blank
Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang

 

 

Lindungi Martabat Perempuan Pekerja

Oleh: Ira Alia Maerani

KEMBALI, dunia ketenagakerjaan dalam negeri berduka. Setidaknya 30 orang menjadi korban “terpanggang” di pabrik pembuatan korek api gas (mancis) di Binjai, Sumatera Utara (Jum’at, 21/6/2019). Terdiri  26 orang pekerja perempuan dan 4 orang anak para pekerja yang turut berada di pabrik ketika pabrik ini meledak dan terbakar. Sungguh memprihatinkan. Potret kelam nasib naas yang dialami para pekerja perempuan ini bukan yang pertama.

Masih di Sumatera Utara, tepatnya di Medan, pada Pebruari 2014, belasan pekerja perempuan penangkaran walet disekap. Dua diantaranya dikabarkan meninggal dunia. Selebihnya mengalami kondisi kesehatan yang memprihatinkan. Mereka mendapatkan perlakukan yang tidak manusiawi, seperti makan seadanya, beban kerja tinggi, dilarang keluar lokasi penangkaran walet, dilarang berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk tidak ada akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan. (Ira Alia Maerani, Suara Merdeka, 21/4/2014).

Dari 460 kasus kekerasan terhadap perempuan di Jateng, 717 perempuan menjadi korban kekerasan berbasis gender. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai kasus  yang tertingggi (201 kasus), perkosaan 113 kasus, kekerasan dalam pacaran  61 kasus, kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan korban eksploitasi seksual 113 kasus, kekerasan terhadap pekerja perempuan migran 22 kasus, perdagangan perempuan 22 kasus dan pelecehan seksual 7 kasus. (Suara Merdeka, 3/12/2013)

Berulang nasib duka bagi pekerja perempuan ini sungguh pukulan bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Sejauh mana perlindungan terhadap perempuan pekerja ini yang memiliki peran sentral dalam perekonomian keluarga dan bangsa?

Patuhi Syarat Perjanjian Kerja

Rendahnya tingkat pendidikan formal, kemiskinan, status sosial yang rendah dan tidak seimbangnya antara jumlah pekerja dengan lahan pekerjaan, membuat posisi tawar (bargaining position) pekerja perempuan lemah. Kondisi ini membuat pekerja perempuan nrimo kondisi apapun yang ditawarkan oleh dunia kerja. Meski bertentangan dengan hati nurani dan standar kelayakan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan penguasa (pemberi kerja) yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.

Syarat sahnya perjanjian kerja memenuhi syarat materiil dan formil sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Syarat materiil terdiri dari: adanya kesepakatan kedua belah pihak; kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003).

Sementara syarat formil diatur dalam Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 terdiri dari: nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja / buruh; jabatan atau jenis pekerjaan; tempat pekerjaan; besarnya upah dan cara pembayarannya; syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh; mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Tenaga kerja juga berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja sesuai martabat manusia. Tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja yang terdiri dari jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan.

Instrumen penting yang telah disebutkan di atas yang merupakan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha kiranya diperhatikan dengan seksama. Mengingat harkat dan martabat manusia. Pengusaha (pemberi kerja) berkewajiban memberikan jaminan kecelakaan kerja. Terlebih di lokasi pabrik yang menggunakan bahan kimia dan diduga belum memenuhi standar operasional. Bahkan disinyalir pabrik ini  belum memenuhi izin.  Bagaimana ini  bisa terjadi?  Bagaimana peran para pejabat pemangku kepentingan? Sehingga rakyat tak berdosa termasuk anak-anak menjadi korban?

Minimnya pemenuhan hak akan keselamatan kerja kepada para pekerja perempuan ini tergambar dari pemberitaan yang santer di media. Pabrik yang selalu dikunci dari dalam saat jam kerja untuk menghindari pencurian, jendela yang berteralis besi, hingga memasukkan anak-anak ke lokasi pabrik yang jauh dari kesan aman karena disekelilingi oleh bahan-bahan kimia mudah terbakar.

Bagi pekerja perempuan sendiri memiliki beberapa hak seperti: pekerja perempuan dilarang dipekerjakan pada malam hari dan pada tempat yang tidak sesuai kodrat dan martabat; Pekerja perempuan tidak diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid; Pekerja perempuan yang masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya menyusui bayinya pada jam kerja. Di samping berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja sesuai martabat manusia. Juga berhak atas jaminan sosial tenaga kerja yang terdiri dari jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan.

Terhadap 4 orang anak yang menjadi korban di pabrik mancis masih perlu diselidiki status mereka sebagai pekerja anak atau ikut ibunya yang bekerja di pabrik tersebut. Pada prinsipnya pengusaha dilarang mempekerjakan anak, baik anak laki-laki maupun perempuan yang berusia kurang dari 15 tahun.

Akan tetapi pengusaha yang mempekerjakan anak karena alasan tertentu wajib memberikan perlindungan: Tidak mempekerjakan lebih dari 4 jam sehari; Tidak mempekerjakan dari pukul 18.00 – 06.00; Tidak mempekerjakan dalam tambang bawah tanah, lubang bawah tanah, di terowongan; Tidak mempekerjakan pada tempat yang membahayakan kesusilaan, keselamatan, dan kesehatan kerja; Tidak mempekerjakan anak pada pekerjaan kontruksi jalan, jembatan, bangunan air, dan bangunan gedung; Tidak mempekerjakan di pabrik di dalam ruangan yang tertutup yang menggunakan alat mesin; Tidak mempekerjakan anak pada pembuatan, pembongkaran dan pemindahan barang di pelabuhan, dermaga, galangan kapal, stasiun, tempat pemberhentian dan pembongkaran muatan serta tempat penyimpanan barang. (suarabaru.id/Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Semarang)