blank
Situs purbakala Keraton Ratu Boko, Yogyakarta, memiliki dua gerbang masuk menghadap ke arah barat. Banyak wisatawan yang menanti petang hari, untuk melihat keindahan sunset (matahari beranjak tenggelam).(suarabaru.id/bp)

YOGAYKARTA – Bukan sekadar candi, tapi situs purbakala Candi Boko merupakan bekas istana Keraton Ratu Boko (Raja Bangau). Pada liburan Lebaran Idul Fitri, banyak didatangi pelancong termasuk wisatawan asing. Harga Tiket Masuk (HTM) per orang Rp 40 ribu. Sejumlah sisa bangunan terbuat dari batuan candi ini, berada sekitar 3 Km di sebelah selatan dari kompleks Candi Prambanan. Terletak 18 Kilometer (Km) sebelah timur Kota Yogyakarta, atau berjarak 50 Km barat daya Kota Solo, Jateng.

Dalam legenda, Ratu Boko merupakan ayah dari tokoh legendaris Roro Jonggrang. Letak situs Keraton Prabu Boko, berada di sebuah bukit berketinggian + 196 Meter (M) dari permukaan laut. Luas keseluruhan kompleks adalah sekitar 25 Hektare (Ha). Didirikan oleh Raja Rakai Panangkaran dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu), situs ini diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad Ke 8, pada masa Wangsa Sailendra. Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana raja). Bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering, sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa pemukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini.

Situs Ratu Boko pertama kali dilaporkan oleh Van Boeckholzt pada tahun 1790, yang menyatakan terdapat reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Ratu Boko. Seratus tahun kemudian, baru dilakukan penelitian yang dipimpin oleh FDK Bosch, yang dilaporkan dalam Keraton van Ratoe Boko. Dari sinilah disimpulkan, bahwa reruntuhan batuan candi tersebut merupakan sisa-sisa keraton.

Prasasti Abhayagiri Wihara berangka tahun 792 M, merupakan bukti tertulis yang ditemukan di situs Ratu Boko. Dalam prasasti ini, menyebut seorang tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana atau Rakai Panangkaran (746-784 M), serta menyebut suatu kawasan wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara (wihara di bukit yang bebas dari bahaya). Rakai Panangkaran mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan, salah satunya dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara pada tahun 792 M.

”Saya lahir di sini, dulu rumah orang tua saya berada di dekat Paseban itu,” tutur Juminah (54). Di sisi timur Candi Pembakaran, dulu merupakan lahan sawah yang dikerjakan oleh ayah Juminah. Bekas rumah ayah Juminah dan warga yang lain serta areal persawahan, kini tidak lagi dapat dikenali, karena sejak dibebaskan oleh pemerintah, kawasan tersebut dibangun untuk ‘merekonstruksi’ bangun rancang Keraton Ratu Boko. Ini dilakukan demi upaya pelestarian, sekaligus untuk kepentingan edukasi tentang kepurbakalaan, yang telah didaftarkan ke UNESCO sebagai bagian dari warisan dunia.(suarabaru.id/bp)