blank

Harga Cabai Melejit, Ibu Menjerit

Oleh: Ira Alia Maerani

 blank

  MELEJITNYA harga cabai rawit menjadi trending topik di pasar akhir-akhir ini. Bagaimana tidak?  Harganya terus merangsek naik. Jika sebelumnya cabai bisa dijangkau di Rp 30.000 – Rp 40.000 per kilogram, saat ini masyarakat harus merogoh kocek hingga Rp 100.000 per kilogram (https://m.liputan6.com, 21/7/2019). Perlahan namun pasti mendekati harga daging sapi.

            Kondisi ini tentu saja membuat resah para ibu. Ibu harus mengurut dada ketika mendapati di tukang sayur harga cabai rawit merah per buah hingga Rp 500. Ibu harus berpikir keras menyesuaikan naiknya harga cabai dan berbagai harga sayur mayur dan kebutuhan pokok lainnya, tanpa diiringi kenaikan pendapatan keluarga. Melambungnya harga cabai  bagi pencinta selera pedas menjadi problem tersendiri. Rasanya belum nikmat kalau makan mengurangi rasa pedas dengan mengurangi kapasitas cabai. Namun semakin pedas, maka akan membuat isi dompet terkuras.

            Problem bagi penjaja lauk pauk pun relatif sama. Obrolan sesama mereka seputar meroketnyanya harga cabai. Tentu saja kondisi ini berpengaruh terhadap keuntungan mereka. Keinginan untuk menaikkan harga barang dagangan ditahan, khawatir kehilangan konsumen. Akhirnya terpaksa mereka mengurangi jumlah keuntungan. Akibatnya merosotnya nilai kesejahteraan masyarakat kecil. Salah satunya dipengaruhi oleh meroketnya harga cabai dan kebutuhan pokok lainnya serta tingginya inflasi.

Sinergitas Perguruan Tinggi dan Kementrian Terkait

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng menunjukkan laju inflasi di Jawa Tengah pada September 2014 berada di level 0,22% dengan Indeks Harga Konsumen 113,84 dipengaruhi kenaikan harga komoditas cabai merah. Menurut data BPS, rata-rata konsumsi cabai per kapita adalah 500 gram/tahun. Bisa dibayangkan dengan jumlah penduduk sebanyak 237,6 juta (sensus tahun 2010), berarti Indonesia membutuhkan cabai sebesar 118.800 ton per tahun. (Wahyudi, 2011)

Tingginya kebutuhan cabai setiap tahunnya merupakan tantangan bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ini.  Iklim kemarau, tingginya inflasi, rendahnya  daya tahan cabai, rendahnya daya beli masyarakat, dan menghadapai hari raya tertentu disinyalir menjadi penyebab meroketnya harga cabai.  Akan tetapi problem ini setiap tahunnya relatif sama. Artinya kondisi ini seyogyanya bisa diantisipasi dan dicarikan solusi. Mengingat setiap tahunnya terutama ketika di musim kemarau, harga cabai hampir dipastikan melejit. Diperlukan kesiapan kementrian terkait untuk mengantisipi persoalan ini.

Salah satunya kerjasama dengan pergutuan tinggi untuk mengadakan riset (penelitian) dalam beberapa bidang. Terutama riset persoalan membudidayakan cabai varietas unggul yang memiliki daya tahan di segala cuaca. Tidak hanya cabai. Juga berbagai jenis produk sayur mayur dan buah-buahan tropis lainnya. Pemerintah Indonesia harus memiliki keberanian dan kemauan yang keras untuk memproklamirkan menjadi negara agraris. Mengingat iklim tropis yang kita miliki merupakan potensi yang tidak dimiliki oleh semua negara. Hampir semua jenis tanaman bisa dan dapat tumbuh di nusantara. Potensi ini semestinya dioptimalkan. Sehingga Indonesia menjadi pemasok berbagai sayur mayur dan buah-buahan tropis ke seluruh penjuru dunia.

Riset pasar juga diperlukan. Tujuannya agar harga cabai stabil sehingga tidak mempengaruhi laju inflasi secara signifikan. Kesejahteraan petani menjadi prioritas. Petani jangan sampai dirugikan. Harga cabai jangan sampai anjlok di kala panen dan harga selangit di kala paceklik. Juga terhadap berbagai produk tanam lainnya.

Hal yang harus dihindari adalah kebijakan impor.  Slogan, ”Cintai Produk dalam Negeri” tidak hanya sekedar lips service saja. Pemerintah harus jujur dan pro rakyat terutama petani dalam menggelontor sebuah kebijakan. Sehingga rakyat secara makro sejahtera.

Termasuk dalam bagian riset ini adalah pemetaan produk tanam. Penulis memiliki  pengalaman ketika menjadi dosen pendamping lapangan (DPL) Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sekitar Kopeng, Kabupaten Semarang. Pada saat itu, Pebruari 2019, hampir seluruh desa di sekitar Kopeng panen kol (kubis). Tentu saja berdampak pada anjloknya harga jual. Kol (kubis) tersebut hanya dihargai Rp 400-500 setiap kilogramnya. Tentu saja tidak sepadan dengan modal dan tenaga yang telah petani keluarkan. Sementara harga jual di pasar di Kota Semarang berkisar Rp 5.000 per kilogramnya di saat yang sama. Anjloknya harga di tingkat petani ini semestinya tidak terjadi. Permainan para tengkulak dengan alasan tingginya biaya transportasi proses distribusi produk petani ke pasar jangan sampai merugikan petani. Sehingga kita bisa melihat wajah sumringah petani saat memanen hasil panennya di ladang. Kebijakan pasar pro rakyat ini menjadi salah satu tugas kementrian terkait.

Selain itu, kementrian lainnya menyusun pemetaan jenis tanaman yang akan ditanam oleh petani. Sehingga pasokan tersedia di pasar setiap saat. Ketika panen tidak seragam hasil panennya. Jika seragam, maka yang berlaku hukum pasar. Harga akan turun. Semisal, jika di Jawa Barat semester pertama menanam cabai, maka giliran Jawa Tengah di semester kedua menanam produk yang sama. Sehingga sepanjang tahun bisa ditemui cabai di seluruh penjuru nusantara. Produk cabai varietas unggul kerjasama kementrian terkait dan perguruan tinggi yang memiliki daya tahan berbagai kondisi iklim akan beredar di pasaran.

 Ketahanan Pangan Mandiri

            Bagi para ibu, janganlah mengeluh dengan keadaan. Mulai dari diri sendiri, mulai saat ini juga dan mulai dari hal-hal yang kecil-kecil untuk menanam pohon cabai di rumah. Ketika belanja cabai di pasar dan ada busuk, janganlah dibuang di tempat sampah. Tanamlah di pot berisi tanah. Pot bisa diganti dengan polybag bekas bungkus minyak goreng.

            Cabai busuk yang  ditanam di pot ini, beberapa hari kemudian akan menjadi tunas. Untuk kemudian bisa dipindah ke pot yang lebih besar agar pertumbuhannya baik. Perubahan pola pikir dan kemauan untuk melakukan ketahanan pangan secara mandiri memang bukan ide besar. Namun kegiatan memanfaatkan pekarangan rumah atau taman di depan rumah, dan lahan lain yang semula tidak produktif menjadi lebih bermanfaat merupakan salah satu ikhtiar yang dapat kita lakukan di sela-sela kesibukan. (Ira Alia Maerani, Suara Merdeka, 9/12/2014).

Diharapkan melejitnya harga cabai tidak terlalu merisaukan, antara lain dengan cara menanamnya di halaman rumah. Dengan demikian, para ibu dapat tersenyum cerah dan  cukup memiliki tabungan untuk memberikan fasilitas pendidikan terbaik untuk putra putri tercinta guna masa depan gemilang. (Suarabaru.id/Dr. Ira Alia Maerani, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang)