blank
Sugiarto, Yunior Manager Operasional dan Keselamatan Penerbangan Airnav Indonesia tengah menyampaikan materi "Sosialisasi Java Traditional Balloon Festival 2019, di Aula Kecamatan Kertek Wonosobo. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

WONOSOBO-Dalam satu hari terdapat sekitar 10 ribu pesawat terbang yang melintas di langit Indonesia. Jumlah sebanyak itu berasal dari penerbangan nasional 7 ribu pesawat terbang dan 3 ribu pesawat terbang internasional.

Dengan demikian lalu lintas udara di wilayah Indonesia sangat padat sekali. Lantaran kepadatan lalu lintas di udara, tentu saja diperlukan pengaturan penerbangan yang sangat ketat dan upaya preventif bagi keselamatan penerbangan di Indonesia.

Hal itu dikatakan Sugiarto, Yunior Manager Operasional dan Keselamatan Penerbangan Airnav Indonesia di Yogyakarta, dalam acara “Sosialisasi Java Traditional Balloon Festival 2019, di Aula Kecamatan Kertek Wonosobo, Rabu (22/5), malam.

Festival Balon Tradisional, disebutkan Sugiarto, yang digelar Airnav Indonesi kerja sama dengan Pemkab Wonosobo akan di laksanakan di Lapangan Desa Pagerejo Kecamatan Kertek pada tanggal 15 Juni 2019, mulai jam 06.00 WIB hingga selesai.

“Salah satu upaya mengantisipasi keselamatan penerbangan adalah dengan tidak menerbangkan balon udara tradisional secara bebas. Karena balon udara tanpa awak tersebut bisa mencapai ketinggian di atas ketinggian pesawat terbang,” katanya.

Airnav Indonesia sendiri sebenarnya tidak melarang sama sekali penerbangan balon udara tradisional yang sudah menjadi tradisi lokal dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Balon tradisional tetap bisa diterbangkan asal dengan cara ditambatkan.

Disebut Sugiarto, penerbangan balon tradisional secara bebas bisa membahayakan keselamatan pesawat terbang di udara. Karena ada sekitar 20 laporan dari pilot yang melihat balon udara terbang di ketinggian di atas 25.000 kaki.

“Ketinggian 25.000 kaki merupakan ketinggian en-raute pesawat udara, termasuk di dalamnya penerbangan pesawat internasional. Dengan melakukan penerbangan balon yang ditambatkan, tidak akan mengganggu pesawat terbang dan budaya lokal tetap hidup,” katanya.

Ancaman Pidana

Menurut Sugiarto, melepaskan balon udara secara bebas atau tanpa ditambatkan bisa membahayakan penerbangan karena balon bisa tersangkut di sayap atau ekor pesawat yang bisa mengakibatkan pesawat susah dikendalikan atau hilang kendali.

“Balon udara juga bisa menutup bagian depan atau pandangan pilot. Akibatnya, pilot bisa kesulitan mendapatkan visual guidance dalam pendaratan. Balon bisa pula menutupi pitot tube atau hole sehingga informasi soal ketinggian dan kecepatan pesawat tidak akurat”, bebernya.

Akibat lebih parah lagi, imbuhnya, balon udara dapat masuk ke dalam mesin pesawat sehingga menyebabkan mesin pesawat mati, terbakar hingga meledak dan jatuh. Jika hal ini yang terjadi maka bisa memakan banyak korban penumpang pesawat terbang.

“Bila ada pihak-pihak yang tetap menerbangkan balon udara secara bebas maka bisa dikenai pasal pidana dengan ancaman hukuman paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta. Karena warga harus mematuhi peraturan yang ada”, tegasnya.

Dalam UU No 1 tahun 2019 tentang Penerbangan, terutama di Pasal 210 disebutkan, setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle) atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan.

“Dalam pasal 210 juga disebutkan semua kegiatan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan kecuali memperoleh ijin dari otoritas bandar udara, tidak boleh dilakukan. Termasuk dalam hal ini adalah menerbangkan balon udara secara bebas,” tegasnya.

Karena itu, agar tidak melanggar undang-undang dan mengganggu keselamatan penerbangan, warga bisa melakukan penerbangan balon dengan cara ditambatkan. Sehingga balon hanya bisa terbang maksimal 150 meter di udara dan setelahnya bisa ditarik kembali.

SuaraBaru.id/Muharno Zarka