blank
Sumur tua di sebelah timur Taman Srigunting menjadi salah satu situs sejarah penting bagi Kota Semarang. Foto: Hery Priyono

SEMARANG  – Pembangunan fasilitas umum toilet di sebelah sumur tua samping Taman Srigunting Kota Lama Semarang diprotes sejumlah kalangan. Lokasi toilet dinilai tidak tepat dan dianggap menggangu keberadaan sumur tersebut.

Pegiat sejarah Johanes Christiono menceritakan, sumur artetis tua dekat Taman Srigunting tersebut dibangun tahun 1841 dengan kedalaman 71 meter. Pembangunan sumur waktu itu dimaksudkan untuk memberikan air bersih yang limpah bagi warga sekitarnya.

Selain itu, sumur tersebut juga menjadi sumber air bagi kebutuhan kapal laut yang sandar di pelabuhan. Karenanya ada jaringan pipa yang dihubungkan ke tandon di dekat Jembatan Bodjong (Jembatan Berok), tujuannya agar kapal tak kesulitan mendapatkan air.

“Sumur ini pernah berjasa ketika di Semarang pecah wabah disentri kolera di awal abad ke-20, airnya digunakan untuk meredam merebaknya penyakit. Bahkan, di masa modern sekarang ini selain warga memanfaatkan air bersihnya, juga truk pemadam kebakaran banyak mengambil air sumur itu untuk keperluannya. Debitnya sampai sekarang masih besar,” katanya.

Namun kini, Johanes melanjutkan, dalam pengerjaan revitalitasi kawasan Kota Lama pihak pengembang kawasan malah membangun sarana toilet umum dan mandi cuci kakus (MCK) hanya beberapa meter dari mulut sumur.

“Yang jadi persoalan jelas adalah septiktanknya. Apakah tidak dipikirkan oleh pemrakarsanya, bahwa resapan kotoran itu akan mengotori air sumur yang dipakai warga ?” katanya saat melakukan aksi bersama komunitas MIK Semar, Kamis (16/5) sore.

Johanes menyarankan pembangunan toilet bisa dibuat di tempat lain seperti misalnya di lokasi kantung-kantung parkir di sejumlah titik, sehingga bagi setiap pengunjung atau rombongan tur yang datang bisa dengan mudah dan cepat mengakses.

“Sebaiknya sumur artetis ini direhab dan dijadikan objek sejarah yang dapat menambah nilai dan daya tarik Kota Lama. Sehingga, sumur yang telah berjasa meredam merebaknya penyakit pada zaman dahulu, bisa menjadi cerita menarik bagi pengunjung Kota Lama,” katanya.

Terpisah pemerhati sejarah Kota Semarang, Rukardi Achmadi menjelaskan, sejarah sumur artetis tua yang ada di sebelah timur Taman Srigunting tersebut merupakan salah satu situs sejarah penting bagi Kota Semarang.

Sumur itu dibangun pemerintah yang berkuasa pada kisaran tahun 1841 di Paradeplein (lapangan untuk parade militer) dan tidak pernah kering meski pada puncak kemarau. Selain itu, sumur tersebut memiliki korelasi dengan sejarah penyakit di Semarang.

“Sumur artesis pertama di Semarang itu dibuat untuk kepentingan umum, Tujuannya untuk mengurangi dampak buruk wabah kolera yang kala itu melanda Kota Semarang. Pada waktu itu Semarang memang kerap dilanda wabah penyakit, terutama kolera dan malaria,” katanya.

Penyakit malaria mudah berbiak lantaran Kota Semarang zaman dulu sering dilanda banjir dan dikelilingi rawa-rawa yang menjadi habitat nyamuk Anopheles. Adapun kolera, antara lain disebabkan oleh kondisi lingkungan dan kebiasaan warga (terutama bumiputra) yang cenderung tidak sehat.

Warga bumiputra saat itu tinggal di kampung-kampung kumuh dan biasa mengonsumsi air sungai atau air sumur dangkal sonder dimasak. Sejarah mencatat, wabah kolera paling parah terjadi pada 1821. Saat itu, tercatat 150 hingga 200 orang meninggal setiap hari akibat penyakit tersebut.

Setelah sumur di Paradeplein, pemerintah membangun sumur-sumur sejenis, antara lain di Tawang, Karang Bidara (Jl Raden Patah), dan Poncol. Keberadaan sumur-sumur tersebut efektif menekan angka kematian akibat wabah kolera di Semarang. “Mengingat pentingnya situs sumur artetis tua tersebut bagi sejarah perkembangan Kota Semarang, maka sudah sepatutnya keberadaannya dilestarikan,” katanya.