kurang berhasil, maka perlu dikaji ulang tentang jenis pidana (strafsoort) yang diterapkan bagi terpidana. Mungkinkah penerapan pidana rajam dan cambuk diterapkan? Sebagaimana Hukum Pidana Islam mengatur pidana rajam hingga meninggal dunia bagi pelaku zina yang telah menikah (muhsan), dan pidana dera/cambuk 100 kali bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan).

Termasuk pula dalam hal cara pelaksanaan pidana (straf strafmodus/strafmodliteit), mungkinkah dilakukan di muka umum? Sehingga tujuan pemidanaan yang disingkat dalam Bahasa Inggris dengan 3R & 1D terwujud. Tujuan pemidanaan tersebut yakni: Reformation, yang berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik berguna bagi masyarakat; Restraint, mengasingkan pelanggar dari masyarakat; Retribution, yang berarti pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan; Deterrence, berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut melakukan kejahatan, karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. (Ira Alia Maerani, Hukum Pidana & Pidana Mati, 2018)

Bagaimana dengan struktur hukumnya? Menitikberatkan pada peran lembaga kepolisian, kejaksanaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan (lapas) dalam melindungi hak-hak anak dalam proses penegakan hukum. Mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan hingga pemasyarakatan.

Budaya hukum masyarakat pun penting dicermati. Budaya masyarakat yang peduli terhadap anak-anak. Dimulai dari tingkat yang paling dekat dengan anak yakni keluarga. Keluarga yang penuh dinaungi oleh kasih sayang, kepedulian terhadap hak  hidup anak, peduli terhadap kebutuhan pangan dan sandang, hak pendidikan anak, hak dari rasa aman, nyaman dan kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkreasi, berimajinasi, berinovasi dalam lingkungan budaya masyarakat yang kondusif.

Semoga dengan Peringatan Hari Anak Nasional tahun ini, anak Indonesia selalu bahagia, ceria, semangat dan tersenyum  menapaki masa depan. Dinaungi oleh keluarga, masyarakat dan kebijakan hukum yang melindungi hak-hak mereka. Sehingga anak-anak hidup dengan rasa aman, bahagia dan sejahtera menuju generasi terbaik (khairu ummah). (suarabaru.id) /Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang).